Myanmar: Menanti transisi sejati
Dunia terus mencermati perkembangan di Myanmar. Perkembangan menuju demokratisasi perlu disambut baik.
Ketika anggota parlemen baru Myanmar dilantik pada Senin lalu (1/2), ekspektasi rakyat Myanmar dan dunia demikian tinggi akan adanya transisi menuju Myanmar yang demokratis, menghormati HAM dan maju. Wajar, karena parlemen wajah baru ini mayoritas kursinya dikuasai oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan tokoh oposisi sekaligus pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, yang telah lama ditindas oleh pemerintahan militer.
Para pengamat menilai wajah dan tatanan politik bari hasil pemilu bulan November tahun lalu sebagai perubahan mendasar dan bersejarah karena merupakan transisi damai yang memberi jalan partai oposisi untuk memerintah meski harus tetap berbagai kekuasaan dengan militer yang secara konstitusi menyimpan jatah 25 persen kursi parlemen.
Masih berkuasanya militer yang dijamin konstitusi tahun 2008 memang menimbulkan tanya sekitar seberapa jauh transisi yang murni bisa dilakukan oleh Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin partai pemenang pemilu. Ketidakjelasan peran dan pengaruh Suu Kyi dalam proses transisi dan perpolitikan Myanmar tampak dari beberapa hal.
Pertama, dalam sidang parlemen ke-13 akhir Januari lalu, ia tidak masuk dalam daftar calon ketua parlemen baik untuk House of Representatives (Majelis Rendah) maupun House of Nationalities (Majelis Tinggi). Kedua, ia juga sulit menjadi presiden Myanmar karena pasal 59 konstitusi Myanmar melarang seorang presiden mempunyai anak dan suami berkebangsaan asing. Sebuah pasal yang konon memang dirancang untuk menjegal pencalonan Suu Kyi.
Masih sangat kuatnya peran dan pengaruh militer yang dijamin konstitusi membuat ekspektasi terhadap perubahan signifikan di Myanmar harus disesuaikan atau diturunkan. Selain jatah 25 persen kursi parlemen, militer juga mendapat jatah pos kementerian kunci seperti pertahanan, dalam negeri dan perbatasan serta kepolisian. Itu semua posisi yang amat vital dalam mengubah wajah garang Myanmar utamanya dalam masalah HAM kaum minoritas seperti muslim Rohingya. Selain itu menurut konstitusi pula, milter masih bisa campur dalam urusan lain, misalnya di soal ekonomi, jika dipandang perlu.
Jangan lupa pula Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional Myanmar merupakan lembaga politik yang lebih berkuasa dibanding parlemen. Dengan kewenangan lembaga itu, pemerintahan NLD tak bisa berbuat apa-apa sekiranya tentara memutuskan untuk melakukan tindakan atau serangan militer dan persekusi kepada kelompok etnis minoritas seperti Rohingya.
Masih kuatnya militer bisa dilihat sebagai sikap ambigu militer Myanmar terhadap desakan gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia dan cara untuk tetap menggantung pada dan melanggengkan kekuasaan. Harus diakui ada jasa Presiden Thein Sein, pemimpin mantan Jenderal yang mulai menggulirkan kemungkinan pemilu bebas dan memberi kesempatan NLD untuk turut serta dalam pemilu sela tahun 2012.
Bola salju demokrasi yang digelindingkan itu disambut dan diinginkan oleh 50 juta penduduk Myanmar meski menyingkirkan hak minoritas muslim untuk ikut memilih. Hasilnya, NLD memenangkan 80 persen kursi parlemen dan partai berkuasa USDP (Union Solidarity and Development Party) hanya mampu meraih 10 persen suara. Tapi benarkah akan terjadi transisi sejati?
Tampaknya kita masih akan lama melihat sebuah proses interaksi dan interseksi (persilangan) antara kekuatan-kekuatan demokratis dan militer di Myanmar dalam menuju tatanan politik yang lebih demokratis dan menghargai HAM. Diam dan bisunya Suu Kyi dalam isu persekusi minoritas muslim Rohingya bisa jadi karena terjadinya proses itu mengingat isu itu sangat sensitif dalam politik dalam negeri Myanmar di tengah maraknya nasionalisme dan radikalisme masyarakat Budha Myanmar serta konservatisme kelompok militer.
Dunia akan terus mencermati perkembangan di Myanmar. Perkembangan setahap demi setahap menuju demokratisasi perlu disambut baik, tapi tentu masyarakat internasional mengharapkan adanya perubahan signifikan dan sejati menuju ke arah Myanmar yang demokratis dan menghargai pluralitas.