Pabrik semen di Rembang tidak termasuk dalam Obvitnas
Dhandy menelusuri Badui. kemudian menelusuri Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sampai Aceh dan kembali ke Badui.
Setahun Dandhy Dwi Laksono (39) dan "Ucok" Suparta Arz berkeliling Indonesia. Dua orang ini melakukan perjalanan bertajuk 'Ekpedisi Indonesia Biru'. Mereka telah menyelesaikan perjalanan panjang tentang potret Indonesia.
Konsep Ekspedisi Indonesia Biru, memang digunakan Dhandy berdasarkan konsep "Biru" merujuk pada ekonomi biru. Konsep itu pertama kali diperkenalkan Profesor Gunter Pauli pada 1994. Kepada merdeka.com, founder WatchdoC ini menjelaskan lumayan detail. Menurut dia, ini adalah cita-citanya ketika memilih keluar sebagai jurnalis dari sebuah stasiun televisi.
-
Kapan Muhibah Budaya dalam rangkaian Banyuwangi Ethno Carnival digelar? Muhibah Budaya yang digelar Jumat malam (7/7/2023) tersebut menampilkan berbagai atraksi tari dari sejumlah daerah.
-
Kapan Sujiwo Tejo tampil di acara Jagong Budaya di Bojonegoro? Budayawan Sujiwo Tejo menyemarakkan acara Jagong Gayeng bertemakan "Budaya Rasa Melu Handarbeni" di Pendopo Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojoengoro, akhir pekan lalu.
-
Kapan Djamaluddin Adinegoro lahir? Gunakan Nama Samaran Djamaluddin Adinegoro lahir di Talawi, sebuah kecamatan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada 14 Agustus 1904.
-
Apa makna dari budaya mencium tangan di Indonesia? Biasanya, budaya cium tangan atau salim tangan ini dilakukan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua sebagai tanda hormat dan sopan santun.
-
Kapan Kurniawan Dwi Yulianto lahir? Kelahiran Kurniawan Dwi Yulianto 13 Juli 1976
-
Kapan Wibowo Wirjodiprodjo meninggal? Di akhir hidupnya, Ari dan Ira Wibowo menceritakan bahwa sang ayah pergi dengan tenang, tanpa rasa sakit, dan dikelilingi oleh keluarga tercinta.
"Itu memang cita-cita saya sejak awal waktu memutuskan keluar dari televisi, dan ingin membuat rumah produksi sendiri yang memproduksi video dokumenter," ujarnya saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis siang kemarin.
Berikut petikan wawancara Dhandy Dwi Laksono kepada Mohammad Yudha Prasetya dari merdeka.com tentang perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru.
Apa proyeksi awal Anda ketika menggagas Ekspedisi Indonesia Biru?
Saya lima tahun terakhir ini banyak mengerjakan pesanan video dokumenter untuk televisi. Itu memang cita-cita saya sejak awal waktu memutuskan keluar dari televisi, dan ingin membuat rumah produksi sendiri yang memproduksi video dokumenter. Karena kalau masih bekerja sebagai karyawan di televisi saya kan jadi tidak punya ruang yang luas untuk mengeksplorasi cerita. Karena berita-berita di TV kan hanya tiga menit, kalaupun bikin In Depth reporting atau investigasi jam tayangnya ditaruh malam, jadi saya frustasi kemudian memutuskan untuk keluar dan mulai memproduksi dokumenter.
Dalam lima tahun itu pun, karena pada dasarnya manusia selalu merasa tidak puas, maka saya merasa walaupun sejumlah karya saya sudah masuk TV, tetapi kok kaya ada perasaan kurang hardcore begitu ya karena masih harus ikut aturan main untuk standar penayangan di televisi. Jadi kita harus menyesuaikan, walaupun tidak harus selalu disensor ya. Pilihan topiknya juga terbatas karena menghindari konflik-konflik yang keras, dan selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti 'Ada yang menonton enggak?' atau 'Ada potensi iklan enggak?'. Padahal hal itu tergantung bagaimana strategi kita sebenarnya.
Tetapi ya intinya ini semua karena kegelisahan saja. Makanya saya memutuskan untuk ya sudahlah, saya mau libur di produksi untuk TV, dan saya mau produksi untuk kepuasan sendiri saja, jadi kaya sok-sok seniman begitu yang untuk kepuasan sendiri saja.
Ada yang bilang ini proyek idealisme seorang Dandhy, bisa jelaskan?
Iya. Mungkin karena pakai tabungan sendiri, jadi benar-benar swadaya. Hasil kerja lima tahun saya habiskan buat setahun di ekspedisi ini, untuk memproduksi semuanya sendiri. Dan saya ingin mencoba untuk bagaimana membuat karya yang enggak pakai limit, enggak pakai limit budget, enggak pakai limit durasi, enggak pakai limit rambu-rambu, enggak pakai limit P3SPS. Pokoknya saya ingin merasakan bagaimana membuat karya yang enggak pakai norma, aturan bahkan kaidah kamera, kaidah gambar, pokoknya ingin senatural mungkinlah. Jadilah sekarang 6 dari 33 film, yang kini sudah ada di channel youtube. Itulah. Ternyata ya begitulah kemampuan saya ketika tidak terbelenggu dan kena beban apapun, seperti beban sponsor, durasi, dan lain sebagainya.
Jalur Ekspedisi Indonesia Biru ini dimulai dari mana?
Titik mula dari Banten, tepatnya di Badui. kemudian menelusuri Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sampai Aceh, kemudian terakhir di Lampung dan balik lagi ke Badui. Pokoknya arah ekspedisi itu melawan arah jarum jam. Bahkan ketika ulang tahun GAM itu kita berhasil masuk ke Aceh untuk menjalankan ekspedisi ini.
Apa yang ingin ditampilkan dari keseluruhan EIB ini?
Saya ingin merekam keadilan sosial dan ekonomi. keadilan sosial dan ekonomi ini pemicunya sangat banyak, seperti misalnya masalah sumber daya alam (SDA). Konflik SDA ini biasanya baru masuk media kalau sudah sampai tahap bunuh-bunuhan, atau ada bedil yang ditembakkan, nah itu baru masuk media. Karena kalau konflik Sumber Daya Alam ini enggak ada bunuh-bunuhan, enggak pernah bisa masuk media. Itupun setelah pemberitaan peristiwanya, biasanya ya sudah, enggak dicari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dasarnya apa, akarnya apa, itu enggak diliput lagi sudah. Konflik SDA atau keadilan sosial ekonomi ini, biasanya terjadi pada mereka yang sudah kehilangan adat.
Jadi mereka yang sudah tidak punya tatanan sosial, enggak punya sistem kebudayaan, dan mereka sebenarnya juga korban dari sistem pendidikan, doktrin agama, dan lain sebagainya. Sehingga ketika mereka sudah tidak punya lagi tatanan sistem, baik sistem adat maupun sistem nilai, maka mereka akan mudah kehilangan tanahnya, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, misalnya ada desa di Bali bernama Tenganan atau Pegringsingan. Itu dari zaman nenek moyangnya dulu luas desanya itu 917 hektar, sampai sekarang enggak berubah karena mereka melarang tanah ada itu dijual. Karena memang tanahnya enggak pernah dijual atau digadaikan, maka mereka enggak pernah berkonflik dengan siapa pun. Sawahnya utuh, mereka enggak jadi buruh, maka mereka terproteksi. Mereka yang masih memegang teguh prinsip-prinsip adat itu, secara ekonomi mereka lebih sejahtera.
Jadi sebenarnya masalah ketimpangan sosial dan ekonomi ini biasanya menimpa pada mereka yang sudah tidak punya sistem adat lagi. Maka, di ekspedisi ini saya ingin mendokumentasikan apa alasan mereka yang masih bertani, bagaimana hidupnya, seberapa sejahtera mereka, bagaimana mereka memandang konsep kekayaan, bagaimana mereka melihat sistem pendidikan dan agama. Karena orang-orang kaya mereka ini kan enggak mau mengirim anaknya ke sekolah formal karena mereka memang punya konsep pendidikan sendiri.
Mereka enggak mau memeluk agama-agama modern, karena mereka punya agama sendiri. Dan inilah mereka-mereka ini yang selamat. Karena ternyata, mereka yang memilih jadi kaum urban, menjual tanahnya untuk sekolah, sebenarnya mereka-mereka semua itu yang jadi korban. Menjual tanah untuk membiayai sekolah formal, enggak masuk akal itu buat mereka. Bagaimana ya, menurut mereka itu lo sama saja kaya menjual rahim ibu lu, untuk sesuatu yang enggak pasti.
Apa perbedaan yang terlihat dari dua jenis masyarakat?
Yang pertama, karena mereka masih punya sistem nilai, maka mereka juga masih mempunyai 'resources'. Deposito mereka itu istilahnya enggak bakal habis. Sementara masyarakat yang sudah luntur tradisinya ini mereka itu seperti enggak punya tabungan, mereka bekerja setiap hari dengan menjadi buruh di kota, menjadi kaum miskin di kota, jadi karyawan, tetapi kan mereka enggak punya akar. Mereka enggak bisa tanam nanas, bahkan tanam satu batang padi pun enggak bisa.
Mereka yang sudah luntur tradisinya itu sudah mengonversikan semua hal tersebut menjadi kamera, motor, atau apapun sesuatu yang dengan mudah disapu atau mudah tunduk oleh kekuatan yang lebih besar. Jadi mereka itu seperti hidup dalam sistem ekonomi 'agar-agar', enggak ada akarnya. Tetapi karena masifnya ilusi pemahaman bahwa ini modern, ini maju, ini hebat, ini keren dan ini trend, dan itu yang membuat kita kadang ikut tersihir saja. Ini saya melakukan dan memahaminya secara enggak ilmiah yah, karena enggak ada ukurannya.
Bahkan saya enggak yakin bisa mempertanggungjawabkannya secara akademisi, itu juga enggak sanggup. Lucunya, tiga minggu lalu ada Doktor dari Jerman, orang UI, namanya Sonny Mumbunan, waktu itu saya diundang satu forum di LBH Jakarta, saya cerita, dan dia membacakan hasil penelitiannya tentang 1300 desa di Indonesia sejak tahun 2007. Dia menunjukkan sebuah diagram yang mengatakan bahwa semakin orang dekat dengan hutan, maka ia akan semakin sejahtera. Atau semakin jauh dari kota maka akan semakin sejahtera.
Itu menjungkirbalikkan semua doktrin tentang pembangunan dan infrastruktur. Dan benar, headline Kompas minggu lalu, melaporkan bahwa kesenjangan di kota paling tinggi. Setiap ahli bisa punya dalih macam-macam ya mengenai pendapatan tertinggi dan terendah, betul juga. Tetapi menurut saya referensinya adalah infrastruktur dan investasi itu bukanlah jaminan atau kunci kesejahteraan. Modernisme di Rembang terjadi dengan membangun pabrik semen dan menggusur sawah, sementara di Papua membangun sawah mengusir perkebunan sagu, dan lain sebagainya.
Seperti yang saya katakan di video saya, bahwa itu adalah konsep pembangunan yang salah. Justru itu malah memiskinkan menurut saya. Karena itu hanya akan memperkaya orang di tempat lain, bukan di tempat itu. Karena resources-nya kan disedot. Jadi akar kemiskinan itu biasanya adalah 'Lu punya akses enggak terhadap sumber daya alam?'. Nah indeks inilah yang enggak pernah dibikin. Dan anehnya, aspek mengenai 'Akses terhadap SDA' itu yang enggak pernah dimasukkan. Padahal, istilahnya 'Lu boleh enggak sekolah, tetapi kalau lu punya akses ke SDA ya enggak masalah'.
Kalau hidup seseorang itu dari melaut, kebutuhannya hanya ada di sekitar masalah itu saja kan. Yang penting dia paham bagaimana agar kapalnya tidak bocor, tidak kena badai, bisa membaca astronomi sehingga enggak nyasar saat melaut, dengan itu saja orang itu sudah bisa menjadi genius, tanpa perlu paham apa itu phytagoras maupun kalkulus. Karena kan definisi pintar atau jenius adalah mereka yang bisa survive menggunakan pengetahuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi di film hasil ekspedisi inilah perspektif itu saya balikkan semua.
Apakah sempat ada pihak yang menawarkan diri menjadi sponsor dalam ekspedisi tersebut ?
Enggak. Saya mencari tambahan uang itu dengan menjual video-video drone, ikut lomba demi mengejar hadiahnya, itu yang saya lakukan. Misalnya ada media yang mau beli video drone, yasudah saya bikinkan dan saya jual. Ikut lomba dapat hadiah, ya begitulah cara bertahannya.
Kendala apa saja yang ditemui di lapangan saat menjalankan ekspedisi ini?
Saya menikmati betul sebagai double majority, yakni sebagai Muslim dan orang Jawa. Itu kalau dipakai keliling Indonesia itu menguntungkan banget, karena orang muslim di mana-mana dan orang Jawa juga di mana-mana. Jadi itu salah satu modal yang given ya, bawaan lahir. Kendala lain sih ya masalah stamina saja, terutama secara psikis ya. Karena harus riset, perpindahan isu dari satu cerita ke cerita lain, sampai pindah secara fisik dan lokasi, itu yang sangat melelahkan karena harus melakukan dua fungsi sekaligus, yakni melakukan kerja intelektual termasuk riset itu tadi, dan melakukan kerja-kerja fisik seperti ke lapangan, ambil gambar, begadang, menunggu time lapse buat nyari sunrise, jadi otak dan ototnya kepakai semua.
Apakah rencana dan pemetaan liputan sudah dibuat sebelum memulai ekspedisi?
Risetnya itu 40 persen sebelum berangkat. Jadi dari rencana setahun ekspedisi itu hanya sekitar 40 persen yang sudah saya riset sebelumnya. Selebihnya secara spontan. Jadi ketika di sebuah lokasi kita sudah mencari poin sesuai yang sudah direncanakan, setelah itu kita masih mencari lagi potensi atau bahan apa yang menarik untuk diikutsertakan dalam liputan di wilayah tersebut.
Apakah banyak perubahan dalam perjalanan dari rencana yang disusun sebelumnya?
Banyak sekali. Terutama biasanya masalah duit. Misalnya waktu kita mau ke Merauke dari Kupang, NTT. Di situ kita harus menunggu tiga minggu, baru kapalnya datang. Masa kita harus bengong di Kupang selama tiga minggu. Kemudian ketika menaikkan motor ke atas kapal, dari Kupang ke Makassar saja kena biaya Rp 2 juta per-motor. Apalagi ke Merauke, padahal harga motor gue cuma Rp 5 juta. Jadi kalau gue bawa motor ke Merauke, sama saja gue beli motor bekas di Merauke. Terus motor yang lama bagaimana, masa dijual ? Padahal gue inginnya motor ini akan menjadi icon dari ekspedisi ini.
Kendala lain seperti penolakan atau bahkan larangan untuk ke masuk ke wilayah peliputan ?
Satu-satunya tempat di mana saya diusir dan tidak diterima, ya di pabrik semen, Rembang, Jawa Tengah. Tetapi saya senang karena yang menolak itu korporasi dan aparat negara, bukan rakyat. Jadi sayanya enggak bisa masuk ke pabrik, tetapi drone saya yang akhirnya bisa merekam dari atas pabriknya. Dengan alasan objek vital nasional (Obvitnas), mereka enggak ngasih saya kesempatan buat masuk dan melihat pabriknya. Setelah saya cek, ternyata mereka bohong.
Pabrik semen di Rembang itu nyatanya tidak termasuk dalam obvitnas menurut dokumen Menteri Perindustrian. Jadi mereka bohong itu dengan pasang plang di depan pabrik yang menyatakan bahwa pabrik itu adalah salah satu objek vital nasional. Untung saya terbangkan drone duluan, baru minta izin. Kalau peraturan Menhub ini kan enggak, izin dulu baru terbangkan drone. Maka kalau saya kebalikannya.
Adakah Aspek 'kearifan lokal' di daerah-daerah Indonesia tergerus oleh pembangunan?
Di sejumlah daerah begitu mudah orang menjual aset mereka, terutama tanah. Di masyarakat Samin itu ada sindiran, "Nenek moyang kita dulu berjuang membunuh Belanda dan Jepang untuk mempertahankan tanah, sekarang kalian jual tanah untuk beli HP,". Sindiran yang dalam itu di daerah sana. Itu sama saja kaya lu dihina "Lu sebegitunya banget sih menghamba pada teknologi dan peradaban supaya enggak dibilang ketinggalan zaman". Jadi gampang banget hari ini orang kehilangan tanah mereka, karena generasinya juga begitu. Manusia Indonesia hari ini di injeksi untuk bermimpi menjadi manusia urban yang berkompetisi, sehingga mereka dituntut untuk selalu bisa ilmu yang sama dengan orang-orang urban ini. Orang jual tanah atau sawah buat membiayai kuliah, setelah lulus kuliah malah berbaris di Depnaker buat bikin kartu kuning, kan aneh.
Apa yang ingin disampaikan kepada pemerintah tentang masalah-masalah di daerah?
Saya ingin teman-teman di Bappenas, di Istana Negara, di DPR, tontonlah enam video dokumenter saya yang sudah ada di channel youtube.com hari ini. Sempatkan lah, karena kalau ke bioskop kalian sempat, masa video durasi setengah jam di depan laptop saja kalian enggak sempat menonton. Dari sana mungkin kita bisa merenungkan lagi konsep pembangunan kita ini membuat orang sejahtera, atau malah memiskinkan orang ? Bagaimana dengan di masa depan nanti? Karena mungkin hari ini akan ada saham yang naik atau orang yang bertambah kaya, tetapi bagaimana untuk masa depan ? Bahkan World Bank merilis data tahun 2015, yang mengatakan bahwa kesenjangan sosial di Indonesia itu tertinggi sepanjang sejarah. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, kesenjangan di Indonesia ini lebar sekali. Kita bisa lihatlah hari ini di mana 40 persen aset tanah, dikuasai hanya oleh 0,2 persen orang. Nah mereka-mereka yang bekerja di lembaga negara ini kan belajar statistik dan segala macam, masa sih enggak bisa baca tanda-tanda dan tantangan zaman? Kok masih ngotot saja menjalankan sistem yang ada.
Jadi pesan saya ya itu, sebelum para pemangku kebijakan pembangunan ini memulai rapat, tontonlah satu film dokumenter saya agar punya sudut pandang lain. Toh Bappenas juga waktu kemarin bikin seminar tentang sanitasi dan air, video yang digunakan itu kan juga video ekspedisi saya itu. Jadi ya bisa lah sebelum merumuskan kebijakan itu mencari referensi lain dari video-video saya. Karena sebenarnya Nusantara ini adalah laboratorium dan perpustakaan yang big data, asal mereka mau terjun ke lapangan atau mau belajar dan melihat referensi lain dari orang yang memang terjun ke lapangan sebelumnya. Referensi kan enggak harus dari penelitian atau yang ilmiah-ilmiah. Karena referensi ilmiah mana sih yang enggak bisa dipesan?. Tetapi mengapa mereka menuhankan itu sebagai kitab suci dan referensi, kan aneh.
(mdk/arb)