Pemilu presiden pemilu minor
Penempatan pemilu presiden di belakang pemilu legislatif, menjadikan presiden terpilih lemah, pemerintahan tidak efektif
Ini mungkin buah keterlanjuran sejarah. Meski UUD 1945 pascaamandemen menghendaki sistem pemerintahan presidensial kuat, namun kenyataannya posisi presiden dan wakil presiden sangat rapuh.
Semula banyak orang mengira, kejatuhan Presiden Gus Dur lebih karena tidak mendapat legitimasi rakyat karena tidak dipilih langsung oleh rakyat. Gus Dur dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999, di mana koalisi partai yang memilihnya tidak melanjutkan dukungan, sehingga DPR dan MPR menjatuhkan Gus Dur di tengah jalan.
Tetapi setelah presiden dipilih langsung oleh rakyat, posisi Presiden SBY, baik saat berpasangan dengan Jusuf Kalla maupun Boediono, sama-sama lemah. Bahkan ketika SBY-Boediono memenangkan pemilu presiden dalam satu putaran pun, posisinya tetap lemah.
Sekali lagi, faktor gaya kepemimpinan SBY yang ragu-ragu, biar jadi urusan psikolog untuk membahasnya. Di sini pembahasan lebih ke sistem, yakni sistem politik dan sistem pemilu, yang punya kontribusi positif terhadap kelemahan pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan presidensial memiliki dua pemilu: pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Ini berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, di mana satu pemilu cukup untuk membentuk lembaga perwakilan sekaligus membentuk eksekutif. Sebab partai atau koalisi partai yang menang pemilu, otomatis berhak membentuk pemerintahan.
Sedang dalam sistem presidensial masing-masing pemilu punya tujuan sendiri-sendiri. Pemilu legislatif sebagai basis legitimasi pembentukan lembaga perwakilan, dan; pemilu eksekutif sebagai basis legitimasi pembentukan eksekutif. Jadi kedudukannya sama kuat, karena sama-sama mencari basis dukungan rakyat.
Prinsip itu yang tidak dipraktekkan dalam sistem politik Indonesia. Sebab, di sini kedudukan pemilu legislatif lebih kuat daripada pemilu eksekutif, atau dengan kata lain pemilu legislatif diposisikan sebagai pemilu mayor, sedang pemilu presiden atau pilkada hanya sebagai pemilu minor. Kesimpulan ini bisa dilihat dari dua aspek.
Pertama, pemilu legislatif didahulukan baru kemudian disusul pemilu presiden dan pilkada. Bahkan rentang pemilu legislatif dan pemilu presiden hanya dua bulan. Kedua, calon presiden dan calon kepala daerah diajukan oleh partai politik peserta pemilu legislatif. Dalam pilkada memang dibuka calon independen, tetapi di mana pun sebagain besar calon independen gagal memenangkan pertarungan.
Lantas apa implikasi penempatan pemilu eksekutif sebagai pemilu minor? Jelas saja, presiden dan kepala daerah terpilih akan dalam kendali partai politik melalui kaki tangannya di DPR dan DPRD. Sebab, pertama, mereka dicalonkan partai politik; kedua, mereka harus mengambil keputusan dengan partai politik di DPR/DPRD. Inilah yang membuat pemerintahan presidensial (atau duplikasinya di daerah) tidak efektif.
Sebetulnya, faktor kedua itu merupakan cacat bawaan sistem presidensial. Jika presiden tidak mendapat dukungan mayoritas parlemen, maka pemerintahan tidak efektif atau bahkan mandeg. Sesuatu yang tidak terjadi di sistem pemerintahan parlementer, karena eksekutif selalu mendapat sokongan penuh parlemen.
Jadi, masalahnya adalah bagaimana presiden hasil pemilu yang legitimasinya kuat itu, juga memiliki kekuasaan efektif dalam memimpin pemerintahan. Pada titik yang harus dilakukan adalah mengembalikan posisi pemilu presiden (dan pilkada) sebagai pemilu yang sama-sama penting dengan pemilu legislatif.
Jawaban yang diberikan oleh para ahli pemilu biasanya seragam: barengkan saja waktu penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif, maka anda akan mendapatkan pemerintahan yang kuat dan efektif.
Sebab, selain sama-sama mendapatkan legitimasi rakyat dalam waktu yang bersamaan, pemilu demikian bisa menghasilkan bloking politik yang jelas di parlemen: siapa partai-partai koalisi, siapa partai-partai oposisi. Partai atau koalisi partai yang memenangkan pemilu presiden, biasanya akan menguasai mayoritas parlemen, sehingga partai atau koalisi partai yang calonnya kalah, mau tidak mau jadi oposisi.