Pemimpin itu diikuti lisannya, diteladani perbuatannya
Orang disebut pemimpin bukan karena memiliki posisi, tapi lantaran mempunyai makmum.
Pengangguran, kemiskinan, konflik horizontal atas nama agama dan etnis, rupiah memburuk, pendidikan karut marut, dan pertambangan dikuasai asing. Persoalan-persoalan itu tengah membelit negara ini.
Di saat sebagian besar orang pesimistis dengan kondisi negara saat ini, Anis Baswedan mengajak orang tetap kritis namun optimistis. “Kita itu sering kritis untuk pesimistis. Itu letak masalahnya lalu enggan optimistis,” katanya kepada merdeka.com saat ditemui kemarin dalam ruang kerjanya di kantor Indonesia Mengajar, Jalan Galuh II nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Berikut penuturan Anies kepada Islahuddin, Faisal Assegaf, dan juru foto Imam Buhori.
Banyak kasus orang dikenal berintegritas bagus kejeblos saat memasuki dunia politik. Kenapa Anda mau terjun ke sana?
Lebih banyak orang baik-baik daripada yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tapi teman-teman tidak meliput yang baik-baik. Teman-teman liput bagian bermasalah dan teman-teman gandakan dengan luar biasa. Teman-teman membantu memangkas semangat republik ini amat sistematis.
Bila Bung Karno dan Bung Hatta mau memangkas percaya diri kita, mungkin sudah dari dulu. Tapi mereka tidak lakukan itu. Bung Karno tidak bilang, “Hai kalian semuanya 99 persen itu buta huruf." Padahal benar faktanya saat itu, tapi tidak mengatakan itu.
Malah Bung Karno mengatakan, “Beri aku sepuluh pemuda dan saya akan guncang dunia.” Lha, sembilan dari sepuluh pemudanya buta huruf. Tapi yang dikerjakan membangkitkan percaya diri kita, padahal faktanya buta huruf. Kita butuh orang-orang seperti itu untuk menjaga optimisme.
Coba mereka tunjukkan realitanya, habis sudah semangat kita. Memangnya dulu kita tidak korup? Amat korup. Memangnya dulu tidak ada kekerasan? Ada. Tahun 1945 orang tidak berani jalan dari Jakarta ke Bandung malam hari karena takut dirampok. Yang merampok itu malah saudara sebangsa, bahasanya sama, kulitnya sama.
Pemimpin hadir membawa optimisme. Pemimpin hadir menunjukkan arah, lalu kita bergerak bersama-sama. Kita harus memunculkan itu. Republik ini terlalu banyak orang hebat, tapi yang kita munculkan justru yang bermasalah lalu kita memangkas percaya diri republik ini. Jangan. Kritis itu terus berjalan, tapi optimisme ini harus terus.
Kita sering kritis untuk pesimistis. Itu letak masalahnya lalu enggan optimistis. Nanti dikira propemerintah. Saya mengatakan ini tidak ada urusannya propemerintah. Optimisme untuk bangsa. Tidak ada urusannya untuk pemerintah. Anda bisa lihat tulisan saya mengkritik pemerintah, tidak ada masalah. Insya Allah saya berjalan untuk optimisme republik. Nah saya ingin ikut iuran itu. Saya tidak ingin memangkas republik ini.
Kalau ada tawaran jadi calon wakil presiden apa akan Anda diambil?
Mas, Anda ini masih berpikir saya mengejar posisi dan Anda membantu masyarakat untuk menganggap orang-orang mencari posisi dan membantu mendegradasikan niat ingin sekadar mengejar posisi? Tolong jangan begitu. Bantu masyarakat melihat boleh kan orang baik-baik, berniat baik-baik, masuk wilayah ini.
Niat baik-baik bolehkan? Boleh kita curiga, itu harus. Harus kita kritis karena itu amati terus. Karena niat itu tidak ada yang tahu kecuali dirinya dan Tuhan. Nilai dari perbuatan, nilai dari apa yang dikatakan, apa yang dikerjakan. Nilai itu. Jangan hanya niat karena apa pun jawabannya, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Jadi menurut saya, menjadi rendah ketika persoalan kepentingan publik begitu besar ini hanya sekadar soal siapa duduk di mana dan dapat apa. Terus kalau mau dapat apa dan tidak dapat apa, saya lebih enak ikut ginilah. Oke. Tidak difitnah, tidak dikritik, tidak jadi bahan kontroversi kan? Saya akan ikut berkontribusi kecuali tidak kalau ditawari, itu lain cerita.
Sekarang ini saya seperti kena hukum itu. Begitu saya ditawari, saya langsung memikirkan untuk ikut terlibat atau tidak, dan saya pilih ikut terlibat.
Saya ada beberapa contoh (Kemudian Anis membalik lemarinya dan di baliknya terdapat papan kaca untuk menulis).
Anda tahu berapa jumlah SD di seluruh Indonesia? Ada sekitar 170 ribu SD, kemudian SMP 36 ribu, dan SMA angkanya makin mengecil lagi. Terus kita diam saja melihat angka ini. Ini artinya kita tidak berniat menyekolahkan anak-anak itu. Uang kita untuk ini Rp 600 triliun.
Kemana uang itu pergi? Kok bisa? Terus coba Anda perhatikan, ada 5,6 juta anak masuk SD setiap tahun, yang lulus SMA 2,3 juta. Terus anak yang hilang itu 3,3 juta per angkatan, kalikan itu sepuluh tahun. Ada 33 juta anak hilang dari bangku sekolah.
Terus ini yang disebut bonus demografi? Ini baru SMA. Kalau lulus universitas hanya 0,8 persen. Betul, kita semua yang disini yang masuk dalam rombongan 0,8 persen itu.
Lalu kita mau bilang kepada pendiri republik itu, saya tidak mau ikut campur karena di sana nanti citranya jelek. Saya tidak mau urusin ini. Kenapa? Karena ini masalah citra diri saya. Egois bener. Saya mau turun tangan. Saya mau bicarakan soal ini. Kita bilang siapa yang tanggung jawab akan masalah ini? Kita bereskan masalah ini. Kita bilang bertanggung jawab dan mencerdaskan bangsa, mana buktinya?
Di media apa yang ditulis? ujian nasional. Coba banyak mana yang ikut ujian nasional dan yang tidak ikut? Lebih banyak yang tidak ikut ujian nasional. Bukannya itu yang kita ributin selama ini? Emang semua anak Indonesia ikut ujian nasional?
Lihat angka putus sekolah itu. Di situ apa saya mau ikut opini saja, apa kata orang atau apa yang saya yakini benar dan saya lihat faktanya dan kemudian saya ungkapkan dan saya coba berkontribusi di sini. Di situ sebabnya saya bilang ini bukan soal posisi, ini soal pesan.
Biarkan jejak kita catat sama-sama, kita menjadi bagian itu. Pesan itu bergaung dan mudah-mudahan punya efek. Ini baru soal pendidikan, belum kita masukkan soal pertanian dan lainnya.
Jadi saya malah mengajak, mari kita turun rame-rame nih. Kenapa? Karena saya ingin omongin dan beresin semua ini (Anis sambil menunjuk papan tulis jumlah anak putus sekolah). Memastikan anak-anak kita lebih baik. Jadi itu semangatnya bukan yang lain.
Berarti tidak takut citra Anda buruk dengan mengiyakan undangan konvensi Partai Demokrat?
Buat saya proses politik harus terus menjadi perjuangan mulia. Mari terus kita jaga, kita hargai, dan itu tidak mudah. Tapi paling tidak saya ikut mencoba. Saya rasa ini tanggung jawab, saya rasa harus lunasi tanggung jawab ini. Mari kita jaga sama-sama.
Sebetulnya tak usah banyak berandai-andai, kerjakan saja yang mungkin. Jadi saya juga mengatakan kalau saya tidak diundang, saya tidak maju. Sama sekali tidak maju kalau tidak diundang. Rute saya memang bukan rute itu. Karena ini untuk pemerintahan, untuk ikut urus tanggung jawab negara, maka saya katakan iya.
Apakah ada restu orang tua yang membikin Anda tambah yakin buat ikut konvensi?
Iya, saya bicara dengan ibu, saya bicara dengan ayah saya. Saat bicara dengan ayah dan ibu, ayah saya sedang sakit, kemarin sebelum lebaran stroke, masih ada selang di sana sini.
Beliau bilang, “Maju, kalau benar jalani, jangan khawatir apa kata orang.” Itu kata ayah saya. Ibu saya tentu khawatir karena menonton tayangan televisi, dengar macam-macam apa kata orang. Ibu saya bilang, “Kalau itu memang jalan yang benar, ya kita bismillah.”
Malah Ibu bilang, “Saya tidak titipkan anak saya kepada siapa-siapa. Saya titipkan anak saya kepada Allah.” Selesai.
Kisah Anda terjun ke politik ini seperti kakek Anda Abdul Rahman Baswedan saat mengajak keturunan Arab ikut berjuang dan meneguhkan diri sebagai pribumi. Ide itu ditentang banyak orang Arab. Apa Anda merasa ada kesamaan dengan pengalaman kakek Anda?
Tidak apa-apa. Itu bukan barang baru dalam keluarga kami. Apa yang dijalani kakek itu di zamannya dimusuhi semua dan diisolasi. Dia tidak korupsi, dia tidak punya apa-apa, dan hanya punya ide. Sekarang saya punya ide, terus kita hanya lihat realita yang ada sekarang ini, terus kita diam saja?
Saat upacara 17 Agustus saya ikut upacara di Istana. Saya mewakili kakek saya, bukan Anies Baswedan. Ketika bendera dinaikkan, saya lihat di sana ribuan, bahkan jutaan orang iuran nyawa, darah, air mata supaya bendera ini bisa naik seperti kita rayakan hari ini. Kita merayakan hanya hitungan menit. Tapi bagi mereka, itu hitungan tahun dan penderitaan luar biasa.
Lalu hari ini saya ditantang untuk ikut berbuat. Terus saya mau jawab tidak mau, saya takut kontroversi. Tidak mungkin, tidak bisa. Sayang Indonesia ini. Tapi doakan, doakan, jangan takabur. Doakan dengan kepala tegak dan keluar dengan kepala tegak. Kita tidak pernah tahu nanti dalam perjalanan. Yang penting buat saya, ketika ibu dan ayah saya memberikan kepercayaan tanpa syarat, lalu mereka yakin, bismillah.
Siapa pemimpin idola Anda, mungkin jika jadi presiden akan Anda ikuti?
Saya tidak ada idola khusus satu-satu karena saya banyak baca. Pemimpin kita bervariasi. Ada diambil komponen A, B, C, dari masing-masing orang dan tidak semuanya presiden. Banyak pemimpin kita tidak jadi presiden, tapi mereka adalah pemimpin.
Definisi saya tentang pemimpin itu sederhana. Bukan orang yang punya posisi, tapi yang didengar dan diikuti. Jika Anda punya makmum, Anda sudah menjadi imam di dalamnya. Kalau Anda tidak punya makmum, Anda bukan imam. Mohon maaf saja, Sekeras apapun pengeras suara Anda gunakan, jika tidak punya makmum Anda bukan imam.
Makanya bagi saya, pemimpin itu kata-katanya diikuti, perbuatannya dijadikan contoh. Banyak pemimpin kita seperti itu meski mereka tidak jadi presiden, tidak menjadi ketua partai, tidak menjadi pejabat, tapi mereka adalah pemimpin.