Perlunya seorang assist atau sherpa
Banyak cerita sukses yang dimulai dari ketidakyakinan. Tapi setelah mendapat masukan orang lain, dia baru berani.
Seorang karyawan keuangan -sebut saja Haryo- yang sudah bekerja di perusahaan kaliber MNC (multi national company), tiba-tiba datang menemui saya. Dia merasa jenuh bekerja di perusahaan lamanya dan ada sedikit masalah dengan atasannya.
Dia lalu mengundurkan diri dan ingin bergabung dengan perusahaan temannya yang lain, lalu minta pertimbangan pada saya. Dengan gaji yang sudah mendekati dua digit, saya tidak yakin perusahaan temannya mampu memberinya gaji sebesar itu.
Benar, nyatanya dia tidak bisa mendapatkan gaji mendekati dua digit. Bukan soal kemampuannya yang menjadi kendala, tapi karena perusahaan yang akan dimasuki itu -meski punya temannya yang kenal baik-, adalah perusahaan yang baru berdiri sehingga belum mampu memberikan gaji sebesar yang diharapkan. Kalaupun mampu, masih di bawah Rp 5 juta/bulan.
Keuangan oleh sebagian besar orang, memang dianggap sebagai inti tapi tetap saja fungsinya sebagai orang pendukung (back end/support). Tidak ada perusahaan yang tidak punya bagian keuangan. Sekecil apapun perusahaan itu, tetap saja bagian keuangan ada. Bila masih kecil diurus sendiri, kalau sudah mulai berkembang diurus keluarga atau teman dekatnya, kalau sudah berkembang maju diurus oleh profesional.
Berangkat dari hal ini, saya coba tanyakan apa yang bisa dilakukan oleh teman yang sudah belasan tahun bekerja di bagian keuangan tersebut. Dia pun menuliskan dalam e-mail bahwa dirinya bisa membuat laporan keuangan standard internasional, mengurus pajak dari PPN, PPn, PPh, sampai dengan pajak badan usaha sekalipun. Kecuali itu, menghitung prakiraan valuasi perusahaan serta due dilligent-pun dia kuasai.
Melihat email yang dikirimkan, saya takjub sekali. Bagaimana dengan pengetahuan yang dahsyat itu dia masih mencari-cari pekerjaan. Bukankah dia bisa membuat usaha membantu menata banyak perusahaan yang membutuhkan penyusunan keuangan yang benar? Tinggal siap menjaga rahasia dengan sumpah dan tertulis di atas materai, mestinya bisa.
Setelah itu, dia menanyakan apa tindak lanjut dari e-mailnya pada saya. Maka, kita pun bertemu dan ngobrol. Saya tanyakan, apakah memang dia benar bisa semuanya seperti yang disampaikan di e-mail, jawabnya benar bisa. Dia pun mengeksplorasi kemampuannya mengelola keuangan mulai dari patty cash, accounting, investment, strategi pembiayaan, pelaporan IFRS, pajak, dan lain-lain. Semuanya dia ceritakan dengan semangat tinggi dan menggebu. Pendek kata, dia jagoan benar. "Pokoknya, perusahaan model apa saja, aku bisa lah," ujarnya.
Kalau Anda bisa menjalankan semuanya, kenapa tidak buka konsultan pengelolaan keuangan saja? Mendapat pertanyaan seperti itu, Haryo kaget. Dia tak menduga akan mendapat tantangan sedahsyat itu. Dalam target hidupnya, dia hanya ingin menjadi pengelola keuangan profesional. Dan, itu diartikannya sebagai bagian dari perusahaan lain. Namun saat ini saya tantang bukan bagian dari perusahaan lain, tapi bikin perusahaan sendiri.
Ketika ide itu disampaikan, setengah kaget dan galau dia. Tiba-tiba yang muncul malah segala kekurangan dan kelemahannya. Dia merasa tak punya jiwa bisnis, tak punya jaringan luas, tidak punya perangkat pendukung, tak punya dana buat sewa kantor, dan belum siap mental.
Di antara kekurangannya, saya rasa hanya satu yang penting: Anda harus siap mental. Yakinlah bahwa bisa berhasil, dicoba dulu. Hadapi dulu. Kalau tidak dimulai, kapan lagi. Saya serang nyalinya (gut). Soal perlengkapan, bisa dibantu gampang, asal nyalinya siap.
Ternyata, Haryo pun berani dan siap. Didukung oleh keluarganya juga. Tekadnya yang kuat akhirnya membuat dia siap mental tidak mendapatkan pemasukan yang signifikan di awal, dibanding di kantor sebelumnya. Namun, dia mulai menghadapi kenyataan bahwa untuk bisa bekerja dengan baik, harus ulet, keras, terus menerus. Akhirnya, dengan servis yang bagus, pelanggan satu per satu didapat. Maka suatu ketika, ketika saya tanyakan apakah mau direkrut dengan gaji Rp 10 juta, dengan tidak pongah Haryo menjawab: nggak mau lah!
Sekarang, dalam waktu 3 tahun Haryo sudah punya karyawan yang membantunya, memiliki kantor sendiri, dan sudah bisa mencicil mobil. Bahkan setiap bulan sudah menjadwalkan acara liburan luar kota bersama keluarga. Kerja kerasnya telah membuahkan hasil.
Haryo hanya salah satu contoh. Banyak cerita sukses yang dimulai dari ketidakyakinan. Tapi setelah mendapat masukan/bantuan (assist) dari orang lain, orang itu baru berani, horisonnya terbuka, dan berani berdikari. Kadang, dibutuhkan orang lain untuk membantu meyakinkan bahwa kemampuannya itu dahsyat dan bisa menghasilkan uang (monetize). Bantuan yang tulus sering memudahkan atau melancarkan usaha seseorang untuk menghasilkan yang diharapkan (goal).
Seorang Sir Edmund Hillary yang sukses mencapai puncak Everest pada tahun 1953, tentu bukan sendiri, tapi atas bantuan peran pemandu (sherpa) Tenzing Norgay. Tenzing adalah orang Nepal asli yang terbiasa dengan keganasan alam Everest. Meski Tenzing berada di depan Hillary dan tinggal selangkah berada di puncak, dia mempersilakan Hillary untuk menjejakkan kakinya ke puncak dulu. Dan, Hillary pun dikenal seantero jagad.
Tenzing sadar bahwa Hillary memiliki impian untuk menjadi orang pertama di Puncak Everest. Sementara dia hanya ingin menjadi pemandu yang baik yang bisa mengantarkan pendaki yang dipandunya mencapai puncak.
Dan, tahukah Anda bahwa sepasang pemuda jenius Larry Page dan Sergei Brin selama 3 tahun (dari 1998-2001) yang bercita-cita jadi terdahsyat di kolong langit, kelimpungan tak dapat pemasukan karena menolak iklan banner. Maka dengan sentuhan DR Eric Schmidt sebagai CEO yang juga memposisikan bagai "sherpa", maka jadilah Google yang top markotop!
*) Penulis adalah penggerak KlikIndonesia, Sekjen APJII, COO Kapanlagi Group dan merdeka.com