Puan dan simbol ke(tidak)bijakan
"Jangan banyak-banyak makan lah, diet sedikit tidak apa-apa," kata Menteri Puan Maharani.
Orang biasa bisa bebas kapan dan di mana saja mengeluarkan pendapatnya karena pernyataannya itu bisa jadi sekadar masuk kategori "pernyataan warung kopi" yang tidak punya implikasi apa-apa. Lain halnya jika yang mengeluarkan pendapat itu adalah seorang pejabat publik yang tentu saja punya "ludah-api" yang setiap pernyataannya bisa berdampak panjang dan potensial merembet ke banyak hal.
Karenanya, si Fulan yang antah berantah tentu berbeda dengan Puan Maharani yang Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kabinet Kerja Republik Indonesia. Karenanya, bobot pernyataan yang meminta rakyat miskin untuk diet dan tidak makan terlalu banyak tentu berbeda ketika itu disampaikan oleh Fulan dan Puan.
Sebagaimana diberitakan media, saat merespons permintaan Gubernur Bali Made Mangku Pastika agar alokasi beras untuk rumah tangga miskin di Bali ditingkatkan, Puan mengatakan, "Jangan banyak-banyak makan lah, diet sedikit tidak apa-apa."
Lah...
Entah konteksnya bercanda atau serius, setiap pernyataan terbuka seorang pejabat publik tentu tidak terlepas dari sorotan publik. Jika Puan Maharani hanya berniat bercanda, tentu ujungnya adalah penilaian bahwa Ibu Menteri tidak peka rasa. Soal mengurangi atau bahkan menahan untuk tidak makan bukanlah hal yang perlu disarankan kepada rakyat miskin. Tanpa saran Puan pun, jangan-jangan rakyat miskin di Indonesia sudah tidak pernah bisa makan banyak-banyak.
Lain halnya jika pernyataan Puan tersebut diseriusi. Apakah pernyataan itu bukan berarti pemerintah saat ini memang tidak berniat untuk menambah alokasi beras untuk rakyat miskin?
Yang pasti, Mangku Pastika tentu tidak sedang bercanda. Lebih dari Bali semata, upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia pun masih belum menggembirakan. Realitasnya, merujuk data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Januari 2016, jumlah penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga September 2015 mencapai 28,51 juta atau 11,13 persen dari total penduduk Indonesia. Data itu meningkat jika dibandingkan setahun sebelumnya, di mana pada periode September 2014 jumlah penduduk miskin masih sekitar 27,73 juta jiwa atau 10,96 persen penduduk Indonesia. BPS menyatakan, kenaikan tersebut antara lain dipicu oleh kenaikan harga beras.
Nah...
Lupakan sejenak apakah ini soal Puan-lovers atau haters. Pada prinsipnya, kebijakan publik bukan hanya segala sesuatu yang tertulis dalam produk perundang-undangan atau peraturan. Pernyataan seorang pejabat publik juga memiliki nilai tersendiri. Karenanya, dalam kerangka kebijakan, menjadi pejabat publik memang tidak pernah mudah karena setiap pernyataannya bisa diinterpretasikan sebagai kebijakan yang diambil oleh penentu kebijakan.
Kembali ke pengertian dasar, sebagaimana dinyatakan oleh Thomas R. Dye, kebijakan publik (public policy) adalah segala hal yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan (whatever government choose to do or not to do).
Pokok perhatian bukan hanya pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan juga termasuk pada apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Bertindak atau berdiam diri masing-masing memiliki nilai tersendiri. Karenanya, hanya berdiam diri ketika mencuat sebuah persoalan bisa dinilai sebagai sebuah ke(tidak)bijakan manakala apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah tersebut memiliki dampak yang teramat besar terhadap masyarakat sebagaimana tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sementara dalam konteks komunikasi publik, mengutip pakar komunikasi politik Murray Jacob Edelman (1985), pembuatan kebijakan pada dasarnya adalah pertunjukan politik yang dimainkan di hadapan audiens dalam rangka memastikan penerimaan publik.
Bahasa politik bisa meraih atau mempertahankan dukungan atau penerimaan publik. Ketika pejabat publik bisa menyampaikan pesan-pesan kunci kepada publik dengan baik, pada saat itu pula sebuah kebijakan sudah meraih modal untuk dapat didukung masyarakat luas. Hal sebaliknya, kebijakan (dan juga implementasi kebijakan) yang baik pun bisa tergelincir oleh komunikasi yang tidak baik, termasuk di antaranya ujaran-ujaran pejabat yang tidak perlu.
Karenanya, mengingati hal tersebut, para pejabat publik tentu saja tidak boleh hanya mengingat segala privilege yang bisa dinikmati dengan biaya negara. Kenikmatan tersebut tentu mesti dibarengi tanggung jawab yang juga bejibun. Sederhananya, pejabat tentu dituntut untuk mengerti konsekuensi dari setiap laku dan ucapannya dan karenanya hal itu mengharuskan mereka untuk lebih berhati-hati. Setiap lontaran pernyataan bisa diinterpretasikan beragam dan bisa mempengaruhi banyak hal.
Pernyataan pejabat publik adalah semacam “promissory note” yang bisa kapan saja ditagihkan oleh publik, terlebih publik-penuntut selalu ingin semakin cepat semakin baik. Terakhir, di era teknologi yang begitu pesat dan informasi yang membeludak seperti saat ini, para pejabat harus ingat bahwa Google dan segala temannya selalu setia mencatat setiap kebijakan maupun ketidakbijakan.