Saya lawan radikalisme
Saya lawan radikalisme. Permasalahan terorisme dan radikalisme masih menjadi tugas besar di Indonesia. Penuntasan masalah itu tak kunjung usai. Justru bertambah. Menyebar bak virus. Masuk ke tiap rongga kehidupan.
Terorisme dan radikalisme masih menjadi permasalahan besar di Indonesia. Penuntasannya tak kunjung usai. Terus menyebar bak virus. Masuk ke tiap rongga kehidupan. Mulai dari lembaga pendidikan hingga kementerian. Sulit ditangkal.
Perlahan penanganan dua permasalahan itu dilakukan. Melalui lembaga negara bernama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Banyak tindakan dilakukan. Dari pencegahan, penanganan hingga proses 'penyembuhan' melalui program deradikalisasi. Sasaran mereka merupakan narapidana terorisme.
-
Bagaimana Abdul Somad dikenal? Abdul Somad dikenal sebagai seorang pendakwah yang sangat fenomenal. Gaya ceramahnya cenderung tegas, dan beliau pernah mengalami deportasi dari imigrasi bandara Singapura.
-
Apa yang dibudidayakan oleh Sujadi? Sujadi menjelaskan, apartemen bertingkat untuk budi daya kepiting itu dibuat dari bahan sederhana yaitu bambu, kayu, dan jerigen bekas yang kemudian disusun secara bertingkat.
-
Siapa Pak Raden? Tanggal ini merupakan hari kelahiran Drs. Suyadi, seniman yang lebih akrab disapa dengan nama Pak Raden.
-
Apa yang Suwardi budidayakan? Suwardi memulai usaha itu hanya dengan modal Rp300 ribu. Suwardi mengembangkan budidaya belut di Dusun Sabrang Wetan, Desa Wukirsari, Kapanewon Cangkringan, Sleman.
-
Apa itu Sulam Alis? Sulam alis atau teknik microblading adalah cara untuk memperbaiki atau merapikan bentuk alis. Prosedur ini dilakukan oleh ahli kecantikan atau tenaga profesional yang menggunakan alat dengan jarum untuk memasukkan pigmen berwarna ke lapisan kedua kulit.
-
Apa yang dilukis oleh Raden Saleh? Lukisan itu menjadi antitesis dari lukisan seorang pelukis Belanda bernama Nicolaas Pieneman. Penangkapan Diponegoro menggambarkan adegan yang berlawanan dengan yang dilukis Belanda. Dalam Lukisan Pieneman, Pangeran Diponegoro Tampak Pasrah Menghadapi Peristiwa Itu, Jenderal De Cock Terlihat Jumawa dan Berdiri Dengan Pongah, Lebih Tinggi dari Diponegoro
Lembaga ini sekarang dipimpin Komjen Suhardi Alius. Pria kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 ini dianggap pantas dan berpengalaman. Suhardi sempat menjabat sebagai Kabareskrim Polri. Pada 20 Juli 2016 lalu dia dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Kepala BNPT menggantikan Jenderal Polisi Tito Karnavian kini menjadi Kapolri.
Dalam menjalankan amanah sebagai pimpinan BNPT, Suhardi punya cara sendiri. Tidak menggunakan kekerasan. Lebih memakai hati. Dia meyakini cara itu lebih ampuh. Dia kerap melakukan koordinasi dengan pelbagai menteri. Tak mau para eks napiter telah sadar kembali lagi ke jalan yang salah.
Kami berkesempatan bertemu dengan Suhardi usai menjadi pembicara seminar di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Kamis pekan lalu. Membahas mengenai ramainya kampus negeri di Indonesia terindikasi radikalisme hingga nasib eks napi teroris setelah melakukan program deradikalisasi.
Berikut wawancara khusus Suhardi dengan jurnalis merdeka.com Angga Yudha Pratomo, Anisyah Al Faqir dan Didi Syafirdi:
BNPT pernah mengungkapkan ada tujuh kampus negeri terpapar radikalisme. Bisa Anda jelaskan bagaimana prosesnya?
Saya mengumpulkan rektor bersama dengan Kemenristek Dikti. Kita tidak merilis 7 data itu, itu bukan resmi, cuma pembahasan di diskusi. Setiap lembaga itu kan membuat survei dan menyebutkan. Ada juga survei dari salah satu kampus negeri islam sekitar tahun 2008 melakukan survei takmir masjid, kita mengacu pada itu dan kita manage data itu. Kita enggak mau banyak cerita, yang penting bagaimana kita melakukan treatmen itu.
Kita memang punya data itu dan informasi, keluar nama-nama (kampus negeri)itu. Hampir semua ada, tapi kan tebal dan tipisnya itu beda-beda. Kita enggak mau mempolemikkan itu. Namun, saya sudah menjelaskan di depan seluruh rektor, diam semua itu. Sekarang bagaimana kita mencari solusinya, jangan sampai hanya segelintir orang itu dimaknai buruk semuanya generasi penerus kita ini tidak terpengaruh pada paham radikal. Tapi itu saya paparkan dalam forum tertutup, faktanya kita sampaikan yang belum pernah kita sampaikan kepada media secara resmi. Kenapa? Alasannya karena bisa menambah keresahan, kita kan butuh kekondusifan dalam proses belajar mengajar. Nanti orang-orang jadi takut sekolahkan anaknya, padahal kita butuh, hanya karena satu-dua orang yang dicap seperti itu.
Mengapa hasil survei BNPT justru menyebut banyak nama kampus negeri dan akhirnya ramai?
Jangan salah, (kampus negeri) itu memang ditargetkan untuk brain washing (cuci otak). Sama kayak pemuda yang pintar-pintar bisa jadi sasaran. Coba dipelajari, yang berangkat ke Suriah itu orang pintar-pintar. Orang kementerian yang ke sana juga kan sekolahnya di Australia. Memang orang pikirnya jadi orang pintar saja bisa kena. Makanya kita enggak boleh generalisir, apalagi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Sebenarnya apa alasan BNPT mengindikasi kampus tersebut terpapar radikalisasi?
Itu yang tadi saya sampaikan. Ada upaya kita untuk bisa mendeteksi, contohnya para dosen dan guru besar, para dekan itu betul-betul melihat siswanya. Ketika siswanya sudah enggak pernah masuk ya dicek dong. Lalu aktivitas mereka (mahasiswa), begitu ada suara-suara tolong dideteksi kemudian dicari sumber suaranya dan jangan didiamkan. Pemanfaatan sarana-sarana yang di bawah kendali tolong diamati, kemudian tentang pengetahuannya. Kalau pembangunan akhlak oke, tapi jangan sampai menyimpang.
Salah satu contoh temuan kami, ada mahasiswa beberapa bulan tidak ikut perkuliahan tahu-tahunya ada di Suriah. Berarti kan kontrolnya kurang. Makanya sekarang kita enggak perlu cari siapa-siapanya saja yang salah. Lebih baik kita mulai dengan forum-forum supaya anak didik kita ini nyaman sekolah di situ, tercapai cita-citanya, jadi generasi penerus bangsa.
Menurut hasil penelitian BNPT, dari mana saja pintu masuk kelompok penyebar paham radikal ini?
Cerita itu sudah sampaikan kepada rektor, maka mereka langsung bilang, "kita butuh satu pendapat, satu jalan". Jadi betul kalau mahasiswa baru itu jadi pintu masuk. Contohnya orang datang dari mana-mana, dari indekos sudah langsung ditempel. Itu bukan hanya satu, ada banyak yang telah saya sampaikan. Ternyata para rektor itu terpengaruh juga sama kita. Mudah-mudahan ini bisa dijalankan karena saya sudah paparkan itu semua.
Selanjutnya apa saja langkah konkret dan solusi diberikan BNPT kepada universitas negeri ini?
Saya sudah sampaikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh semua pimpinan universitas, kewaspadaan saat penerimaan mahasiswa baru, penggunaan sarana dan prasarana kampus, kontrol yang baik. Kejadian di Riau sudah lihat kan, beberapa waktu lalu saya juga pernah ditolak sama lembaga dakwah kampusnya malah.
Jadi kami bergerak bukan tanpa dasar tapi masih banyak menduga-duga. Sekarang kita lihat sendiri, apa yang saya sampaikan. Sekarang banyak universitas yang minta saya untuk datang. Di ITB saya pernah ngomong dengan 4.500 mahasiswa, dan satu pun mahasiswa enggak ada yang bicara saat saya ngomong, saya ajak berdiri untuk nyanyi indonesia raya dan mereka melakukan itu.
Saya cuma membangkitkan rasa nasionalisme mereka. Makanya saya katakan, Anda jangan takut lapor apabila ada tekanan-tekanan. Apakah dari dosen atau yang lain. Enggak bisa saya masuk, jadi secara moral saya membantu mereka, jangan sampai nanti mereka kena. Yang seperti gitu kan bisa saja dari temannya, bukan dari dosennya. Kita bisa lihat fenomenanya. Di Jawa Tengah contohnya, bukan hanya di mahasiswa yang terindikasi, dosen juga. Artinya sebaran itu ke mana-mana.
Kepala BNPT di Unnes ©2017 Merdeka.com
Saat ini mahasiswa maupun kampus mengkhawatirkan kata radikalisme disampaikan BNPT. Bagaimana Anda menjelaskan ini?
Saya diingatkan oleh mantan rektor perguruan tinggi negeri di Indonesia. "Pak Hardi, hati-hati menggunakan kata radikal". Saya akan bawa masukan ini ke dunia. Radikalisme ini sudah diadopsi oleh negara besar. Di Amerika sudah dipakai itu radikalisme, dan diadopsi oleh jurnalis. Kalau kita enggak radikal temuan ini semua enggak akan ada.
Jadi radikal yang saya maksud tadi di sini, jelas masalah paham intoleransi, anti NKRI, anti pancasila, penyebaran paham takfiri. Jadi perspektif negatif dari kata radikal, khususnya untuk Indonesia adalah intoleransi, anti NKRI, anti Pancasila dan penyebaran paham takfiri.
Biasanya kelompok radikal seperti apa yang masuk ke dunia kampus?
Jadi gini, mereka itu masing-masing punya sel-selnya. Itu menginspirasi semua, yang paling bebas masuk di sana tentu alumni. Alumni lebih bebas, dia tahu basis konteksnya. Tahu kaderisasinya, situasi juga. Ada beritanya di Jawa Tengah, mulai SMA dengan jam-jamnya. Jadi bukan hanya di perguruan tinggi, dari SMA juga. Ada sel-sel yang dibangun seperti itu. Kalau untuk akhlak bagus, karena kita butuh itu tapi ya tolong jangan disimpangkan seperti itu, itu yang paling penting.
Kalau saya bahas radikalisme saya selalu awali dengan nasionalisme. Saya ingatkan tentang peristiwa 28 Oktober (Sumpah Pemuda). Pokoknya siapapun itu akan saya lawan kalau menyangkut radikalisme yang tadi.
Sejauh ini sudah berapa banyak narapidana teroris selesai mengikuti program deradikalisasi?
Yang kita kerjakan deradikalisasi untuk orang-orang yang sudah terpapar. Siapa saja, napiter saat mereka berstatus narapidana, artinya kalau status dia masih tersangka, terdakwa, terpidana belum, kalau narapidana baru saya.
Jadi kemarin yang di Brimob Kelapa Dua itu bukan urusan saya, dia masih berstatus tersangka oleh polisi karena dia orang dianggap tidak bersalah kan setelah keluar putusan hakim, sampai inkrah. Kalau sudah masuk lapas baru dimulai program deradikalisasi. Tapi apa bisa langsung semua? Belum tentu, karena harus berdasarkan cluster, kalau sekelas Aman Abdurahman itu enggak mau dia. Kan harus sukarela, enggak boleh dipaksakan.
Kita dekati mereka dengan segala macam. Kalau dia kelas III dalam pemahaman agamanya terus kita kasih kelas II, jangan coba-coba kirim yang lebih rendah, bisa dicuci otak itu.
Sekarang ini sudah ada 278 napiter di seluruh Indonesia di 188 lapas. Kalau dijadikan satu kita enggak punya tempat. Kalau digabung jadi satu bisa jadi universitas, dipecah bisa jadi virus. Makanya ke depan solusinya itu dijadikan satu tetapi dijadikan cluster, mulai dari low, midle, hard, begitu seharusnya, jangan dicampur aduk.
Ada keluhan dari eks napiter sudah menjalani program itu, ketika kembali ke masyarakat belum bisa diterima di lingkungannya. Sikap BNPT melihat kondisinya apa yang akan dilakukan?
Itu kenapa waktu saya pertama jadi kepala BNPT saya bilang saya sudah punya konsep untuk ini. Saya bilang bukan hanya TNI-Polri yang bisa dilibatkan tapi akses sosial dan lainnya. Jadi saya butuh bantuan menteri. Responnya luar biasa. Semua siap membantu. Saya minta eselon II yang punya akses ke menteri untuk jadi perwakilan di tempat saya. Lalu saya kumpulkan semua dan bilang kalau ini masalah terorisme dan saya harap tiap menteri bisa bekerja sama. Rumah kita sudah terbelah di depan mata, mau sampai kapan kalau tidak dieksekusi.
Jadi deradikalisasi memang dikeluhkan eks kombatan yang tidak diterima di masyarakat. Ada dua yang memengaruhi mantan napiter. Pertama dari internal dia yang ingin kembali. Kedua faktor lingkungan masyarakatnya, jangan di marjinalkan. Kalau dimarjinalkan tinggal tunggu waktu saja.
Bahkan salah seorang eks napiter yakni Sofyan Tsauri pernah mengeluhkan sudah 6 kali pindah tempat tinggal karena dirinya mantan teroris. Tentu ini memberatkan. Bagaimana Anda melihat kondisi ini?
Itu yang saya katakan kepada Pak Presiden (Joko Widodo). Kalau teroris bukan hanya satu yang ikut deradikalisasi. Kalau punya istri, anak, kalau masih ada ayah-ibu juga, bebannya jadi besar. Dari 100 napiter bisa 1.000 yang dideradikalisasi. Jangan kita harapkan orang yang jadi radikal 10 tahun lalu dihukum 2 tahun jadi kembali. Tidak. Itu tidak mungkin. Dia harus didampingi terus. Selesai dia keluar kita ikutin, dikasih akses yang mudah untuk anak-anaknya dan itu yang kita kerjakan di Yayasan Perdamaian.
Di situ ada mantan teroris yang tinggal di sana dan kita bantu. Kalau dia mau jadi sopir, ya kita carikan itu. Ada yang jadi peternak, kerja di gunung kapur, sambil saya minta tolong sama aparat setempat. Ya polres, Kodim untuk memonitor. Kalau enggak gitu enggak akan diterima di masyarakat, buang waktu saja. Kalau orang dibenci lingkungan kan lama-lama bisa kembali. Nah sama, orang kan punya hati. Saya pakai pendekatan hati. Sekarang orang hidup tenang.
Sampai menteri luar negeri Belanda bilang, "saya enggak terbayang bisa salaman sama mantan teroris sebanyak ini". Ada 38 mantan napiter waktu itu, sekarang sudah nambah jadi 128 mantan napiter ikut dengan saya jadi narsum. Waktu di Hotel Borobudur kemarin itu untuk pertama kalinya di dunia korban dengan mantan napiter itu bisa bertemu duduk bersama. Saya bilang ke korban, "saya enggak bisa memaksa kalian, tapi live must go on."
Dari seribu lebih yang hidup, 50 orang siap dan kita pertemukan. Bagus kok. Cair suasananya. Saya hadirkan para menteri, polhukam, mendikbud. Mereka menjanjikan akan sekolahkan, beasiswa untuk anak korban dan mantan napiter. Mensos juga begitu, menteri tenaga kerja juga begitu. Korban disabilitas karena peristiwa itu juga diperhatikan tanpa pengecualian. Itu solusi. BNPT membuat solusi. Kalau bukan karena radikal itu enggak akan ada. Nah sekarang pemerintah itu ngurusin yang kaya begitu. menggunakan soft approach (pendekatan secara halus).
Mantan teroris biasanya kan dicekal di sini. Nah, Ali Fauzi (mantan napiter) malah diundang ke Jepang dan dibiayai oleh Jepang, dan itu bukti penghormatannya. Saya sampai diterima oleh John F kelley (Menteri Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat) di depan pintu mobil saya dan dia mau berbincang. Pesawat saya di tunda 15 menit karena John Kelly mau berbicara dengan saya. Dia ingin belajar dari kita, padahal dia itu negara besar. Sebab dia kan pakai hardpower terus bahkan tidak sampai ke pengadilan jarang sekali yang sampai ke pengadilan. Kita lewat pengadilan, kita sentuh yang sudah selesai makanya kita keberatan kalau mereka (eks napiter) di blacklist. Kan sudah baik. Makanya saya bilang jangan di blacklist.
Kalau Ali Imron itu tahanan seumur hidup. Dia juga menjalani program dan dijadikan narasumber. Adiknya, Umar Patek itu yang memengaruhi dia untuk bisa kembali. Teman saya itu mantan teroris semua sekarang. saya lagi di Jepang tahunya Umar Patek telepon. Telepon-teleponan saya sama dia. "Pak, jangan lupa Pak. Istri saya mau kembali, tolong dibuatkan WNI lah Pak." Karena istrinya orang Filipina. Dagang sate dia di depan lapas. Terus ketemu sama saya. "Eh kepalamu harganya USD 1 juta harganya". Orangnya kecil tapi matanya tajam, itu Umar Patek. Saya kira sentuhan hati itu penting.
kunjungan kerja kepala BNPT di AS ©2017 Merdeka.com
Belakangan banyak insiden teror melibatkan kaum perempuan. Pandangan Anda melihat kondisi ini ke depan dan sikap seperti apa yang harus dilakukan?
Ya saya bilang tadi, perempuan ini sudah mulai ditarik-tarik karena kultur kita juga kan. Ibu-ibu, anak-anak, itu kan apa-apa juga duluan. Kultur kita bukan hanya dalam posisi itu saja, sehari-hari juga begitu. Ini yang dimanfaatkan oleh kelompok (radikal) itu. Cuci otaknya. Saya sudah sampaikan semuanya walau secara singkat.
Sekarang itu kalau teroris keluar dari tahanan, kita antar sampai rumahnya. Kita mau tahu rumahnya di mana, bergaul dengan siapa saja dan saya minta Pemda turun tangan. Selama ini kan Pemda cuek. Itu yang saya katakan. Mereka kan dimarjinalkan. Temuan fakta itu ada mantan teroris bikin KTP dipersulit. Mau makan dari mana, kalau kaya gitu prosesnya, Pemda tanggung jawab atau tidak? Saya kumpulkan semua gubernur, saya ekspos. Saya share mantan napiter yang ada di daerah kalian, jangan kalau bom meledak kalian baru ribut. Tapi kalian enggak mau tahu.
Tolong kasih tahu para wali kota dan bupati untuk diakses mereka. Minimal tempat tinggal, kalau masih keras kasih info ke kita. Kita kan juga punya tenaga yang terbatas. Polisi sama tentara sudah saya kasih tahu, tapi kan yang punya akses kan pemerintah, TNI-Polri enggak punya akses itu, pendidikan, sosial itu yang punya kan pemda.
Jadi ada ada empat tingkatan dalam kategori ekstremis, di antaranya hardcore, militan, supporter sampai ke simpatisan. Tapi jangan salah dalam situasi tertentu simpatisan bisa jadi hardcore kalau dipicu. Jadi itu sangat rawan, dia itu diam saja, mengamati.
Nama:
Suhardi Alius
Tempat dan Tanggal Lahir:
Jakarta, 10 Mei 1962
Jabatan:
- Pamapta Polres Bandung Polda Jabar (1985)
- Wakasat Sabhara Polres Bandung Polda Jabar (1986)
- Kapolsek Cimahi Polres Bandung Polda Jabar (1987)
- Kapuskodal Ops Polres Tapanuli Selatan Polda Sumut (1992)
- Kapuskodal Ops Polres Langkat Polda Sumut (1993)
- Guru Muda Pusdik Resintel Lemdiklat Polri (1995)
- Kasubbag Patjab Pama Bagbinkarpa Dit Rendalpers Polri (1996)
- Kasubbag Patjab Pamenti Bagbinkarpa Dit Minpers Polri (1997)
- Dansat Idik Moneter Dit Serse Ekonomi Korserse Polri (1999)
- Pabungkol Spri Kapolri (2000)
- Sespri Kapolri (2001)
- Kapolres Metro Depok Polda Metro Jaya (2002)
- Wadir Reskrimum Polda Metro Jaya (2003)
- Penyidik Utama Dit II/Ekonomi & Khusus Bareskrim Polri (2004)
- Kapolres Metro Jakarta Barat Polda Metro Jaya (2004)
- Dir Reskrimum Polda Metro Jaya (2005)
- Koorspripim Polri (2005)
- Dir Minwa PTIK Lemdiklat Polri (2009)
- Dir V/Tipiter Bareskrim Polri (2009)
- Dir Tipiter Bareskrim Polri (2010)
- Wakapolda Metro Jaya (2011)
- Kadiv Humas Mabes Polri (2012)
- Kapolda Jawa Barat (2013)
- Kabareskrim Polri (2013)
- Sekretaris Utama Lemhannas (2015)
- Kepala BNPT (2016 sampai sekarang)