Sukar dilenyapkan
Konflik sektarian di Timur Tengah menguntungkan ISIS.
Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jerman, Australia, Arab Saudi, Irak, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Qatar. mereka adalah negara-negara telah berkomitmen menggelar operasi militer dipimpin Amerika untuk menumpas kelompok ISIS (negara Islam Irak dan Syam) sejak Juni lalu telah menyatakan diri sebagai kekhalifahan Islam.
Dengan sokongan teknologi persenjataan mutakhir dan pasukan berpengalaman, di atas kertas pasukan koalisi ini mampu mengalahkan ISIS di bawah kendali Abu Bakar al-Baghdadi. Meski begitu, patut diingat SIS memang bisa saja ditaklukkan namun mustahil buat dilenyapkan.
Setelah mencaplok enam provinsi di Suriah dan Irak, ISIS kini telah menjadi ancaman bagi kawasan. Setidaknya ada tiga faktor membikin sulit buat menyelesaikan persoalan begitu rumit itu, seperti dilansir vox.com Jumat pekan lalu.
Pertama, dinas rahasia luar negeri Amerika Serikat (CIA) memperkirakan ISIS mempunyai sedikitnya sepuluh ribu personel. Perkiraan maksimal ada 31.500 militan tergabung dalam ISIS.
Setelah ISIS melahap wilayah utara Irak pada 10 Juni lalu, banyak militan muslim bergabung dengan kelompok itu. Mereka memang bukan pasukan murahan. mereka terdiri dari orang-orang terlatih dalam konflik di Irak dan Suriah selama bertahun-tahun.
Sebagai bukti, sebanyak 800 anggota ISIS tiga bulan lalu mampu membikin 30 ribu tentara Irak lari tunggang langgang dari Mosul, kota terbesar kedua di negeri 1001 Malam itu.
Sebaliknya, para pemberontak Suriah telah tiga tahun bertempur belum mampu menumbangkan kekuasaan Presiden Basyar al-Assad. Padahal, mereka terdiri dari seribu kelompok dengan kekuatan seratus ribu personel.
"Para pengamat melacak gerakan pemberontakan mengatakan konsep Tentara Pembebasan Suriah (FSA) sebagai kekuatan pemersatu dengan struktur komando efektif adalah sebuah mitos," tulis tiga wartawan surat kabar the New York Times.
Sejak mereka berhasil mengusir ISIS dari sebagian utara Suriah awal tahun ini, para pemberontak hanya mencapai sedikit kemajuan dalam pertempuran mereka. Bahkan di banyak wilayah, mereka takluk dari pasukan Assad dan ISIS. "Di banyak tempat mereka sibuk bertempur menghadapi pasukan Assad dan tidak ingin lagi melawan ISIS," kata mereka.
Kedua, konflik sektarian seolah sudah menjadi budaya dan tradisi di Timur Tengah. perang dilakoni ISIS adalah palagan antara kaum Sunni radikal menghadapi rezim Syiah. Gambaran serupa juga terjadi Irak. Negara ini terbelah dua: di bagian utara dihuni mayoritas kaum Sunni dan sebelah selatan dikuasai orang-orang Syiah.
Ketika Presiden Saddam Husain berkuasa, Syiah menjadi korban. Sedangkan sekarang rezim Syiah di tampuk kekuasaan dan membikin kelompok Sunni iri hati.
Sebanyak 56 persen dari anggota kabinet Irak dipimpin Perdana Menteri Haidar al-Abadi adalah orang Syiah. Bahkan komposisi ini lebih banyak ketimbang resim sebelumnya dikomandoi Nuri al-Maliki.
Kenyataan ini bakal membuat kaum Sunni merasa terasing dan mereka bisa jadi tertarik masuk ISIS, kelompok militan anti-Syiah.
ketiga, sejak serangan 11 September 2001 Amerika belum mampu menghancurkan organisasi teroris besar. Organisasi-organisasi teror, termasuk ISIS, kerap memperoleh sokongan dari penduduk setempat sehingga membikin mereka mudah bersembunyi dan merekrut anggota.
Sistem kepemimpinan terdesentralisasi mengakibatkan mereka tidak terpengaruh dengan kematian pentolan mereka. Sebut saja, Asy-Syabab berkuasa di Somalia masih terus bertahan sampai sekarang meski pemimpin mereka tewas.
Al-Qaidah juga begitu. Walau pendiri jaringan itu Usamah Bin Ladin terbunuh, mereka mampu melanjutkan perjuangan dan bahkan kini telah menjadi kelompok teroris transnasional. Mereka menjelma sebagai Al-Qaidah di Semenanjung Arab (AQAP). Taliban juga sama.
"Kita tidak akan melihat akhir dari jaringan teror ini selama hidup kita," ujar Charles F. Wald, pensiunan jenderal angkatan udara Amerika.