Tanpa label, sulit membedakan transgenik dan bukan
Aturan di Indonesia sudah memadai buat menangani produk transgenik.
Siapa sangka kedelai dan jagung curah Anda beli di pasar ternyata hasil rekayasa genetika alias transgenik. Apakah Anda sudah tahu bagaimana cara membedakan kedelai atau jagung transgenik dan bukan? Sulit, jawab Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Husna Zahir. Sebab di Indonesia hingga kini belum ada pelabelan produk-produk berbahan transgenik ini.
Padahal, hampir rata-rata kedelai impor, paling besar impor dari Amerika Serikat, merupakan kedelai transgenik. ”Untuk keamanan edar, produk harus dibeli label. Konsumen sulit membedakan karena tidak ada label pada produk transgenik meski sudah diatur oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” kata dia saat ditemui merdeka.com di kantornya Rabu pekan lalu.
Berdasar catatan Badan Pusat Statistik, Indonesia tahun lalu mengimpor 2,088 juta ton kedelai, termasuk 1,848 juta ton dari Amerika. Sisanya dari Malaysia (120 ribu ton), Argentina, (73 ribu ton), Uruguay (16,9 ribu ton) dan Brasil (13,6 ribu ton). Berdasar penuturan Ketua Komisi Keamanan Hayati Agus Pakpahan, beberapa di antara negara itu merupakan pengembang bioteknologi transgenik.
Husna Zahir melanjutkan, kedelai curah dari Amerika selama ini sudah beredar di pasar-pasar Indonesia. Di sisi lain, banyak produk jajanan lokal dan industri berbahan kedelai atau jagung. Bila sudah menjadi produk pangan, misalnya jajanan, konsumen sulit membedakan apakah produk jajanan itu berbahan kedelai transgenik atau bukan. ”Karena tidak ada informasi label,” ujarnya.
Persoalan lain, bisa saja pengusaha jajanan itu berdalih telah menggunakan bahan baku non-transgenik. Tetapi siapa tahu, ketika stok kedelai lokal habis, diam-diam mereka beralih menggunakan kedelai transgenik lagi. ”Kami hanya ingin transparansi, hak mendapat penjelasan informasi, produk transgenik harus lolos uji keamanan dan pelabelan,” kata dia.
Apalagi hasil budidaya bibit transgenik hingga kini masih dalam perdebatan. Gilles-Eric Seralini, profesor biologi molekuler dari Universitas Caen, Prancis, menguak dampak buruk produk transgenik ini melalui sebuah penelitian. Hasilnya, produk transgenik bisa menyebabkan tumor payudara serta kerusakan ginjal dan hati. Bahkan dalam waktu lama, mengkonsumsi makanan transgenik bisa mengakibatkan kematian.
Organisasi pegiat lingkungan dunia, Greenpeace, mendukung Seralini sebab mereka anti terhadap rekayasa genetik pangan. Namun berbeda dengan Jon Entine, Direktur Genetic Literacy Project di Universitas George Mason, Amerika Serikat. Dia sempat menulis polemik hasil penelitian Seralini di situs Forbes. Dia mencemooh hasil penelitian Seralini itu.
Entine menuding penelitian Seralini tidak memenuhi kaidah publikasi ilmiah. Alasannya, dalam laporan penyajian hasil penelitian tidak menampilkan semua data seharusnya bisa dikoreksi dan dievalusasi oleh pembaca.
Namun menurut Dwi Andreas Santosa, pakar bioteknologi tanah dan lingkungan jebolan Institut Pertanian Bogor, boleh atau tidaknya benih transgenik tergantung pemerintah. Indonesia sudah memiliki aturan tentang keamanan produk hasil rekayasa genetik, misalnya Undang-undang Nomor 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety.
Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik dan Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. “Undang-undang dan peraturan itu sudah memadai untuk mengatur produk hasil rekayasa genetika. BPOM bertanggung jawab untuk keamanan pangan produk rekayasa genetika,” ujar Andreas.
Berdasar aturan-aturan itu pula, Komisi Keamanan Hayati Kementerian Pertanian bulan lalu menyimpulkan produk transgenik tidak berbahaya. Mereka merekomendasikan jagung transgenik varietas RR NK603 disisipi gen bakteri tanaman (Agrobacterium) dan jagung varietas Bt Mon89034 disisipi gen bakteri tanah (Bacillus thuringiensis) aman.