Tingkah pemimpin dan derita rakyat Sudan Selatan
Tingkah laku pemimpin dengan nafsu menang sendiri dan tahayul politik di Sudan Selatan menggerus upaya nation-building.
25 Desember lalu seharusnya rakyat Sudan Selatan, yang mayoritas beragama Kristen bisa merayakan Natal, namun negara yang baru berdiri dua tahun (merdeka dari Khartoum) di Afrika Tengah itu lagi dilanda krisis humaniter akibat perang saudara.
Di malam Natal itu ribuan rakyat mengungsi, toko-toko dijarah, rumah sakit ditinggalkan dokter dan kehabisan obat. Sejak pecah konflik pada 15 Desember lalu, lebih 500 orang tewas dan 90.000 orang telah mengungsi serta 58.000 di antaranya berada di penampungan PBB.
Dewan Keamanan PBB telah memutuskan untuk mengerahkan 12.500 tentara dan 1.323 polisi penjaga perdamaian. Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika juga telah menyatakan kekecewaan mendalam karena negara bayi itu telah jatuh secara amat cepat pada krisis internal berdarah.
Dua pemimpin negara tetangga Sudan Selatan yaitu Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta dan Perdana Menteri Ethiopia, Hailemariam Desalegn ikut repot dan cawe-cawe mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Sudan Selatan khususnya dengan Presiden Salva Kiir di ibukota Sudan Selatan, Juba, tanggal 26 Desember untuk meredakan konflik. Namun sampai kolom ini ditulis belum ada kesepakatan yang muncul dari pertemuan itu.
Presiden AS, Barack Obama pada 21 Desember telah menegaskan bahwa tiap upaya militer dalam meraih kekuasaan di Sudan Selatan akan menghentikan dukungan AS pada negara baru itu. Sekjen PBB juga telah mengancam bahwa siapa saja yang mengakibatkan korban sipil akan diminta pertanggungjawabannya.
Kenapa negara baru yang kaya minyak itu malah kaya konflik setelah berhasil memisahkan diri dari Sudan? Pertama, perang saudara ini adalah akibat konflik pribadi antara Presiden Salva Kiir dengan Wakil Presiden Dr Riek Machar dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis. Kiir datang dari suku dominan Dinka, sedang Machar bersuku Nuer yang merasa terdiskriminasi dalam bebagai hal.
Kedua pemimpin ketika masih bersama dalam kabinet dikenal tak saling percaya dan tak berkomunikasi satu sama lain. Padahal keduanya sebelumnya adalah sama-sama pemimpin SPLM (Sudan People’s Liberation Army) yang berjuang memisahkan diri dari Sudan.
Konflik berdarah bermula ketika Kiir mengerahkan tentara faksi SPLM yang setia kepadanya untuk memerangi faksi SPLM yang berada di belakang Machar dengan alasan menumpas kudeta. Sejak itu tentara Machar bergerilya memerangi tentara SPLM yang setia dengan Kiir.
Kedua, tingkah otoriter Presiden Salva Kiir menimbulkan kegeraman faksi-faksi lain dalam pemerintahan baru Sudan Selatan yang memicu konflik. Kiir selalu menyatakan bahwa pemerintahan SPLM setia pada demokrasi dan memegang teguh prinsip transisi kekuasaan secara damai, namun hal itu dibantah oleh para lawan politiknya.
Konstitusi Sudan Selatan yang disusun oleh SPLM memberi kekuasaan yang amat luas pada presiden termasuk memecat gubernur pilihan rakyat seperti yang terjadi dengan gubernur di Lakes, Unity dan Jonglie. Presiden bahkan mempunyai kekuasaan untuk memilih anggota DPR.
Ketiga, korupsi merajalela dalam pemerintahan Salva Kiir yang baru seumur jagung itu. Bulan Agustus lalu sebuah penyelidikan korupsi di Sudan Selatan mengungkapkan adanya 11.000 nama polisi palsu yang ada dalam daftar gaji kepolisian Sudan Selatan dan 16.000 nama lainnya yang dinilai mencurigakan. Jumlah itu merupakan separuh dari keseluruhan jumlah personil kepolisian Sudan Selatan.
Keempat, adanya tahayul politik. Suku Nuer di mana mantan Wapres Machar berasal meyakini adanya Nabi suku Nuer yang bernama Ngundeng yang meramalkan bahwa di masa depan Sudan akan dipimpin oleh seorang tokoh bertangan kidal dan bergigi ompong di bagian atas dan hal itu cocok dengan sosok Machar. Kepercayaan inilah yang memotivasi Machar memperebutkan kepemimpinan SPLM dari Dr John Garang di tahun 1991 dan masa-masa selanjutnya.
Tingkah laku pemimpin dengan nafsu menang sendiri dan tahayul politik di negara Sudan Selatan yang baru lahir telah menggerus upaya nation-building yang baru dirintis dan menimbulkan penderitaan rakyatnya. Sebagian komunitas internasional yang dulu mendukung pemisahan Sudan Selatan dari Sudan harus menunjukkan tanggung jawabnya dengan ikut serta mengakhiri konflik dan penderitaan di negara itu.