Kekerasan Seksual Terhadap Penyandang Disabilitas Memiliki Kerentanan Tinggi
Penyandang disabilitas, cenderung memiliki kerentanan lebih tinggi sebagai korban kekerasan seksual.
Kekerasan seksual adalah perilaku menyimpang yang tidak dibenarkan oleh hukum apapun. Sepanjang tahun 2021, data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah personal yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus.
Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebut, 8.730 kekerasan seksual terjadi selama tahun 2021. Ini angka yang mencengangkan bagi kita sebagai warga negara yang berharap perlindungan maksimal dari payung hukum.
-
Kapan kalimat opini biasanya muncul? Menunjukkan peristiwa yang belum pasti terjadi atau terjadi dikemudian hari.
-
Siapa yang bisa membuat kalimat opini? Merupakan pikiran atau pendapat seseorang maupun kelompok.
-
Apa bedanya fakta dan opini? Fakta dan opini merupakan dua hal yang sering dikaitkan satu sama lain. Dua kata ini sering kali disebut dalam berita, berbagai macam buku, hingga jurnal penelitian. Bukan hanya itu, fakta dan opini juga sering dibahas dalam kehidupan sehari-hari di berbagai topik.Dalam hal ini, fakta dan opini adalah dua hal yang berbeda, bahkan saling bertolak belakang.
-
Kenapa libur nasional penting? Libur nasional memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk beristirahat, bersantai, dan mengisi ulang energi setelah bekerja atau belajar dengan keras. Libur nasional juga dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik, serta produktivitas kerja.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Kapan kalimat fakta dan opini muncul? Perbedaan fakta dan opini bisa dilihat dari penggunaannya saat berkomunikasi atau menyampaikan informasi.
Jumlah tersebut di dalamnya termasuk korban yang merupakan penyandang disabilitas. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 987 kekerasan terjadi pada anak penyandang disabilitas. 264 diantaranya adalah anak laki-laki dan 764 anak perempuan selama 2021 lalu. Lebih dalam lagi, 591 orang merupakan korban kekerasan seksual.
Penyandang disabilitas, cenderung memiliki kerentanan lebih tinggi sebagai korban kekerasan seksual. Ini karena kemampuan untuk melindungi diri mereka lebih terbatas karena hambatan komunikasi dan intelektual. Kemudian, akses informasi terhadap pendidikan seksual membutuhkan cara yang khas kepada penyandang disabilitas.
Kejadian di Aceh Besar pada Oktober 2021, di mana terjadi rudapaksa oleh pelaku terhadap korban yang merupakan perempuan disabilitas. kasus ini menjadi atensi aparat keamanan dan segera menangkap pelaku, setelah keluarga mengetahui korban telah hamil empat bulan. Rudapaksa juga terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), bulan April tahun 2022. Pelaku yang berjumlah tiga orang pria melakukan rudapaksa terhadap korban yang merupakan perempuan penyandang disabilitas.
Dua kasus diatas hanyalah sebagian dari berbagai kasus lainnya yang terjadi pada penyandang disabilitas di Indonesia. Sebagian besar bentuk kekerasan seksual yang terjadi merupakan rudapaksa terhadap korban yang tidak dapat melakukan perlawanan.
Pada 9 Mei 2022, pemerintah telah mensahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Ini merupakan jawaban dari produk hukum yang tersedia sebelumnya dianggap belum cukup optimal untuk memberikan pencegahan, pelindungan, keadilan, hingga pemulihan terhadap korban TPKS.
Kita berharap UU TPKS ini efektif untuk menjadi payung hukum bagi pelaksanaan pelindungan terhadap seluruh warga negara dari ancaman tindak pidana kekerasan seksual, yang termasuk didalamnya, penyandang disabilitas. Proteksi terhadap penyandang disabilitas harus dipastikan karena tingkat kerentanan yang tinggi. Hal ini, tidak lain untuk terpenuhinya amanah dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, yang mengatur hak serta pelindungan bagi warga disabilitas di Indonesia.
Kerja-kerja kolaboratif antara pemangku kebijakan, baik pemerintah pusat, daerah, dan aparat penegak hukum harus terjadi secara harmonis di lapangan sehingga bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi penyandang disabilitas dalam menjalankan aktivitas tanpa ada ketakutan dari berbagai macam potensi tindak pidana, utamanya kekerasan seksual.
Kekhasan disabilitas dalam menerima informasi dan edukasi harus turut menyertakan peran-peran kelompok sipil di masyarakat seperti organisasi-organisasi disabilitas. Mereka memiliki kemampuan berinteraksi yang efektif sangat dibutuhkan dalam pendampingan saat berkomunikasi.
Edukasi juga diberikan kepada pemerintah baik di pusat dan daerah serta aparat hukum, tentang bagaimana menangani korban kekerasan seksual dari penyandang disabilitas. Saya meyakini, jika ada keselarasan dari setiap pihak untuk tidak menempatkan disabilitas sebagai warga marginal, maka masyarakat juga akan terbuka untuk melihat penyandang disabilitas sebagai warga yang sama haknya dalam hukum positif.
Maka, inklusifitas menjadi penting, karena adanya pelibatan yang sama bagi disabilitas dalam ruang-ruang publik, memudahkan tersampaikannya informasi bagi penyandang disabilitas tentang langkah pencegahan terhadap potensi kekerasan seksual serta bagaimana cara menghadapi kejadian dan menginformasikan kepada orang terdekat, agar langkah penegakan hukum bisa diambil secara terukur dengan tetap memerhatikan kondisi fisik serta psikologis penyandang disabilitas.
(mdk/noe)