Pria Disabilitas di NTB Jadi Tersangka Pelecehan Seksual. Apa Modus yang Digunakan?
Seorang penyandang disabilitas tunadaksa berinisial IWAS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual.
Seorang disabilitas tunadaksa yang dikenal dengan inisial IWAS telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual. Tim dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri datang ke Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) untuk mengevaluasi penanganan kasus pelecehan seksual ini.
Dirreskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, mengonfirmasi kedatangan tim Bareskrim Polri pada Selasa (4/12) di Mataram, menjelaskan bahwa mereka ingin mengetahui penanganan kasus tersebut.
“Iya, benar. Kami kedatangan tamu dari Bareskrim Polri. Kami menerima baik dan kami jelaskan fakta kegiatan yang sudah kami lakukan,” ungkap Syarif.
Dia menambahkan bahwa pihaknya telah menjelaskan seluruh proses penanganan kasus tersebut, mulai dari tahap penyelidikan hingga penyidikan yang telah menetapkan IWAS sebagai tersangka.
Saat ini berkas kasus tersebut sudah masuk ke tahap pelimpahan ke jaksa peneliti.
“Penanganan yang kami lakukan apakah sudah sesuai aturan dan sudah dilaksanakan? Apa saja langkah-langkahnya? Itu yang jadi poin pertanyaan tim Bareskrim datang,” ujarnya.
Syarif juga menegaskan bahwa dalam menangani kasus ini, pihaknya bersikap terbuka kepada publik serta lembaga pengawas kinerja penegak hukum, baik internal maupun eksternal.
Dalam proses penyelidikan, mereka juga berkoordinasi dan meminta pendampingan dari Komite Disabilitas Daerah (KDD), mengingat terduga pelaku adalah seorang penyandang disabilitas.
Ia menekankan dukungannya terhadap pengawasan ini sebagai bentuk transparansi dalam penanganan hukum yang telah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.
“Jadi, kami di sini enggak mencari-cari, karena ini memang ada laporan, yang dilaporkan korban dan perempuan yang menjadi korban ini dilindungi secara haknya, itu ada diatur dalam undang-undang juga,” tambahnya.
Komentar dari masyarakat di media sosial mengenai penanganan kasus ini menjadi viral, terutama setelah terungkapnya bahwa seorang penyandang disabilitas tanpa dua lengan bisa menjadi tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual.
Syarif menganggap komentar tersebut sebagai masukan untuk meningkatkan kinerja kepolisian, khususnya dalam menangani kasus IWAS yang dianggap belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya.
“Kami melihat itu (komentar) sebagai koreksi bagi kami, sebagai masukan dan semangat bagi kami,” katanya.
Ia juga menyatakan bahwa kepolisian perlu belajar dari kasus ini dengan memberikan informasi yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat. IWAS, yang saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Mataram, menjadi tersangka kasus dugaan pelecehan seksual berdasarkan hasil gelar perkara yang menemukan setidaknya dua alat bukti.
Alat bukti tersebut diperoleh dari pemeriksaan dua korban, saksi, hasil visum, dan keterangan ahli psikologi dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Dalam berkas penyidikan, IWAS yang merupakan penyandang disabilitas tunadaksa diduga telah melakukan perbuatan pidana asusila dengan modus komunikasi verbal yang berpotensi mempengaruhi sikap dan psikologi korban.
Oleh karena itu, penyidik menerapkan sangkaan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Masa Penahanan Tersangka Diperpanjang
Sementara itu, Penyidik Polda NTB telah memperpanjang masa penahanan tersangka IWAS yang terlibat dalam kasus dugaan pelecehan seksual. IWAS adalah seorang penyandang disabilitas tunadaksa.
"Jadi, tersangka IWAS ini berstatus tahanan rumah, habis hari ini, nanti kami perpanjang," ungkap Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB, Kombes Pol. Syarif Hidayat, di Mataram pada hari Selasa.
Dengan pernyataan tersebut, penyidik berencana untuk memperpanjang penahanan IWAS yang saat ini berstatus tahanan rumah selama 40 hari ke depan. Mengenai perkembangan penanganan kasus, Syarif menjelaskan bahwa pihaknya masih menunggu hasil penelitian berkas dari jaksa. Jika berkas dinyatakan lengkap, dia memastikan bahwa penyidikan akan segera dilanjutkan dengan melimpahkan tersangka dan barang bukti kepada jaksa penuntut umum.
Dia menegaskan bahwa kasus IWAS, yang saat ini sedang dalam penelitian berkas oleh jaksa, merupakan tindak lanjut dari laporan korban yang berstatus sebagai mahasiswi.
Dalam kasus ini, Syarif menyebutkan bahwa terdapat dua korban yang telah memberikan keterangan dan menjadi bagian dari kelengkapan berkas. Selain itu, terdapat bukti lain seperti hasil visum korban, kesaksian dari rekan-rekan korban dan tersangka, serta pemilik sebuah penginapan.
Bukti-bukti tersebut juga diperkuat dengan keterangan dari ahli psikologi yang berasal dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Dalam berkas, penyidik menjelaskan modus operandi tersangka IWAS sebagai penyandang disabilitas tunadaksa dalam melakukan tindakan pidana asusila terhadap korban.
Modus tersebut menggunakan komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi sikap dan psikologi korban. Oleh karena itu, penyidik menerapkan sangkaan berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Komisi Disabilitas Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengungkapkan bahwa mereka telah memperoleh rekaman video yang menunjukkan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang tunadaksa berinisial IWAS terhadap korbannya.
Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Provinsi NTB, Joko Jumadi, menjelaskan di Mataram, bahwa rekaman tersebut diperoleh dari seorang perempuan dewasa yang mengklaim sebagai korban. "Rekaman video itu ada, tetapi belum bisa kami buka. Nantinya tetap akan masuk bukti di kepolisian," ungkap Joko.
Ia juga menambahkan bahwa perempuan yang mengaku sebagai korban dan pemilik rekaman video tersebut saat ini sedang menjalani pemeriksaan di Kepolisian Daerah NTB.
"Yang jelas, ini (korban usia dewasa), yang sedang di-BAP (berita acara pemeriksaan), korban baru yang masuk proses pengembangan kepolisian, bukan dari yang tiga korban pertama," jelasnya.
Selain rekaman video dari korban dewasa, Joko juga menginformasikan bahwa terdapat rekaman video dari korban anak-anak. "Yang anak-anak ini ada (rekaman video). Hanya saja belum kami dapatkan karena kejadiannya memang cukup lama, tahun 2022," tambahnya.
Joko menjelaskan lebih lanjut bahwa dari total 10 korban yang melapor kepada KDD Provinsi NTB, dua di antaranya kini sedang dalam proses pemeriksaan di Polda NTB. Kedua korban tersebut adalah perempuan dewasa.
"Untuk korban lain, ini masih tarik ulur, mau sampaikan ke kepolisian atau tidak. Yang jelas, hari ini sudah ada dua korban usia dewasa yang mau berikan kesaksian di Polda NTB. Untuk yang usia anak, tiga orang, itu belum, masih ditangani LPA (Lembaga Perlindungan Anak)," tutup Joko.