Kenapa setiap tahun hari Idul Fitri selalu berbeda?
Berikut ulasan selengkapnya.
Setiap mendekati lebaran Idul Fitri, di malam takbiran banyak orang nonton TV untuk nentuin apakah besok masih puasa atau udah melahap opor ayam. Hampir tiap tahun kita nemuin masalah serupa yang berulang-ulang. Biasanya ada yang lebaran duluan, lebaran belakangan atau yg paling beda sendiri, lebarannya dua hari lebih awal. Jadi debat “Kapan sih sebenarnya Hari Lebaran itu?” biasanya juga disudahi dengan kata-kata: "ya sudah gak perlu diberdebatkan.. kan perbedaan adalah rahmat”.
Nah, terlepas dari sikap itu, di artikel kali ini gw mau kita coba kaji dari sisi sains, terutama dalam ranah sejarah dan astronomi. Kenapa sih kita punya intrepretasi yang berbeda dalam melihat sistem kalender? Kenapa hilal muncul dengan pola yang berbeda setiap tahunnya? Di artikel ini, kita akan menelusuri awal mula sistem kalender yang dibuat oleh peradaban kuno. Kita juga akan lihat bagaimana orang-orang terdahulu menggunakan akal, logika dan pengamatan empiris untuk melihat pola berulang di langit. Terakhir, kita akan mengkaji bagaimana astronomi berusaha menyelesaikan perbedaan akan pertanyaan “Kapan lebaran?”.
-
Apa makna "Merdeka Belajar" menurut Ki Hajar Dewantara? Melalui buah pikirannya, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidan merupakan serangkaian proses untuk memanusiakan manusia. Dikutip dari Kemdikbud.go.id, konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara didasarkan pada asas kemerdekaan. Maksudnya, manusia diberi kebebasan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan pada aturan yang ada di masyarakat.
-
Kapan konsep Merdeka Belajar yang diusung Ki Hajar Dewantara diadopsi dalam sistem pendidikan Indonesia? Konsep Merdeka Belajar yang pernah diusung Ki Hajar Dewantara diadopsi dalam sistem pendidikan saat ini.
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Bagaimana konsep Merdeka Belajar menurut Ki Hajar Dewantara diterapkan dalam pendidikan saat ini? Konsep Merdeka Belajar yang pernah diusung Ki Hajar Dewantara diadopsi dalam sistem pendidikan saat ini. Program Merdeka Belajar pertama kali dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem. Dalam sistem itu, esensi kemerdekaan belajar harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi.
-
Kenapa Kurikulum Merdeka diterapkan? Seperti disebutkan, Kurikulum Merdeka diterapkan untuk mengganti kurikulum sebelumnya. Meski belum mencakup seluruh Indonesia, namun mayoritas daerah terutama di kota besar sudah mulai menerapkan kurikulum baru ini.
-
Kapan nama surat kabar Benih Merdeka diubah? Akhirnya pada tahun 1920, ia mengubah nama menjadi "Mardeka".
SUMBER MASALAHNYA DIMANA SIH?
Okay, buat pembaca yang Beragama Islam, hampir pasti tau bahwa cara nentuin Hari Lebaran itu dengan melihat Hilal, atau istilahnya Bulan Baru (New Moon) setelah bulan Ramadhan. Jadi kalo penampakan Bulan Sabit udah keliatan dikit, artinya hari itu udah resmi jadi 1 Syawal atau Hari Idul Fitri. Nah, cuma sekarang pertanyaannya, kenapa hari 1 Syawal itu kok selalu bergeser dari tahun ke tahun? Udah gitu selalu ada yang beda pendapat kapan jatuh tempo-nya hari tersebut?
Sebelum kita bahas lebih lanjut, gw mau tanya dulu nih... Lu tau gak sih kenapa kok di dunia ini ada banyak sistem penanggalan? Ada yang namanya penanggalan Masehi, penanggalan Hijriah, penanggalan Jawa, penanggalan Cina, dsb.. Kenapa sih di setiap peradaban itu punya persepsi sendiri-sendiri tentang konsep waktu? Nah, untuk menjawab pertanyaan kenapa Lebaran setiap tahun berbeda-beda, kita coba telusuri dulu sejarah panjang tentang perjalanan manusia untuk mengetahui konsep waktu. Kenapa 1 tahun Masehi itu harus, 12 bulan, 52 minggu, 365 hari? Kenapa satu hari itu harus 24 jam? Kenapa 1 jam itu harus 60 menit? dan kenapa 1 menit itu 1 detik? dan kenapa 1 detik itu bisa disepakati pada kecepatan yang konstan? Okay, untuk menelusuri itu, gw pengen lu semua buat nyimak cerita (yang agak) panjang berikut ini.
Gimana Konsep Waktu Pertama Kali Terpikir Oleh Manusia?
10.000 tahun yang lalu, tidak ada orang yang tahu bahwa hari ini adalah hari apa, bulan apa dan tahun berapa saat ini. Setiap hari manusia melakukan kegiatan yang sama seperti berburu dan mencari tumbuhan untuk dimakan. Namun ketika hewan buruan bermigrasi, tanaman tidak tumbuh, cuaca berganti, dan perubahan siklus alam lainnya, menyebabkan manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan protein mereka, barulah manusia sadar ada suatu siklus yang berulang. Mereka mulai berpikir bahwa alam selalu berubah dan kembali pada pola yang sama. Pada saat itu, barulah konsep "tahun" itu mulai muncul di kepala mereka.
Terlebih lagi ketika peradaban mulai mengenal pertanian. Mereka mulai sadar bahwa dalam satu tahun, ada waktu tertentu yang lebih baik untuk menanam dibanding waktu yang lain. Mulailah mereka membagi waktu tahunan menjadi musim dan bulan. Hal itu membuat orang-orang perlu membaca pergerakan benda di langit dan menentukan kapan harus menanam, memanen, memancing, dan berburu.
Nah pada titik ini, setiap peradaban di seluruh dunia dari mulai Mesopotamia, Arab, Maya, hingga daratan Cina mengembangkan sistem penanggalannya masing-masing. Ada yang berbasis pada fenomena terbit/tenggelamnya matahari (solar), ada yang berbasis pada siklus penampakan bulan dari bulan purnama hingga bulan mati (lunar), dan ada juga yang menggabungkan sistem solar dan lunar (luni-solar). Jadi masing-masing punya tolak ukur dan indikator yang berbeda-beda dalam menjelaskan pola siklus alam yang begitu misterius pada waktu itu.
BENDA LANGIT MANA YANG HARUSNYA JADI PATOKAN?
Okay, jika manusia melihat patokan pergerakan benda-benda langit untuk mendeteksi siklus alam di sekitarnya, maka manusia dihadapkan pada beberapa pilihan, diantaranya: matahari, bulan, dan rasi bintang. Mana yang lebih akurat untuk mengetahui ketimbangan proses sikus alam? Yuk kita bahas satu per satu.
LUNAR | BULAN
Sistem ini berbasis revolusi bulan mengelilingi Bumi. Sistem ini yang paling sederhana dan diduga dipakai pertama kali oleh peradaban peradaban awal. Keunggulannya adalah, mudah diterapkan oleh tiap orang. Kita tinggal melihat perubahan bentuk bulan di langit tiap malam.
Kalo lu perhatikan bulan, pastinya ada saatnya bulan itu bentuknya bulat sempurna (purnama), ada saatnya bulan separuh, bulan sabit, sampe ada malam ketika bulan gak nampak sama sekali (bulan mati). Perubahan tampilan dari bulan itu akibat dari revolusi bulan mengelilingi Bumi. Perubahan penampakan dari bulan ini yang adalah fenomena yang paling mudah terlihat dan konsepnya cukup sederhana sehingga diduga dipakai pertama kali oleh peradaban-peradaban awal di berbagai belahan dunia seperti Babilonia di Sumeria (sekitar 1800 SM). Simplenya, manusia tinggal melihat perubahan bentuk bulan di langit tiap malam.
Jadi mulai dari fenomena itulah, sebuah siklus penampakan bulan dari bulan mati, bulan sabit, bulan Purnama, sampai ke bulan mati lagi dinamakan fase satu bulan.
Fase antara bulan mati (gak keliatan bulan sama sekali), sampai ada secercah cahaya tipis dari pantulan sinar matahari pada bulan yang membentuk sabit - itulah saat Hilal dan hari Lebaran ditentukan!
Nah, pada jazirah Arab Pra-Islam (pada masa Agama Islam belum ada di Arab), peradaban manusia di daerah itu sudah menggunakan sistem bulan yang dimodifikasi. Ada 12 bulan dalam penanggalan arab seperti di table berikut. Tidak mengherankan nama-nama bulannya sama dengan Kalender Islam Hijriah.
Nama bulan Lama hari
1. Muharram 30
2. Safar 29
3. Rabiul Awal 30
4. Rabiul Akhir 29
5. Jumadil Awal 30
6. Jumadil Akhir 29
7. Rajab 30
8. Sha’ban 29
9. Ramadan 30
10. Syawal 29
11. Dhulqaidah 30
12. Dhulhizah 29/30
Total 354/355
Nah lho, kok totalnya cuma 354 hari?? Berbeda sama kalender Masehi yang sehari-hari kita pakai itu kan 365 hari. Artinya pada jaman itu, manusia berpikir bahwa siklus alam kembali pada titik awal dalam tempo waktu 354 hari, sedangkan sistem Gregorian/Masehi yang umum kita pakai sekarang mengintrepretasikan bahwa perubahan siklus alam itu kembali pada titik awal pada 365 hari.
Nah, kenapa sistem kalendar berbasis bulan yang 354 hari ini bukan yang dipakai secara umum? Soalnya ada kekurangan mendasar dari sistem kalender berbasis bulan atau Lunar. Setelah beberapa tahun, bulan yang sama tidak menunjukan rasi bintang yang sama. Rasi yang menjadi patokan setelah beberapa tahun datang terlambat atau mendahului. Untuk peradaban yang tidak bergantung pada pertanian, hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Tapi di peradaban yang menggantungkan pada perubahan musim untuk menentukan kapan menanam dan kapan memanen, ini masalah besar! Mulailah beberapa peradaban melibatkan benda langit lainnya, yaitu Matahari.
SOLAR | MATAHARI
Matahari awalnya dipakai hanya untuk siklus harian. Ketika matahari terbit dan tenggelam disebut siang, sedangkan waktu ‘ketiadaan’ Matahari antara matahari tenggelam dan terbit disebut malam -- dan gabungan keduanya disebut dengan 1 hari. Namun ketika fenomena terbit/tenggelamnya matahari ini digunakan untuk melakukan perhitungan siklus jangka panjang, ternyata tidak akurat.
Jadinya, sistem solar itu lama tidak disadari oleh manusia karena pola pergerakannya tidak mudah terlihat. Sampai pada suatu ketika manusia sadar bahwa pergerakan terbit/tenggelamnya matahari itu tidak berulang pada orbit yang sama. Hal itu disadari ketika para pendeta yang tinggal di kuil-kuli seperti di Tenothlican, Thebes dan Acropolis, mulai melihat jalur matahari di langit lewat bayangan patung dan pilar-pilar di kuil.
Gambar berikut adalah Analemma, yaitu jalur pergerakan Matahari di langit yang difoto selama durasi 1 tahun pada jam yang sama tiap harinya.
Para pendeta ini melihat bahwa posisi Matahari di langit dapat menunjukan musim dengan lebih tepat dibanding kalender sistem bulan. Sistem Solar membagi 1 tahun langsung dengan 365 posisi Matahari di langit. Kenapa 365 hari? Karena setelah angka tersebut, matahari kembali di posisi awalnya.
Selain dapat melihat posisi matahari, Analemma juga dapat melihat pergantian musim.
Dengan melihat pola pergerakan matahari sepanjang tahun, mereka bisa memprediksi datangnya Musim Panas, Gugur, Dingin dan Musim Semi. Bagi kita yg tinggal di khatulistiwa dan beriklim tropis, faktor yang disebutkan memang tidak terlalu berpengaruh pada musim. Walaupun begitu, kalender matahari atau solar, bukannya tidak penting untuk peradaban yang tumbuh di daerah tropis. Daerah tropis yang mengembangkan pertanian, juga membutuhkan akurasi perhitungan musim untuk masa tanam yang tepat.
Selain Analemma di kuil Apollo Yunani yang ditampilkan di atas, situs purbakala di Chankillo Peru juga memperlihatkan kejeniusan peradaban Inca. Mereka menggunakan bukit dan batu sebagai kalender tahunan mereka. Dengan melihat bukit tersebut dari satu titik, serta membandingkannya dengan posisi Matahari di sela-sela batuan, mereka bisa mengetahui bulan apa saat ini.
Kalender bulan yang mudah diamati tapi akurasinya rendah dan kalender matahari yang sulit diamati tapi dengan akurasi yang lebih tinggi. Manakah yg dipakai? Jawabnya adalah kedua-duanya, kompromi antara pragmatisme dewi bulan dan akurasi dewa matahari.
LUNI-SOLAR
Luni Solar seperti pada namanya adalah gabungan antara siklus bulanan dan siklus matahari. Konsepnya adalah dengan melihat tanggal berdasarkan perubahan penampakan bulan, tapi sekaligus dikalibrasi (interkalasi) dengan perubahan posisi matahari untuk melihat perubahan musim dalam sirkulasi tertentu (1 tahun).
Contoh interkalasi yang terkenal digunakan adalah pada peradaban arab Pra Islam dan pada kalender Yahudi. Pada kalender bulan yang digunakan oleh peradaban Arab sebelum Islam, pada satu tahun terdapat sekitar 354 hari, sedangkan jumlah hari 1 revolusi Bumi ke matahari adalah 365 ¼ hari. Ada selisih 11 ¼ hari tiap tahunnya, yang membuat kalender bulan selalu tertinggal. Inilah yang menyebabkan tanggal di tahun Hijriah selalu bergeser pada penanggalan Masehi. Kemudian untuk mensiasati selisih itu, pada setiap 3 tahun sekali, selisih tersebut diakumulasi menjadi bulan tambahan di awal tahun ke 4.
LUNAR VS SOLAR
Kalender Matahari menandakan hari dimulai dari jam 00:00:00 dan berakhir pada jam 23:59:59. Berbeda dengan pandangan pada kalender Bulan, hari dimulai ketika matahari terbenam dan berakhir sesaat sebelum terbenam esok harinya. Kalau begitu akan lebih mudah tentunya menentukan hari di kalender bulan dong? Kan fenomena alam terlihat jelas dengan mata telanjang.. Ternyata nggak juga lho, kok bisa?
Gini nih, berhubung kalender Hijriah berdasar pada sistem kalender Bulan. Artinya pergantian hari, bukan pada jam 00:00:00 tengah malam, melainkan waktu senja. Jumlah bulan di kalender Hijriah bergantian 29 dan 30 hari tiap bulannya, dimana hal itu ditentukan dari terlihat/tidaknya bulan baru. Nah, justru indikator semacam itulah yang membuat penentuan hari ternyata lebih sulit, termasuk menentukan Hari Lebaran!
Penentuan Hari Lebaran bisa didasarkan pada 2 metode, yaitu :
1. METODE PENGAMATAN
Pada tanggal 29 Ramadhan, biasanya pada waktu senja akan banyak orang yang mengamati bulan. Jika adanya Hilal, yaitu bentuk bulan sabit tipis di cakrawala, menandakan esok harinya adalah 1 Syawal yang berarti jatuhnya hari raya Idul Fitri. Akan tetapi jika kita tidak dapat melihat Hilal, maka esok harinya belum 1 Syawal melainkan jadi tanggal 30 Ramadhan. Itulah yang menyebabkan intrepretasi hari Lebaran bisa berbeda-beda antar para pengamat.
Kadang sebetulnya perbedaan itu disebabkan hal yang lumrah dan sepele, misalnya karena di Indonesia kita tinggal di daerah tropis, membuat proses pengamatan jadi jauh lebih sulit. Entah karena mendung atau terlalu terangnya matahari musim panas, bisa menyebabkan Hilal sulit terlihat jelas. Selain itu, perbedaan ketinggian tempat pengamatan, geografis dan bentang alam serta perubahan cuaca setempat, membuat metode ini mempunyai banyak kekurangan.
Ditambah lagi kebijakan beberapa kaum ulama yang melarang penggunan alat bantu seperti teleskop, binokular dan teleskop infra merah yg dapat melihat menembus awan untuk melihat hilal jika kondisi mendung. Berdasarkan pandangan mereka, yang sah adalah kesaksian yg dilihat oleh mata telanjang. Kendati demikian, ada juga pendapat di kalangan ulama yang sudah memperbolehkan pemakaian alat bantu tersebut.
2. METODE PERHITUNGAN
Metode yang kedua untuk penentuan hari adalah dengan cara Hisab atau perhitungan. Yaitu menghitung waktu rata-rata bulan untuk mengitari Bumi, dan ditetapkannya sebagai 1 bulan Hijriah. Hingga saat ini, metode perhitungan ini mendapat banyak tentangan di kalangan ulama, namun beberapa ulama lain seperti Yusuf Qardhawi sudah menyatakan sahnya metode Hisab. Kendati terlihat rigid oleh kalkulasi matematik di astronomi, sebetulnya metode Hisab ini pun mempunyai kelemahan, yaitu pertentangan sideris dan sinodis.
Apaan Lagi tuh Sideris dan Sinodis?
Dalam teori dan kalkulasi ditentukan bahwa panjang 1 bulan Hijriah adalah lama waktu Bulan menyelesaikan satu revolusinya mengelilingi Bumi. Tentunya tidak akan ada perdebatan bukan? Iya kalau kita membuat model Bumi dan Bulan saja. Tapi kita gak boleh lupa, Bulan mengelilingi Bumi dan mereka berdua bersama-sama mengelilingi Matahari. Jadi yang terlihat di Bumi, sebenarnya tidak sama jika kita lihat model revolusi 3 benda langit, Bulan, Bumi dan Matahari.
Waktu untuk 1 siklus Sinodis adalah 29.53059 hari (29 hari, 12 jam, 44 menit, 2.8 detik). Sedangkan waktu untuk 1 siklus Sideris adalah 27.32166 hari (27 hari, 7 jam, 43 menit, 11.6 detik). Ada perbedaan sekitar 2 hari 12 jam perbulannya.
Kalender lunar menggunakan siklus Sinodis, padahal justru yang paling mendekati perhitungan 1 tahun kalender matahari (365,25 hari) adalah Sideris. Kenapa Sinodis gak punya perhitungan tahun yang sama? Karena 1 bulan Sinodis, 29,5 hari, jadi kalo dikalikan 12 akan tetap menjadi 354,4 hari. Masih tidak sinkron dengan waktu revolusi Bumi ke matahari. Kalender Lunar akan tetap tertinggal sekitar 11 hari tiap tahuunya, jika tanpa kalibrasi. Itulah yang menyebabkan metode perhitungan pun memiliki kelemahan dalam menentukan hari Lebaran!
Wah Jadi Kedua Metode Masing-Masing Punya Kelemahan Dong, Terus Kita Musti Percaya Yang Mana Nih?
Wah, kalo itu sih kembali saja pada kepercayaan masing-masing. Sebetulnya tujuan gw menulis artikel ini adalah membuat kita semua kritis terhadap apa yang ada di sekitar kita. Dari waktu gw kecil, pertanyaan tentang penentuan waktu lebaran selalu dijawab oleh jawaban normatif. “Ah itu ada ilmunya, kita sih ga ngerti hal-hal gitu. Kita ngikutin aja”. Sikap seperti ini yg mau gw hilangkan dari lu semua. Kalo lu ngaku sebagai murid zenius, lu harus bisa bersikap kritis dan menganalisa setiap fenomena. Bukan mengikuti begitu saja apa yang disampaikan.
Jadi kapan lebaran tahun ini? Secara nasional itu akan diputuskan oleh ahli Falaq yang bekerja di pemerintahan, yang berasal dari organisasi Islam seperti NU dan Muhamadiyah dan bekerja sama dengan Astronomer dari Universitas Top di Negeri ini. Nah, tapi sebagai kaum intelektual muda, boleh dong kita-kita punya analisa sendiri.
Sumber: Zenius.net
(mdk/dzm)