13 Tahun kisruh Keraton Solo seolah tak berujung
Konflik internal yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat hingga saat ini belum menemui kejelasan. Berbagai upaya perdamaian dan mediasi yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo saat menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga Presiden RI, belum menemui hasil.
Konflik internal yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat hingga saat ini belum menemui kejelasan. Berbagai upaya perdamaian dan mediasi yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo saat menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga Presiden RI, belum menemui hasil.
Jika dulu konflik bermuara pada perebutan tahta, dengan munculnya raja kembar, kini raja kembar yang sudah bersatu justru menghadapi masalah yang lebih pelik. Sang raja dan kembarannya yang diangkat menjadi mahapatih tak bisa bertahta. Lantaran pertikaian dengan keluarga lainnya yang tak ingin keraton dikuasai orang yang dianggap tak cakap meneruskan keraton peninggalan dinasti Mataram Islam itu.
Konflik di Keraton Surakarta berawal sejak tahun 2004 silam, saat mangkatnya Paku Buwono XII pada 12 Juni. Tak adanya permaisuri dan putra mahkota yang akan mewarisi tahta, membuat keraton yang ada di pusat Kota Solo tersebut mengalami gonjang ganjing.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari kerabat keraton, Raja Paku Buwono XII sendiri selama bertahta memiliki 6 istri selir, tanpa istri permaisuri. Dari 6 istri tersebut, PB XII memiliki 35 anak. Namun dari jumlah tersebut, tak satupun yang diangkat menjadi putra mahkota. Namun dalam tradisi dan adat keraton Jawa, anak laki-laki tertua yang berhak menggantikan raja.
Saat itulah genderang perebutan tahta di Keraton Surakarta ditabuh. Dua kubu antara Hangabehi dan Tedjowulan yang berbeda ibu, saling mendeklarasikan diri sebagai Paku Buwono XIII.
Pada 31 Agustus 2004, Hangabehi (69), putra tertua dari selir ketiga raja yang didukung kerabat lainnya mendeklarasikan diri sebagai PB XIII dari dalam keraton. Hangabehi merasa dirinya yang paling berhak mewarisi tahta kerajaan menggantikan ayahnya.
Tiga bulan kemudian, atau tepatnya pada 9 November 2004, Tedjowulan (63) yang saat itu masih aktif sebagai anggota TNI berpangkat Letkol (Inf) menyatakan diri keluar dari keraton dan mengukuhkan dirinya sebagai PB XIII. Yakni di Dalem Sasana Purnama, Kotta Barat, Kelurahan Mangkubumen atau sekitar 5 kilometer dari keraton. Pengukuhan Tedjowulan sebagai raja memang dilakukan diluar keraton, karena kubu Hangabehi menggembok pintu keraton dari dalam.
"Jadi sesuai adat yang ada di keraton dan dhawuh (perintah) sinuhun PB XII, putra tertua dari selir yang berhak diangkat menjadi raja. Dari selir manapun asal tertua. Hangabehi putra tertua dari selir ketiga oleh Lembaga Adat dinonatkan sebagai raja dengan gelar KGPH Hangabehi. Jadi bukan mengukuhkan diri," ujar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Winarna Kusuma, Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta kepada merdeka.com.
Sejak adanya raja kembar itulah konflik keluarga Keraton Surakarta muncul hingga sekarang. Meskipun konflik saat ini sudah bergeser kepentingan dan kubu yang berseteru.
Perseteruan Raja Kembar di Surakarta tahun 2012 pernah diupayakan rekonsiliasi oleh Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo (Jokowi) dan anggota DPR Mooryati Sudibyo, di Jakarta. Kedua kubu sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi. Hangabehi yang merupakan putra tertua PB XII tetap menjadi raja, sementara Tedjowulan diangkat menjadi mahapatih dengan gelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Panembahan Agung.
Kendati sudah dilakukan rekonsiliasi, tak lantas membuat perselisihan di keraton selesai. Pasalnya selama 3 tahun menjadi raja Hangabehi dianggap melakukan sejumlah pelanggaran berat. Sehingga Lembaga Adat Keraton memberhentikan sang raja. Sebagai gantinya, Lembaga Adat mengangkat GPH Puger sebagai Plt raja.
"Pengangkatan Plt seperti ini pernah dilakukan saat PB X. Kalau sekarang ini, memang Hangabehi melakukan banyak pelanggaran. Pelanggaran berat dilakukan saat menghentikan gaji abdi dalem," terang Kanjeng Win, panggilan akrab KPA Winarna Kusuma.
Pelanggaran lain yang juga dilakukan Hangabehi sebagai raja, jelas Kanjeng Win diantaranya, dia tidak pernah menjalankan atau mengikuti upacara adat, mengangkat pemberontak menjadi pejabat dan melakukan tindak asusila. Tindakan asusila tersebut dianggap sebagai pelanggaran berat dan memalukan.
Seperti diketahui beberapa waktu lalu, PB XIII tersangkut tindak pelecehan seksual yang mengakibatkan seorang siswi SMK hamil hingga melahirkan. Namun kasus yang ditangani Polres Sukoharjo dihentikan, lantaran Hangabehi mengalami sakit permanen.
Meski telah dipecat, namun Hangabehi tetap tak bergeming. Ia tak mau melepaskan jabatannya sebagai Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bersama Tedjowulan dan kerabat lainnya, seperti GPH Suryo Wicaksono, GPH Benowo dan GPH Dipokusumo, Hangabehi yang tersingkir dari keraton dan menempati Sasana Narendra menggalang kekuatan untuk melawan Lembaga Dewan Adat yang menguasai keraton.
Praktis selama perpecahan itu Hangabehi yang sudah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertahta di Sasana Sewaka. Dia juga selama bertahun-tahun tak bisa mengikuti upacara adat keraton. Seperti kirab 1 Suro dan Tingalan Dalem Jumenengan atau upacara peringatan naik tahta.
Lembaga Dewan Adat yang didukung oleh GKR Wandansari, GKRAy Koes Moertiyah, GKR Retno Dumilah, GKR Indriyah serta putri PB XIII, GKR Timur Rumbai Kusumadewayanti dan lainnya melarang raja dan pendukungnya memasuki keraton. Sejumlah akses raja menuju gedung utama keraton dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas.
"Sebenarnya tidak ada perselisihan di keraton, tidak ada kubu-kubuan. Sebagai pelaksana adat, kita memberikan sanksi kepada raja yang telah melakukan pelanggaran. Kita kucilkan raja agar bertobat dan kembali mentaati adat keraton," tegas Kanjeng Win.
Kini menjelang ulang tahun naik tahta PB XIII yang ke 13, suasana keraton kembali memanas. Disatu sisi, kubu Lembaga Dewan Adat yang dikomandani oleh GKR Wandansari ingin tetap menjalankan upacara adat Jumenengan mesti tanpa kehadiran raja. Di kubu lain, PB XIII Hangabehi pun ingin melaksanakan ulang tahun naik tahta atau Tingalan Jumenengan di Sasana Sewaka tempat singgasana raja.
Upaya perdamaian, mempersatukan kedua kubu nampaknya sulit dilakukan. Utusan presiden, yakni Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo dan anggota Watimpres, Jenderal Purn Subagyo HS masih melakukan upaya rekonsiliasi. Namun upaya kedua utusan tersebut baru pada tataran menampung aspirasi kedua kubu.
"Kami tampung dulu masukan dari Gusti Puger dan PB XIII. Hasilnya akan saya sampaikan ke Presiden Jokowi, setelah itu baru kita umumkan keputusannya," tutup Subagyo HS.