14 Menteri bikin Soeharto lengser lebih cepat
"14 Menteri yang 'dibesarkan' oleh Pak Harto dan duduk di kabinet, menolak terbentuknya kabinet reformasi," ujar Ma'ruf.
Dua hari jelang lengsernya Soeharto, sejumlah tokoh masyarakat dan ulama dipanggil ke Istana Negara. Mereka dimintai pendapat mengenai kondisi masyarakat dan bangsa yang saat itu sedang dilanda krisis multidimensi.
Rais Aam Syuriyah PBNU Ma'aruf Amin, yang kala itu mewakili Nahdlatul Ulama (NU) untuk memenuhi undangan Soeharto itu, menceritakan bahwa saat itu Presiden Soeharto sebenarnya sudah siap untuk mengundurkan diri, demi memenuhi tuntutan masyarakat dan mahasiswa yang terus-terusan berunjuk rasa di berbagai daerah.
Dirinya menyebut, undangan kepada sepuluh tokoh masyarakat dan alim ulama itu lebih ditujukan untuk meminta saran mengenai bagaimana mekanisme yang sebaiknya diambil oleh Soeharto untuk menyatakan pengunduran dirinya.
"Beliau hanya minta pendapat karena dirinya menyadari bahwa ada tuntutan yang memintanya untuk mundur. Karena itu lah sebenarnya dia memang sudah siap untuk mundur, tapi caranya untuk mundur itu yang bagaimana," ujar Ma'ruf saat ditemui merdeka.com di kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (18/5).
Ma'ruf menjelaskan, keputusan dari diskusi antara Soeharto dengan kesepuluh tokoh masyarakat dan ulama itu sepakat untuk membentuk Kabinet Reformasi dan mempersiapkan pemilu yang dipercepat dalam waktu enam bulan ke depan. Ketika ditanya apakah benar saat itu Soeharto sendiri sudah merasa 'legowo' untuk mundur dari jabatan presiden, Ma'ruf pun membenarkan hal tersebut.
"Ya, sudah legowo. Oleh karena itu, maka rencananya dibuatlah pemilu yang dipercepat di mana Pak Harto tidak akan mencalonkan diri lagi di dalamnya. Jadi rencana awalnya itu beliau tidak mengundurkan diri, tetapi tidak mencalonkan lagi sebagai presiden dalam pemilu tersebut. Nah itu yang disepakati dalam pertemuan bersama kami," ujarnya.
Namun, mekanisme yang telah disepakati dari hasil pertemuan tersebut dengan rencana perombakan Kabinet VII menjadi Kabinet Reformasi, serta persiapan pemilu yang dipercepat dalam enam bulan ke depan, ternyata batal.
Hal ini disebabkan karena sehari setelah pertemuan di Istana Negara antara Soeharto dan kesepuluh tokoh masyarakat itu, empat belas menteri di Kabinet VII dengan serempak menyatakan mengundurkan diri. Mereka juga menyatakan penolakan bergabung dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk.
"Jadi jeda waktunya itu hanya sekitar satu hari, di mana hari sebelumnya kita semua dipanggil ke Istana untuk dimintai pendapat, kemudian hasilnya adalah pelaksanaan pemilu serta pembentukan Kabinet Reformasi, tapi sehari setelahnya para menteri itu langsung menyatakan mundur," ujarnya.
Keputusan empat belas menteri bidang Ekuin ini kemudian disebut dengan 'Deklarasi Bappenas', sebagai hasil dari rapat yang diadakan di Gedung Bappenas pada 20 Mei 1998.
"Mereka-mereka (14 menteri) yang 'dibesarkan' oleh Pak Harto dan duduk di kabinet, menolak terbentuknya kabinet reformasi. Nah itu yang kemudian membuat Pak Harto langsung mengundurkan diri," ujar Ma'ruf.
Akibat keputusan mendadak dan tak terduga dari ke empat belas pembantunya di pemerintahan tersebut, Soeharto yang saat itu sudah beranggapan bahwa mekanisme pembentukan Kabinet Reformasi dan pelaksanaan pemilu yang dipercepat dalam enam bulan ke depan merupakan langkah yang tepat, akhirnya memutuskan untuk secepat mungkin menyatakan pengunduran dirinya.
"Beliau mungkin sudah menganggap untuk apa ada pemilu lagi ketika orang-orang yang dekat dan sudah dibesarkan olehnya sudah berbuat begitu (mengundurkan diri). Oleh karenanya, Beliau langsung mengambil keputusan untuk mundur. Saya kira Pak Harto sangat kecewa waktu itu," pungkasnya.
Diketahui, keempat belas menteri yang menandatangani 'Deklarasi Bappenas' tersebut antara lain adalah Ir Akbar Tandjung, Ir Drs AM Hendropriyono, Ir Ginandjar Kartasasmita, Ir Giri Suseno Hadihardjono, Dr Haryanto Dhanutirto, Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah, Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto, Ir Rachmadi Bambang Sumadhijo, Prof Dr Ir Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc, Ir Sumahadi MBA, Drs Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng MBA.
Baca juga:
Beda sikap JK dan Luhut soal gelar pahlawan buat Soeharto
PPP tolak Soeharto diberi gelar pahlawan nasional
Cerita Habibie umpat Soeharto 'Bapak kurang ajar' sebelum lengser
Rangkap jabatan Harmoko jadi bumerang bagi Soeharto
Teka-teki mundurnya 14 menteri Ekuin sebelum Soeharto lengser
Curhatan Soeharto di depan sepuluh tokoh sebelum lengser keprabon
Detik-detik kejatuhan Orde Baru 21 Mei 1998
-
Kapan Soeharto mendapat gelar Jenderal Besar? Presiden Soeharto mendapat anugerah jenderal bintang lima menjelang HUT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52, tanggal 5 Oktober 1997.
-
Kapan Presiden Soeharto biasanya berangkat ke kantor? Pak Harto Terbiasa Berangkat ke Kantor Jam 09.00 Atau Jam 10.00 WIB Pagi harinya dia akan bekerja di Jl Cendana, seperti memanggil menteri atau memeriksa laporan dari para pejabat.
-
Apa yang dilakukan Soeharto saat rombongan presiden akan melintasi Jalan Tol Semanggi? Di tol Semanggi, tiba-tiba Soeharto menepuk pundak ajudannya, Kolonel Wiranto. "Wiranto, Beri Tahu Polisi itu Kendaraan di Jalan Tol, Tidak Perlu Dihentikan." Mereka itu membayar untuk jalan bebas hambatan, bukan malah disetop gara-gara presiden mau lewat," kata Soeharto. "Kalau Mereka Dibiarkan Jalan Pelan-Pelan kan Tidak Mengganggu Rombongan."
-
Kenapa Soeharto selalu tersenyum? Presiden Indonesia Kedua Soeharto dikenal dengan sebutan ‘The Smiling General’ atau Sang Jenderal yang Tersenyum. Ini karena raut mukanya senantiasa tersenyum dan ramah.
-
Kapan Soeharto bertugas di Sulawesi Selatan? Soeharto dan keluarga BJ Habibie sudah saling kenal dan dekat sejak tahun 1950. Kala itu, Soeharto berdinas di Sulawesi Selatan dan kebetulan rumah BJ Habibie tepat di depan markasnya, Brigade Mataram.
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.