676 Kasus UU ITE Berakhir di Jeruji Besi
Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebutkan bahwa tingkat penghukuman dari pasal 27, 28, dan 29 UU ITE mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 19 lembaga pegiat demokrasi memaparkan data kasus-kasus UU ITE selama empat tahun. Terhitung sejak awal tahun 2016 hingga Februari 2020.
Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyebutkan bahwa tingkat penghukuman dari pasal 27, 28, dan 29 UU ITE mencapai 96,8 persen atau sebanyak 744 perkara. Yang mana hanya 3,2 persen yang tidak berakhir ke ranah hukum.
-
Apa yang ditemukan di Universitas Prima Indonesia (UNPRI) Kota Medan? Kepolisian menemukan lima mayat di Universitas Prima Indonesia (UNPRI) Kota Medan usai menggeledah kampus swasta tersebut.
-
Kapan UTBK dilakukan? Setiap pelajar yang yang mendaftar jalur SNBT harus mengikuti UTBK untuk menentukan lolos atau tidak di PTN pilihannya.
-
Kapan Najwa Shihab menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia? Dilahirkan di Ujungpandang, Sulawesi Selatan, pada 1977, Najwa menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1996.
-
Di mana UNU Yogyakarta dibangun? Kampus UNU berdiri di lahan 7.478 meter persegi, dan mampu menampung 3.774 mahasiswa dan 151 dosen.
-
Apa yang menjadi ciri khas dari Universitas Terbuka? Kerangka sebelumnya cenderung preskriptif dan berorientasi pada proses dan kurang menekankan pada luaran. Kerangka seperti ini tidak memberikan ruang gerak pada UT sebagai satu-satunya single mode distance teaching university di Indonesia.
-
Kapan MA Goes To Campus di UIN Jakarta diadakan? Acara ini sendiri berlangsung di Auditorium Hasan Nasution, Kampus I UIN Jakarta, Rabu (27/09/2023) lalu.
“Conviction rate (penghukuman) mencapai 96,8 persen atau 744 perkara dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen atau 676 perkara,” kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya yang diterima merdeka.com, Selasa (16/2).
Erasmus mengatakan, berdasarkan laporan terakhir SAFEnet per Oktober 2020, jurnalis, aktivis, dan warga yang kritis menjadi korban yang paling banyak dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet. Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh LBH Pers, selama tahun 2020 setidaknya terdapat 10 Jurnalis yang sedang melaksanakan kerja kerja pers dilaporkan menggunakan ketentuan pasal - pasal dalam UU ITE.
Adapun pasal yang kerap digunakan adalah pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
“Mereka dikriminilasisasi dengan pasal multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama,” ujarnya.
Erasmus mengatakan, revisi UU ITE, khususnya dalam tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong seharusnya dijamin tidak terjadi duplikasi yang menyebabkan tumpang tindih. Sehingga berakibat bertentangan dengan kepastian hukum.
"Pasal-pasal tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dalam RKUHP yang akan dibahas,” ujarnya.
Koalisi pun meminta proses “fair trial” dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan. Koalisi juga mendukung pembaharuan KUHAP dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan.
“Revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dalam bentuk penetapan dari pengadilan,” ujarnya.
“Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan ijin dari Ketua Pengadilan,” kata dia.
Selain itu, Koalisi juga meminta pengaturan mengenai blocking dan filtering juga harus direvisi. Selain itu, Kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law.
Dia menilai, terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukan mekanisme kontrol dan pengawasan sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan.
“Kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakkan hukum, namun perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang – wenangan,” ujarnya.
Sebagai informasi, ke-19 lembaga yang tergabung dalam Koalisi Sipil Indonesia terdiri dari ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI.
Baca juga:
Jokowi Singgung Keadilan di UU ITE, PAN Bandingkan Kasus Baiq Nuril dan Abu Janda
Menunggu Langkah Konkret Jokowi Revisi UU ITE
LBH Jakarta Khawatir Jokowi Hanya Retorika Politik Soal Revisi UU ITE
Kompolnas Ingin Polri Utamakan Mediasi saat Tangani Laporan Kasus UU ITE
UU ITE Perlu Dirombak Total