Analisis Pakar Hukum Tata Negara soal Putusan PN Jakut, Bisakah Tunda Pemilu?
Fahri memandang penundaan Pemilu atas putusan PN Jakarta Pusat menghukum KPU tidak melanjutkan dan kembali melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari berpotensi menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menanggapi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima. Fahri menilai putusan yang meminta KPU tidak melanjutkan tahapan Pemilu 2024 dan kembali melakukan tahap verifikasi merupakan di luar kuasa atau ultra vires.
"Secara hukum putusan hakim dalam perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst adalah 'ultra vires' atau dengan kata lain 'beyond the power'," kata Fahri dalam keterangannya, dikutip Jumat (3/3).
-
Mengapa Pemilu 2024 penting? Pemilu memegang peranan penting dalam sistem demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kehendak rakyat, memilih pemimpin yang dianggap mampu mewakili dan melayani kepentingan rakyat, menciptakan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat, serta memperkuat sistem demokrasi.
-
Bagaimana Pemilu 2024 diatur? Pelaksanaan Pemilu ini diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024. Regulasi ini diteken KPU RI Hasyim Asyari di Jakarta, 9 Juni 2022.
-
Apa saja yang menjadi tahapan pemilu 2024? Melansir dari berbagai sumber, berikut ini merdeka.com merangkum informasi tentang apa saja tahapan pemilu 2024, berikut jadwal serta alurnya. Simak ulasannya sebagai berikut. Tahapan Pemilu 2024 Dikutip dari laman KPU mereka merilis informasi tentang tahapan yang akan dilalui di pemilu 2024.
-
Kapan Pemilu 2024? Sederet petahana calon legislatif (caleg) yang sempat menimbulkan kontroversi di DPR terancam tak lolos parlemen pada Pemilu 2024.
-
Kapan Pemilu 2024 akan diadakan? Pemungutan dan Penghitungan Suara: tanggal 14 Februari 2024 - 15 Februari 2024
-
Apa tujuan utama dari Pemilu 2024? Pemilu merupakan wadah bagi rakyat untuk menjalankan demokrasi demi mempertahankan kedaulatan negara.
Sebab, Fahri memandang penundaan Pemilu atas putusan PN Jakarta Pusat menghukum KPU tidak melanjutkan dan kembali melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari berpotensi menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
Baca berita Pemilu di Liputan6.com
"Sehingga konsekuensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat null and void (batal demi hukum) atau bersifat van rechtswege nietig/null end void, sehingga tidak dapat dieksekusi," ujar Fahri.
Menurutnya, hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu, berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini. Sebagaimana telah diatur sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu telah telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi dua jenis yaitu Pelanggaran dan Sengketa.
Pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi tiga jenis yaitu Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Kode Etik dan Pelanggaran Pidana. Sedangkan untuk Sengketa terbagi menjadi dua yaitu Sengketa Proses dan Sengketa Hasil.
"Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa dispute baik pelanggaran maupun sengketa," katanya.
Oleh karena itu, Fahri menambahkan, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum, terkhusus penyelesaian pelanggaran dan sengketa.
Di antaranya, Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dimana, penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik caton Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU lhbupaten/Kota.
Ketentuan ayat (2) mengatur : Sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
"Dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, yang tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus. Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai never existed oleh karena hakim mengokupasi kewenangan kekuasaan lembaga peradilan lain," jelasnya.
Alhasil, Fahri menegaskan bila putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekuensinya potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya. Sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional.
"Misalnya, presiden RI akan berakhir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate," ucapnya.
"Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini," tambah dia.
Fahri berpendapat, Idealnya putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa Perdata oleh pengadilan negeri tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan. Karena hanya bersifat dari putusan perdata mengikat para pihak dalam rezim sengketa.
Artinya, menurut Fahri Bachmid, putusan PMH itu tidak bersifat ergo omnes (mengikat semuanya)" yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenangan publik.
"Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik," imbuhnya.
(mdk/eko)