Anggap Peraturan Menteri LHK Tidak Tepat Hitung Kerugian Ekologis, Kubu Tersangka Kasus Korupsi Timah Beberkan Alasannya
Pada permen LHK 7/2014 dibuat untuk mengatur mekanisme penyelesaian sengketa perdata lingkungan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Pada permen LHK 7/2014 dibuat untuk mengatur mekanisme penyelesaian sengketa perdata lingkungan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Anggap Peraturan Menteri LHK Tidak Tepat Hitung Kerugian Ekologis, Kubu Tersangka Kasus Korupsi Timah Beberkan Alasannya
Kuasa hukum empat tersangka tersangka PT Venus Inti Perkasa (VIP) dalam kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk 2015-2025 menilai penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 tahun 2014 untuk menghitung kerugian dianggap salah kamar.
Sebab dalam perhitungan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengklaim negara rugi kurang lebih Rp300 triliun, Rp271 triliun di antaranya merupakan kerugian ekologis. Sementara pasal yang disangkakan ke para tersangka pasal 2 UU Tipikor.
Tuding Salah Kamar Gunakan Permen LHK
"Angka itu belakangan berulang kali ditegaskan adalah kerugian ekologis yang dipakai adalah peraturan menteri lingkungan hidup, tapi untuk tindak pidana korupsi ini sudah salah kamar pak," kata kuasa hukum PT VIP, Andy Inovi Nababan kepada wartawan di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (13/6).
Andy menjelaskan pada permen LHK 7/2014 dibuat untuk mengatur mekanisme penyelesaian sengketa perdata lingkungan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Lalu Negara bertindak sebagai wali lingkungan karena lingkungan tidak dapat bertindak untuk dirinya sendiri.
"Peraturan ini bertujuan agar siapa pun yang merusak lingkungan dapat digugat dan bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan. Kami mempertanyakan bagaimana penyidik menggunakan metode perhitungan ekologis sebagai kerugian riil," kata Andy.
Semestinya, kata Andy, Kejagung tidak memiliki kewenangan dalam melakukan perhitungan kerugian lingkungan hidup. Sebab hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh pejabat KLHK.
"Pejabat eselon I atau II dari instansi lingkungan yang berwenanglah yang berhak menunjuk ahli untuk menghitung kerugian lingkungan. Menurut kami, bukti penghitungan kerugian lingkungan hidup tersebut cacat hukum dan tidak memiliki nilai pembuktian," tegas Andy.
Sebelumnya, Kejagung mengungkap angka rasuah yang ditaksir hingga Rp 271 triliun itu didapatkan dari hitungan kerugian perekonomian negara. Sementara kerugian keuangan negara masih dalam formulasi penyidik bersama pihak terkait.
Pada konferensi pers Senin 19 Februari 2024 lalu, Kejagung menggandeng Ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo dalam rangka menghitung kerugian yang diakibatkan kerusakan alam hasil pembukaan tambang timah.
"Hingga hari ini, total luas yang sudah dibuka adalah 170.363,064 hektare, yang terdiri dari luas galian di kawasan hutan 75.345,7512 hektare, luas galian non kawasan hutan 95.017,313 hektare, dan luasan 170.363,064 hektare ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,462 hektare dan yang non IUP itu 81.462,602 hektare," tutur Bambang kepada wartawan di Kejagung, Jakarta Selatan.
Berdasarkan hitungan dari pantauan satelit petugas lapangan, kata Bambang, pihaknya menemukan area tambang yang sudah dibuka di sepanjang antara darat dan laut telah mencapai 1 juta hektare atau secara rinci yakni 915.854.652 hektare. Itu pun terbagi dua dengan di antaranya 349.653.574 hektare darat dan yang lautnya 566.201,08 hektare.
"Dari 349.653,574 hektare, ada yang berada di dalam kawasan hutan yaitu 123.012,010 hektare. Sampai pada kerugiannya berdasarkan permen LH No.7/2014 ini kan dibagi ya, dari kawasan hutan dan non," jelas dia.
"Di kawasan hutan, biaya kerugian lingkungan ekologis Rp 157.832.395.501.025, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000, biaya pemulihan lingkungan itu Rp 5.257.249.726.025. Totalnya saja, kerugian kerusakan lingkungan hidup Rp 223.366.246.027.050," sambungnya.
Sementara untuk kerugian non kawasan hutan, sambungnya, kerugian lingkungan ekologis di angka Rp 25.870.838.897.075, kerugian ekonomi lingkungan Rp 15.202.770.080.000, dan biaya pemulihan lingkungan Rp6.629.833.014.575. Sehingga, total kerugian kerusakan lingkungan hidup mencapai Rp 47.703.441.991.650.
“Atau semuanya digabungkan maka kerugian ekologisnya Rp 183.703.234.398.100, kerugian ekonomi lingkungan Rp 74.479.370.880.000, dan biaya pemulihan lingkungannya Rp 12.157.082.740.060. Totalnya kerugian kerusakan tadi sebesar Rp 271.069.688.018.700,” ungkap Bambang.
Arti kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara sendiri memang memiliki perbedaan, yang berasal dari cara ukur perhitungannya.