Anggota DPR Minta Kominfo Tindak Tegas Konten Hoaks di Media Sosial
"Pemerintah harus mulai keras dan tegas untuk memerangi hoaks tersebut," katanya lagi.
Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) memberikan tindakan tegas terhadap penyebar hoaks di media sosial.
Arzeti mengatakan, sekarang ini banyak situs abal-abal yang ironisnya berita atau foto yang disebar media abal-abal di media sosial bisa viral meski isinya tidak berdasar.
-
Bagaimana cara Kominfo menangani isu hoaks? Tim AIS Kementerian Kominfo telah melakukan pemutusan akses atas konten yang teridentifikasi sebagai isu hoaks.
-
Apa yang dikatakan Menteri AS tentang Kominfo dalam berita hoaks yang beredar? Judul berita itu mencatut situs berita Liputan6.com, berjudul; "Menteri Amerika klaim: Kominfo Indonesia sangat bodoh, Databesa Negaranya dihacker tidak tau, karena terlalu sibuk ngurus Palestina."
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Kenapa Kominfo fokus menangani hoaks kesehatan? Isu yang berkaitan dengan penyebaran Covid-19 masih mendominasi dalam kategori ini. Selain itu ada banyak informasi yang menyesatkan berkaitan dengan obat-obatan dan produk kesehatan.
-
Siapa yang dipolisikan terkait dugaan penyebaran hoaks? Polda Metro Jaya diketahui mengusut dugaan kasus menyebarkan hoaks Aiman lantaran menuding aparat tidak netral pada Pemilu 2024.
-
Siapa yang diklaim sebagai tersangka yang dilepaskan dalam berita hoaks? Berita yang beredar mengenai kepolisian yang membebaskan tersangka pembunuhan Vina Cirebon bernama Pegi karena salah tangkap adalah berita bohong.
"Sudah semestinya pemerintah punya sistem yang kuat, jangan dipermudah para pelaku untuk menyebarkan hoaks. Dengan sistem tersebut, Kominfo harusnya bisa melacak dan mematikan gadget para pelaku penyebar hoaks," katanya, dikutip dari Antara, Selasa (15/12).
Arzeti yakin bukan perkara sulit melakukan itu. Dia mencontohkan di China, masyarakatnya bahkan tidak diberi ruang atau keleluasaan menggunakan media sosial. Apalagi untuk kepentingan menyebarkan hoaks.
"Pemerintah harus mulai keras dan tegas untuk memerangi hoaks tersebut," katanya lagi.
Seminggu terakhir atau setelah pilkada, 9 Desember, informasi bohong bertebaran di media sosial. Lembaga pemerintah, Presiden Joko Widodo dan keluarga termasuk menjadi sasaran penyebar hoaks.
Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebut menyertifikasi halal kondom. MUI tegas membantah informasi tersebut. Foto dan video yang diklaim sebagai penembakan polisi kepada anggota Front Pembela Islam (FPI) juga bertebaran.
Peran Masyarakat
Arzeti juga menekankan pentingnya masyarakat menyaring informasi di media sosial. Sebab medsos banyak dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita palsu atau hoaks.
"Sebaiknya disaring dahulu, cek kebenaran berita tersebut," kata Arzeti.
Menurut dia, keberadaan media sosial yang menjadi akses bagi penyebar hoaks dan radikalisme, akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Mereka sengaja membuat berita bohong untuk propaganda yang tujuannya menciptakan suasana tidak kondusif, bahkan bisa mengancam disintegrasi bangsa.
"Tentu persoalan ini menjadi keprihatinan bagi kita semua. Terlebih saat ini masyarakat sedang berduka dari keterpurukan perekonomian akibat pandemi. Karena kondisi ini, membuat masyarakat lebih banyak berdiam di rumah dan banyak waktu untuk bersosmed," ucapnya.
Jika tidak hati-hati, lanjut dia, bisa terpancing dengan bahasa atau ajakan yang justru tidak mendidik dan tidak sedikit yang berujung kasus hukum.
Ia juga menyarankan agar masyarakat berpegang pada media mainstream sebagai acuan memilih informasi.
Menurut dia, media daring yang memuat berita lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang media sosial yang sumbernya tidak jelas.
(mdk/rnd)