Arogansi anak jenderal dan pengaruh ketakutan orde baru
Dengan sombong mereka mengaku sebagai anak jenderal, anak pejabat tinggi Polri atau TNI untuk lolos dari hukum.
Ada sederet kasus arogansi remaja di jalanan dan kerap melawan aturan hukum. Mereka menggunakan jabatan orang tua, sanak saudara yang notabene perwira tinggi di institusi kepolisian maupun TNI sebagai tameng untuk melawan hukum.
Dengan sombong mereka mengaku sebagai anak jenderal, anak pejabat tinggi Polri atau TNI sebagai senjata untuk lolos dari pelanggaran yang mereka lakukan. Kebanyakan perilaku seperti ini terjadi di jalanan. Meskipun salah, mereka tetap ngotot dan berani berdebat dengan polisi atau pengguna jalan yang lainnya.
-
Apa yang dilakukan anak tersebut kepada ibunya? Korban bernama Sufni (74) warga Jalan Nelayan Kelurahan Sri Meranti Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru. Sedangkan pelaku Hendri (52), dan istrinya N (51). Setelah mendapat video tersebut Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru Kompol Bery Juana Putra bersama anak buahnya langsung datang ke rumah pelaku.
-
Mengapa anak yang diganggu jin sering rewel dan gelisah? Apabila anak diganggu jin, mereka akan menjadi rewel, gelisah, dan seperti melihat makhluk yang tidak terlihat.
-
Apa pengertian anak sulung? Anak sulung adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang lahir pertama atau yang tertua dalam suatu keluarga.
-
Siapa yang berjuang demi anak? “Pada awal kehidupan, orangtua tentu harus membesarkan anaknya, mengasuh, mengajari. Tapi, pada titik tertentu, orangtua justru harus mengajari anaknya kehidupan dengan melepaskan.”
-
Kapan Adilla memeluk anaknya? Adilla juga ngepost foto ultah anaknya, dapet pelukan papa yang hangat kayak Wulan.
-
Apa yang ditemukan oleh ketiga anak laki-laki itu? Tiga bocah laki-laki di Amerika Serikat menemukan fosil kerangka dinosaurus T-Rex yang berusia 67 juta tahun di hamparan tanah tandus di Dakota Utara.
Ada hal menarik jika menilik arogansi anak jenderal di ruang publik. Sosiolog Musni Umar menjelaskan, arogansi dengan tameng atau membawa nama petinggi TNI/Polri atau pejabat, sesungguhnya identik dengan era orde baru, saat Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Saat itu masyarakat Indonesia langsung bergetar begitu mendengar tahu berurusan dengan kerabat jenderal atau petinggi TNI/Polri.
Strata sosial dengan menempatkan petinggi TNI/Polri di jajaran kelas atas, membuat masyarakat kelas menengah ke bawah segan. Ditambah gaya-gaya militerisme yang identik dengan kekerasan masih diterapkan di zaman itu.
"Pengaruh Orde Baru melekat di masyarakat. Jenderal ditakuti. 'Saya anak jenderal', polisi dan rakyat percaya dan takut. Kita dicuci otak, sehingga penghormatan itu, mau dia jenderal, pejabat, kemudian menjadi sesuatu menakutkan dan membuat gemetar. Itu yang terjadi," ungkap Musni Umar saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (8/4).
Musni melanjutkan ceritanya, saat itu masyarakat atau penegak hukum enggan berurusan dengan mereka yang berlabel keluarga jenderal, keluarga petinggi TNI/Polri. Sebab, hukum menjadi tumpul atau seolah tak berlaku. Setidaknya penilaian itu melekat di masyarakat. Seiring berjalannya waktu, ternyata pola pikir masyarakat tidak mengalami perubahan. Masih melekat gambaran besarnya kekuasaan TNI/Polri.
Wakil Rektor Universitas Ibnu Chaldun ini menambahkan, reformasi ternyata tidak mengubah pola pikir. Sebab, seseorang yang memiliki kedudukan dan jabatan tinggi masih mendapat penghormatan meski mereka berlaku salah.
Lebih lanjut, Musni mengidentikan kondisi masyarakat yang takut terhadap seseorang yang memiliki kedudukan sebagai mental kodok. Menurutnya, kodok yang diletakkan dalam ember yang disiram air panas akan diam sampai mati.
"Masyarakat seperti nrimo (menerima) saja. Seperti sudah takdir," katanya heran.
(mdk/hhw)