Barisan para jenderal TNI eks tentara PETA
Para perwira lulusan PETA mengisi posisi penting setelah Indonesia merdeka.
Para perwira lulusan PETA (Pembela Tanah Air) menjadi inti organisasi TNI setelah Indonesia merdeka. Seperti dikatakan Jenderal Djatikusumo, dalam PETA Jepang mengajari pemuda Indonesia membentuk tentara dan memimpinnya, benar-benar dari nol.
PETA yang diisi oleh pendidik dari Jepang tersebut juga mengajarkan nilai-nilai kepatriotan dan cinta tanah air. Meskipun pada awalnya tentara PETA dibentuk untuk kepentingan Jepang. Namun rasa cinta tanah air para pemuda Indonesia mulai timbul dalam gemblengan Jepang.
Setelah Jepang terusir, ilmu dan hasil pelatihan tentara PETA diuji dengan kedatangan pasukan sekutu dan agresi militer sampai pemberontakan di dalam negeri.
Para Jenderal TNI adalah mereka yang dulu berpangkat Daidancho (komandan batalyon), Chudancho (komandan kompi), Shodancho (komandan peleton). Lulusan PETA segera mengisi posisi kunci di TNI.
Berikut adalah barisan Jenderal dari PETA yang bersinar dalam dunia militer Indonesia.
-
Bagaimana para perwira PETA terlibat dalam perebutan kemerdekaan Indonesia? Terpanggil oleh Proklamasi Kemerdekaan, para perwira dan prajurit eks PETA ini bergabung di wilayah masing-masing. Mereka kemudian memimpin sejumlah aksi merebut senjata dari tentara Jepang. Murid kini harus berhadapan dengan guru mereka sendiri. Senjata-senjata itulah yang kelak dipakai untuk melawan Inggris dan Belanda yang berniat menjajah Indonesia kembali.
-
Dimana pemberontakan PETA terjadi? Pemberontakan PETA di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945. Kronologis pemberontakan dimulai ketika pasukan PETA yang dipimpin oleh Letnan Soeprijadi memberontak melawan tentara Jepang yang menduduki Indonesia pada waktu itu.
-
Mengapa Jepang membubarkan PETA di Indonesia? Niat Jepang tak terlaksana. Mereka keburu bertekuk lutut pada pasukan sekutu usai Nagasaki dan Hirosima dibom atom. Jepang menyerah tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945.Balatentara Jepang kemudian membubarkan PETA di Indonesia. Senjata mereka diambil, dan para prajuritnya dibubarkan begitu saja.
-
Kenapa PETA memberontak di Blitar? Faktor-faktor yang memicu pemberontakan ini antara lain ketidakpuasan terhadap kebijakan pendudukan Jepang yang semakin menyulitkan rakyat, serta semangat nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
-
Kapan Jepang menyerah dan membubarkan PETA? Niat Jepang tak terlaksana. Mereka keburu bertekuk lutut pada pasukan sekutu usai Nagasaki dan Hirosima dibom atom. Jepang menyerah tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945.Balatentara Jepang kemudian membubarkan PETA di Indonesia. Senjata mereka diambil, dan para prajuritnya dibubarkan begitu saja.
-
Kapan pemberontakan PETA di Blitar terjadi? Pemberontakan PETA di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945.
Soeharto
Sejak zaman Belanda, Presiden kedua Soeharto telah menaruh minat pada dunia militer. Karir militernya dimulai saat Soeharto menjadi tentara Hindia Belanda atau KNIL pada tahun 1942.
Dalam pasukan KNIL, Soeharto muda tampak menonjol hingga dipercaya sebagai kader sersan.
Kemudian setelah kekuasaan Belanda berakhir, Jepang mendirikan kekuatan militer lainnya yang disebut dengan tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Tak mau hilang kesempatan, Soeharto langsung merespons positif pengumuman Jepang untuk menjadi tentara. Karir militer di PETA menanjak sampai dia meraih jabatan menjadi komandan kompi.
Soeharto kemudian bergabung dengan TNI setelah kemerdekaan. Karirnya bersinar setelah serangan Oemom 1 Maret 1949.
Dia kemudian sempat jadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dan Presiden kedua RI.
Sarwo Edhi
Sarwo Edhi Wibowo selalu takjub melihat gagahnya tentara Jepang saat datang ke Indonesia. Oleh karena itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan saat Jepang membuka lowongan menjadi tentara PETA di Surabaya.
Kemudian mertua SBY ini menjalani latihan militer. Tetapi dia sempat kecewa menjalankan tugas-tugas sepele seperti memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang.
Kecewaan Sarwo Edhie tidak berlangsung lama, setelah Indonesia merdeka, dia segera bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian jadi TNI.
Karirnya tak sebagus Ahmad Yani, sahabatnya. Namun bintangnya bersinar saat menjadi Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD).
Sarwo memimpin penumpasan pemberontakan G30S. Dia sangat populer di kalangan rakyat dan mahasiswa kala itu. Karir militernya berakhir di pangkat letnan jenderal. Soeharto merasa Sarwo terlalu populer. Sarwo kemudian digeser jadi duta besar.
Ahmad Yani
Ahmad Yani sudah masuk ke kancah militer sejak Belanda berkuasa di Indonesia. Bahkan dia rela meninggalkan sekolahnya untuk menjalani pelatihan militer menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada tahun 1940. Namun karir militernya tidak panjang setelah Jepang memangkas habis kekuatan Belanda di Indonesia.
Pada tahun 1943 Ahmad Yani akhirnya bergabung dengan tentara PETA bentukan Jepang. Semula dia menjalani latihan di Magelang tetapi akhirnya dipindahkan ke Bogor untuk menerima perlatihan sebagai komandan peleton. Setelah selesai, dia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.
Setelah kemerdekaan karir militer Ahmad Yani semakin naik. Ini dibuktikan dengan ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto sampai dipercaya sebagai Komandan Wehrkreise II untuk menumpas DI/TII.
Dia juga menjadi Komandan penumpasan PRRI/Permesta. Karirnya mulus karena cocok dengan Presiden Soekarno.
Puncaknya Yani menduduki Menteri/Panglima Angkatan Darat. Hidupnya berakhir tragis diberondong pasukan G30S yang mau menculiknya.
Soedirman
Tidak ada yang menyangka Soedirman bakal menjadi Jenderal besar nantinya. Sebab Soedirman sejak dulu dikenal sebagai pengajar dan tokoh agama Muhammadiyah.?
Soedirman kemudian bergabung ke PETA pada tahun 1944. Dia mengikuti pendidikan sebagai Komandan Batalyon atau Daidan.
Setelah Indonesia merdeka, Soedirman dipilih menjadi Panglima Tertinggi. Menggeser Letjen Urip yang pensiunan Mayor KNIL.
Soedirman adalah legenda perjuangan TNI. Keteguhannya tampak saat bergerilya dalam perang kemerdekaan melawan agresi militer Belanda II tahun 1949. Dengan kondisi sakit-sakitan, Soedirman terus berjuang.