Berburu praktik prostitusi terselubung di Solo
Selain PSK yang ada di lokalisasi, ada pula PSK tidak langsung, seperti anak sekolah, mahasiswi, cewek SPG, pemijat plus
Kota Solo memang lebih dikenal sebagai kota yang ramah, kota kuliner, olahraga, pendidikan kota budaya, atau kota dengan begitu banyak sejarah masa lalu, utamanya zaman kejayaan dinasti Mataram. Terbukti kota ini mempunyai dua kerajaan yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik. Yakni Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Istana Mangkunegaran.
Di pinggiran kota Solo, terdapat pula bekas Kerajaan Pajang dan Keraton Kartasura. Lalu bagaimana dengan kehidupan malam di kota ini. Bagaimana geliat kehidupan prostitusi di kota budaya ini ?
Solo memang tak mempunyai lokasi khusus bagi lelaki hidung belang untuk menyalurkan hasratnya seperti kota-kota besar lain. Surabaya pernah punya Gang Dolly, Bangunsari dan Kermil, Semarang punya kompleks Sunan Kuning, Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di Bandung, belum lagi kota lain yang juga mempunyai tempat sejenis. Dulu kota bengawan memang pernah mempunyai komplek lokalisasi cukup besar di Kampung Silir, Semanggi, Pasar Kliwon. Tempat pelacuran di tepi Bengawan Solo tersebut kabarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang.
Namun mengingat Solo dianggap sebagai ikon kota budaya, keberadaan lokalisasi Silir dianggap menjadi penghalang. Maka sejak masa Wali Kota Imam Sutopo pada tahun 1998, lokalisasi Silir dinyatakan ditutup (SK No. 462.3/09/1998). Sisa-sisa Silir kini hanya tinggal menjadi pasar ayam dan pasar besi bekas. Meski dinyatakan ditutup, namun praktik prostitusi terselubung di tempat ini kadang-kadang terjadi.
Pasca penutupan Silir, praktik pelacuran di Solo berkembang di beberapa tempat, meski tak sebesar Silir. Seperti penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang. Selain tempat tertutup, praktik terlarang tersebut juga berkembang di tiga lokasi, yaitu: Kestalan, Gilingan (Kec Banjarsari) dan Kerten (Laweyan). Dari beberapa tempat tersebut diperkirakan ratusan PSK beroperasi setiap harinya.
Menutup Silir sebagai lokalisasi pelacuran ternyata bukan solusi tepat untuk memberantas praktik pelacuran. Imbasnya praktik ini justru terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai bentuk. Ada yang hanya mangkal di jalanan, dipesan melalui karyawan penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang. Bahkan juga terjadi di beberapa panti pijat dan salon atau sering disebut dengan salon plus-plus.
Dunia gemerlap alias dugem di Kota Solo memang bertaburan bak jamur di musim hujan baik yang terang-terangan maupun terselubung. Padahal pusat-pusat pembinaan umat seperti pesantren juga tak kalah menjamurnya. Anehnya semuanya berjalan sendiri-sendiri menentukan jalan hidupnya masing-masing. Meskipun tak henti-hentinya aparat kepolisian dan ormas yang getol memerangi penyakit masyarakat (pekat). Tetapi terkadang juga seolah seperti tak peduli akan semua ini.
Selain PSK yang ada di lokalisasi, ada pula PSK tidak langsung, seperti anak sekolah, mahasiswi, cewek SPG, cewek pemijat, perempuan pemijat, karyawati salon, dan lain-lain. Di Kota Solo mereka ini disinyalir melakukan praktik secara terselubung dengan berbagai macam modus operasi.