Bolehkah Perempuan Haid Wukuf di Arafah? Begini Hukumnya
Tidak sedikit jemaah haji perempuan yang masih bingung saat memasuki puncak haji dalam keadaan haid.
Apakah wukuf tetap sah meski dilakukan dalam keadaan sedang tidak suci? Simak penjelasannya.
Bolehkah Perempuan Haid Wukuf di Arafah? Begini Hukumnya
Tidak sedikit jemaah haji perempuan yang masih bingung saat memasuki puncak haji dalam keadaan haid. Padahal haid bukan halangan seseorang untuk berhaji.
Terutama saat wukuf di Arafah. Hal ini menjadi salah satu rukun haji yang harus dilakukan meskipun dalam keadaan menstruasi.
"Perempuan tetap wajib berangkat ke Arafah dengan niat umrah haji walaupun dalam keadaan sedang haid," kata Konsultan Ibadah Daerah Kerja Makkah, Prof. Siti Mahmudah di Mekkah, Senin (9/6).
Mahmudah mengingatkan inti dari pelaksanaan ibadah haji yakni wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
"Ingat, haji adalah Arafah. Maka tidak sah bila pada 9 Zulhijjah tidak hadir di Arafah," ungkapnya.
Menurut Mahmudah, haid bukanlah penghalang ibadah. Sehingga wukufnya tetap sah meski dilakukan dalam keadaan sedang tidak suci.
"Karena haid tidak menjadi penghalang bagi perempuan untuk berhaji. Hajinya tetap sah, dan tidak mengurangi kemabrurannya," kata Kepala Program Doktor (S3) Hukum Keluarga, Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung ini.
Rangkaian ibadah haji lainnya yang bisa dilakukan saat sedang haid yakni mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina serta melontar jumrah.
Aktivitas ibadah tersebut pun bisa dilakukan jemaah haji yang masih haid.
Sementara itu pelaksanaan rukun haji lainnya seperti tawaf ifadah dan sai. Dalam hal ini, jemaah perempuan bisa menunggu waktu sampai dalam keadaan suci.
Namun jika waktunya terbatas karena harus segera meninggalkan Mekkah, maka cara ini bisa dicoba.
"Jika tidak punya waktu lagi, amati apakah ada masa jeda suci. Jika dia tidak melihat darah haid, segera mandi, lalu memakai pembalut yang rapat dan menjaga dari tetesan darah, kemudian melaksanakan thawaf ifadhah dan sai," tutur Mahmudah.
Dia melanjutkan, jika setelah itu dia masih mendapati darah haid, thawafnya sudah sah.
Kemudian jika cara itu juga seorang perempuan belum juga suci, maka dipebolehkan melakukan Thawaf Ifadah memakai pembalut.
"Namun jika menjelang pulang, masih haid dan harus segera kembali ke Indonesia, maka boleh melakukan Thawaf Ifadah dengan menjaga darah haidnya menggunakan pembalut yang aman," ungkap Mahmudah.
Cara seperti ini mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan thawafnya sah. Namun, bagi mereka yang akan meninggalkan kota Mekkah masih dalam keadaan haid tidak perlu melakukan Thawaf Wada'.
"Cukup berdiri dan berdoa di hadapan Masjidil Haram untuk pamit pulang dari rumah Allah sebagai tamu Allah," ungkap Mahmudah.
Mahmudah juga mengingatkan syarat sah umrah haji, yaitu niat umrah haji dengan cukup miqat dari hotel.
Kemudian menjaga larangan umrah haji sampai berhasil tahalul awal setelah berhasil melontar jumrah Aqobah pada tanggal 10 Zulhijah.
Dan lebih afdal tahalul tsani setelah berhasil lontar jumrah di hari tasyrik pada tanggal 11, 12 Zulhijah dan Thawaf Ifadhoh.
Mahmudah menambahkan, jika seorang perempuan haid hanya berniat Haji Qiran saat berangkat wukuf ke Arafah.
Haji Qiran adalah umrah dan haji dalam satu niat. Jika cara seperti pendapat Ibnu Taimiyah ini dipakai, maka perempuan haid tak perlu membayar dam/denda lagi.
"Jadi saat mau berangkat ke Arafah hanya berniat haji qiran yaitu umrah dan haji dalam satu niat, maka tidak wajib membayar dam," pungkasnya.