Butuh lebih dari sekadar dukungan politik untuk pimpin Jabar
Dedi santer dikabarkan maju Pilgub Jabar, bersaing dengan sejumlah nama lainnya seperti Ridwan Kamil dan istri Aher.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi belum memikirkan langkah politiknya untuk ikut maju mencalonkan diri pada Pilkada Gubernur Jawa Barat 2018 mendatang. Baginya, untuk mencalonkan sebagai kepala daerah dibutuhkan kematangan konsep, bukan hanya kekuatan politik semata.
"Aspek politik, infrastruktur politik, kekuatan politik, dukungan politik tidaklah cukup seseorang untuk menjadi memimpin darah. Lebih dari itu," kata Dedi saat ditemui merdeka.com di Purwakarta, Kamis (17/3).
Perihal kesiapan maju pada Pilkada Gubernur Jawa Barat, Dedi menjawab secara diplomatis dan tidak mau buru-buru melangkah. Baginya, sekarang ini fokus menuntaskan masa jabatan sebagai bupati Purwakarta.
"Saya tidak akan menyatakan siap atau tidak siap. Ya mengikuti alur saja. Sekarang kita fokus kerja. Kalau kita memberikan terbaik, Tuhan dan negara akan memberikan semuanya," papar Dedi.
Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan adalah kerja maksimal untuk membangun Purwakarta secara tuntas dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
"Saya dari dulu bekerja selalu fokus. Tuntas menjadi wakil bupati, tuntas menjadi bupati. Dari ketuntasan itu melahirkan penilaian publik. Orang kan menilai positifnya saya berhasil dalam pengelolaan APBD dan pembangunan budaya sunda. Negatifnya, ya soal syirik dan sejenisnya itu," tandasnya.
Dedi mengungkapkan dirinya memiliki filosofi hidup, yakni orang yang bekerja dengan sempurna akan mendapatkan keistimewaan.
"Jadi ikuti alur saja. Belum ada pikiran ke situ. Sekarang kita kerja, menjadi kan Purwakarta berbeda dari daerah lain," ucap Dedi.
Meski kepercayaan publik di Purwakarta masih tinggi, Dedi tidak mudah terbuai dengan elektabilitas tersebut.
"Begini, ada publik original dan publik kemasan. Kalau publik original ya masyarakat menilai perilaku dan kinerja kita dilihat secara kasat mata. Nah, kalau publik kemasan, tergantung kemampuan si pengelola yang mengemas mau dijadiin bagaimana sang tokoh tersebut," tuturnya.
Dedi menambahkan, kepercayaan yang dikemas dalam media sosial bisa dimunculkan menjadi tokoh hebat. Tetapi kalau tokoh original dan ideologis tidak bisa semua orang dibikin tokoh hebat, karena ukurannya kasat mata publik (secara langsung).
"Masyarakat kita mungkin senang dengan tokoh kemasan. Ada juga masyarakat senang dengan tokoh tradisional tanpa pengaruh media sosial," pungkasnya.