Calon perseorangan gulung koalisi PDIP, Golkar, dan Demokrat!
Fenomena politik yang terjadi di Seruyan, Kalteng ini dinilai pengamat menarik dikaji.
Hasil mengejutkan terjadi pada Pilkada Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Kandidat perseorangan berhasil mengalahkan calon koalisi besar parpol, total terdiri dari 12 parpol.
Berdasarkan pleno KPU Seruyan, pasangan nomor urut satu Sudarsono-Yulhaidir (Surya) dari perseorangan meraih 42.226 suara atau 53,65 persen dan ditetapkan sebagai pemenang mengalahkan nomor urut dua H Ahmad Ruswandi-H Sutrisno (Harus) yang diusung PDIP, Demokrat, Golkar, PKB, PAN, Hanura, Gerindra, PPRN, PKPB, PBB, PPP dan Partai Kedaulatan hanya meraup 36,36 persen dari total suara sah.
"Apakah kekalahan itu karena solidaritas parpol kurang dan hanya menghantarkan seseorang sebagai calon kepala daerah atau ada permasalahan lain. Jadi kekalahan calon yang diusung sembilan parpol di Seruyan menjadi fenomena luar biasa menarik," ucap ujar pengamat politik Donny Y Laseduw di Palangkaraya dikutip antara, Kamis (11/4).
Donny mengatakan hasil telak pesta demokrasi di Seruyan seolah mengukuhkan rakyat telah jenuh dengan sepak terjang parpol dan ketidakpuasan terhadap pemerintah setempat yang mengusung anaknya sebagai 'putra mahkota'.
"Saya kira semua peneliti politik bakal melirik seruyan karena kalau tidak salah kemenangan pasangan perseorangan di pilkada Seruyan ini ke-7 di Indonesia yang menang melawan parpol," ungkap dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya itu.
Donny yang juga Ketua Lembaga Hukum dan Politik Harati Kalteng itu juga melihat kemenangan calon perseorangan pada konteks tipologi pemilih di Seruyan. Dia menyebut prakondisi itu dalam ketergantungan di tiga hal yakni kultur, agama dan dukungan finansial di dua pasangan yang maju.
Kultur pemilih di Seruyan kental dengan paternalistik atau kedekatan terhadap para tokoh, kekuatan modal untuk berpolitik juga menjadi faktor penting, dan masyarakat kelas apapun selalu merasa berhadapan atau melawan penguasa.
"Ini juga menunjukkan kebosanan rakyat sangat tinggi sehingga dipilih tokoh lain di luar lingkaran kekuasaan sekarang. Atau bisa jadi calon yang diajukan incumbent kurang kualitasnya di mata masyarakat. Bisa juga visi misi kurang kuat dan yang ternyata mesin parpol tidak jalan dengan baik," ucapnya.