Cerita Jenderal Hoegeng ogah pakai narkoba saat menyamar
Dua personel polisi ditangkap di tempat berbeda karena menggunakan dan terlibat pengedaran narkoba.
Wajah Polri kembali tercoreng dengan ulah tak bertanggung jawab personelnya. Seorang perwira menengah polisi ditangkap petugas Propam Polda Jambi karena mengkonsumsi narkoba, Senin (15/10).
Berdasarkan hasil tes urine, Kompol S yang menjabat Kasubdit Pengamanan Tahanan Direktorat Tahanan dan Barang Bukti Polda Jambi, positif menggunakan narkoba.
Keterlibatan polisi di dunia narkoba tak hanya kali ini terjadi. Di Medan, seorang personel polisi berpangkat Bripka ditangkap karena terlibat peredaran 219 kilogram ganja.
Bahkan, saat ditangkap di rumahnya di Perumnas Mandala, Bripka Eka Syahputra (39) yang bertugas di Polres Nias, masih menyimpan 11 kilogram ganja.
Hal itu jelas mencoreng nama Polri sebagai lembaga penegak hukum. Dulu, saat Polri dipimpin Jenderal Hoegeng, penggunaan narkoba di kalangan remaja mulai merebak.
Penggunaan narkoba di kalangan remaja kala itu tak lepas dari pengaruh budaya asing yang berasal dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Pada 1960-an hingga 1970-an, pemuda Tanah Air mulai menggandrungi grup musik rock asal Barat.
Gaya hidup para rocker yang kerap menggunakan narkoba ternyata diikuti oleh pemuda di Tanah Air. Selain itu, di saat yang bersamaan muncul sebuah generasi yang terkenal dengan sebutan 'Generasi Bunga' di Barat. Mereka menentang kemapanan dan segala bentuk kekerasan.
Mereka memiliki ciri khas, seperti berpakaian kumal, seks bebas, menggemari musik rock dan menggunakan narkoba. Saat itu, banyak anggota 'Generasi Bunga' yang datang ke Indonesia yang berujung pada penularan penggunaan narkoba di kalangan remaja Tanah Air.
Fenomena itu menjadi perhatian Jenderal Hoegeng. Dia kemudian melakukan penyamaran ke lingkungan pecandu narkoba. Hal itu dilakukannya untuk mengetahui mengapa para pemuda saat itu sangat menggemari ganja dan narkoba jenis lainnya.
"Anak buah saya menyuruh saya menyamar dan berdandan seperti anak muda 1970-an. Maka saya pakai wig gondrong, kemeja bunga-bunga, syal di leher, pokoknya seperti orang gila," kata Hoegeng dalam buku 'Hoegeng: Oase menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa' Karya Aris Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, Imran Hasibuan. Terbitan Bentang.
Dengan bergaya layaknya anak gaul kala itu, Hoegeng kemudian mendatangi perkumpulan-perkumpulan anak gaul di Jakarta. Tak ada seorang pun yang mengenalinya saat itu.
Penyamarannya sukses. Hoegeng dapat masuk dan diterima di kalangan pecandu. Namun, meski dalam penyamaran, Hoegeng tetap tak mau menggunakan narkoba. Ia tak mau penyamaran dijadikan alasan untuk mengkonsumsi barang haram itu. Hoegeng tetap memegang teguh idealismenya.
Di komunitas itu, Hoegeng menanyakan segala hal soal narkoba dan kondisi pribadi pemuda itu.
"Saya selalu merokok dan menanya macam-macam kepada anak muda itu," kata Hoegeng.
Tak hanya itu, maraknya peredaran narkoba juga membuat Hoegeng mendatangi Sidang Interpol di Brussel, Belgia, pada September 1970. Saat itu, Hoegeng yang didampingi oleh Deputi Kapolri Bidang Operasi Irjen Katik Soeroso dan Kapuslabfor Polri Lubis, merasa berkewajiban untuk hadir.
Sebab, isu narkoba telah menjadi isu dunia. Apalagi, posisi Indonesia saat itu berada tak jauh dari kawasan narkoba yakni Segi Tiga Emas di Indochina. Dalam sidang itu, Hoegeng mendapat informasi lengkap soal narkoba dan jalur peredarannya.
Idealisme yang dimiliki Hoegeng itu harusnya menjadi panutan para juniornya di Kepolisian. Sebagai penegak hukum, polisi harus memberi contoh baik kepada masyarakat, bukan malah menjadi pelanggar hukum itu sendiri.