Dakocan hingga layanan kencan
Jika dulunya hanya menjual kopi Bali, kini warung dakocan juga menjual minuman ringan dan keras. Warung dakocan juga identik dengan warung remang, bahkan sampai urusan kencan.
Keberadaan warung kopi patokan atau dakocan banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Buleleng. Dakocan singkatan dari dagang kopi cantik. Selain menikmati kopi atau bir juga bisa sambil menggoda dan meraba penjualnya. Sensasi minum kopi ini banyak diburu orang.
"Ya patokan itu ya dakocan bli. Kenapa orang di Buleleng menyebut patokan, itu artinya nongkrong atau angkringan," ucap Tut Nik salah seorang warga di Singaraja yang mengaku sudah belasan tahun gemar 'matok' atau nongkrong di warung.
Dakocan di Buleleng sudah ada sejak puluhan tahun silam. Ramainya di medio 1998 sampai 2000.
"Jika zaman tahun itu sekitar 98 sampai 2000-an, warung dakocan yang matok jaraknya hampir setiap 30 meter. Jadi sepanjang jalan penuh, itu ada di daerah tertentu saja," akunya.
Bahkan saat itu, pedagang hanya menjual kopi dan minuman ringan. Untuk alkohol, ada beberapa warung yang meyediakan arak. Kala itu harga kopi secangkir Rp 2.000, sedangkan di warung kopi biasa masih seharga Rp 500.
Warung dakocan ada di setiap jalan desa di Buleleng. Namun yang terkenal ada di wilayah Desa Kubutambahan, Desa Runuh, Padang Bulia dan Ambengan. Karena di daerah ini yang terkenal pelayan dakocan super binal dan bahkan bisa melayani servis di ranjang.
Seiring dengan perkembangan dan meningkatnya kasus HIV di wilayah Bali Utara, nyaris hampir setiap desa yang terdapat warung dakocan mulai tutup.
Bahkan wilayah Kubutambahan yang merupakan jalur para sopir truk galian dari Karangasem-Singaraja, di mana wilayah ini terkenal sebagai jalur 'panas'. Kini sudah berubah jadi sebuah warung kuliner yang menyajikan makanan khas olahan ikan laut.
Merdeka.com mencoba menelusuri lokasi warung dakocan di kabupaten yang punya julukan Gumi Panji Sakti. Penelusuran di Desa Padang Bulia dan Ambengan, ternyata terlihat sejumlah warung yang masih buka.
Kedua desa ini letaknya berdekatan dalam satu Kecamatan Sukasada. Dari kedua desa ini, yang terlihat masih ramai ada di Desa Padang Bulia. Desa ini bisa dikatakan jalur utama jurusan Singaraja-Denpasar.
Sejumlah warung dakocan di desa ini tidak didirikan di wilayah permukiman. Umumnya di pinggir jalan yang kondisinya berliku dan sedikit menanjak. Jarak dari Kota Singaraja menuju ke lokasi dakocan sekitar 8 km dengan waktu tempuh tidak lebih 20 menit mengendarai roda dua.
Bagi para pemburu dakocan, kondisi bangunan warung juga sudah sangat beda dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Jika sebelumnya warung cukup berdinding bedek bambu dan atap genteng serta lantai tanah, kini warung kebanyakan semi permanen, mereka yang datang ke warung ini juga tidak duduk di kursi tetapi lesehan di karpet.
Apa yang disajikan juga tidak lagi mengutamakan kopi, tetapi lebih banyak menyediakan bir. Bangunan dibagi menjadi dua ruang, kamar tidur berukuran 3x3 meter, dan warung berukuran 5 x 6 meter.
Dari penjajakan di lima warung berbeda, rata-rata dalam satu warung berisi satu hingga tiga wanita muda berumur 18 hingga 23 tahun. Tidak semua dakocan punya warung. Banyak yang menjadi pekerja dengan pembagian keuntungan setiap satu botol bir terjual diberi imbalan Rp 15 ribu.
Harga segelas kopi baik itu kopi saset ataupun seduh racik Rp 15 ribu. Dibandingkan untuk warung biasa, segelas kopi hanya Rp 5.000 sampai Rp 6.000.
"Satu botol bir di warung-warung sini rata semua jual Rp 50 ribu. Daripada di kafe harganya sampai Rp 70 ribu. Upah kita nanti dihitung bulanan jumlah botol bir yang laku," ujar salah satu dakocan.
Hampir semua warung patokan ini, penuh ingar bingar dentuman musik full house. Ada tidak ada tamu yang datang, alunan musik tetap bergema. Hal ini juga jadi daya tarik bagi pengguna jalan yang melintas dan sudah tentu akan menoleh ke warung.
I Gede Sudena selaku Perbekel atau kepala dusun di Padang Bulia, tidak menapik masih ada pedagang dakocan di wilayah desanya. Namun dirinya mengaku telah memberikan aturan kepada setiap warung agar mematuhi aturan adat.
"Sebelumnya keributan sering terjadi antar sesama pengunjung. Karena warung-warung itu menjual minuman berakohol, sekarang ini kita lewat Linmas terus melakukan pengontrolan setiap warung terutama pada malam hari," Ucap Sudena.
Hampir setiap tahun keberadaan warung patokan ini terus berkurang. Tahun kemarin ada 23 warung patokan. Kondisi ini berbeda dibandingkan lima tahun sebelumnya, warung dakocan menjamur.
-
Mengapa Kopi Flores Bajawa begitu istimewa? Kopi Bajawa adalah kopi khas Indonesia dari Flores, Nusa Tenggara Timur, yang ditanam di ketinggian 1.000-1.550 meter.
-
Apa yang terjadi pada barista di kedai kopi tersebut? Ia menerima cekikan di leher, tonjokan di muka, dan tendangan di badan. Selama itu pula pelaku mengarahkan wajah korban ke air yang mengalir dari kran agar korban tidak dapat bernafas.
-
Bagaimana ular sowo kopi berburu mangsanya? Ular sowo kopi merupakan ular tidak berbisa. Mereka cenderung mengandalkan gigitan dan lilitannya untuk berburu mangsa.
-
Di mana Kedai Kopi Berbagi berlokasi? Kedai Kopi Berbagi yang berlokasi di Margahayu, Jalan Mars Utara III, Kota Bandung ini begitu menginspirasi.
-
Di mana Kopi Gunung Puntang ditanam? Sesuai namanya, komoditas ini berasal dari dataran tinggi Gunung Puntang yang ada di Kecamatan Cimaung, Desa Campaka Mulya dan Desa Pasir Mulya.
-
Apa yang diibaratkan sebagai kopi dalam kata mutiara kopi? Dia adalah krim saya, dan saya adalah kopinya - Dan ketika Anda menuangkan kami bersama, itu menjadi sesuatu.
"Sekarang ini seperti yang telah Bapak pantau, bisa dikatakan tidak lebih hanya ada 10 warung. Sekarang ini hanya ada di wilayah jalan jurusan Denpasar-Singaraja," jelasnya.
Mengenai penjualan alkohol serta jam tutup juga ditegaskannya sudah dibuat aturan. Bahkan per harinya, warung hanya dibatasi menjual tiga krat bir besar dari mulai buka hingga tutup pukul 00.00 WITA.
"Untuk suara musik kita batasi harus sudah dimatikan pukul 10 malam. Petugas kami juga terus memantau itu, termasuk jika melakukan tindakan asusila," akunya.
Menariknya, Sudena menegaskan pertengahan tahun ini dipastikan Desa Padang Bulian bebas dari pedagang patokan atau dakocan.
"Kita sudah buat kesepakatan dari rapat adat desa, pada akhir Agustus tahun ini desa kami sudah bebas pedagang patokan. Karenanya sudah lakukan sosialisasi ke pemilik warung untuk berkemas," tegas Sudena.
Apakah keberadaan warung tersebut dianggap tabu hingga sampai dikeluarkannya surat keputusan adat untuk bebas dari pedagang patokan. Sudana tidak berkelit bahwa keberadaan dakocan justru memicu angka kriminalitas dan penyebaran HIV/AIDS.
"Sudah banyak banyak laporan tentang keberadaan pedagang patokan ini. Bahkan sudah belasan tahun ada, hingga dikatakan ada yang melakukan hubungan intim di warung. Citra desa kami juga harus kami jaga, karena keberadaan warung ini juga merusak mental generasi muda dan rentan penggunaan narkoba dan seks bebas pemicu penyebaran HIV. Nantinya kami akan coba kemas untuk jadi warung yang memang positif dan murni sebagai tempat singgah bagi pengendara tidak warung yang miring," pungkasnya.