Dana aspirasi dituding hanya untungkan Parpol, menyengsarakan rakyat
"Anggaran itu belum layak, beban rakyat yang ditanggung semakin besar."
Usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan dana aspirasi atau Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) ke dalam Rancangan Anggaran dan Pendapat Negara 2016, menuai protes masyarakat. Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, dana aspirasi yang digunakan untuk membangun daerah pemilihan diduga hanya menguntungkan partai politik bukan rakyat.
"Anggaran itu belum layak, beban rakyat yang ditanggung semakin besar. Harusnya rakyat menjadi opsi pertama dalam berbagai kebijakan pemerintah," kata Hendri ketika dihubungi merdeka.com, Sabtu (27/6).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi sinyal menolak usulan dana ini, karena dianggap bertentangan dengan visi misi pemerintah yang tertuang dalam program Nawa Cita. Atas itu, Satrio mengapresiasi keputusan mantan wali kota Solo tersebut menolak dana yang diajukan DPR sebesar Rp 11,2 triliun.
"Saya menghargai langkah Jokowi yang menolak dana aspirasi," kata Hendri Satrio.
Menurut dia, fraksi-fraksi DPR yang mengusulkan dana aspirasi dalam rapat sidang paripurna mesti menerima keputusan presiden untuk tak meloloskan dana tersebut.
"DPR juga seharusnya menghargai keputusan pemerintah, tidak angkuh dan memaksakan pemerintah," ujar dia.
Sampai hari ini, Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro belum menerima proposal dewan. Jika ada, menurut dia sangat sulit memasukkan ke rancangan RAPBN 2016, karena ruang fiskal tak dapat menampung usulan tersebut.