Denny Indrayana Sebut Potensi Politik Uang Tetap Ada di Pilkada Langsung atau Tidak
Ahli hukum tata negara, Denny Indrayana memandang, baik Pilkada langsung maupun tak langsung, keduanya berpotensi adanya politik uang.
Jelang Pilkada 2020, wacana akan dilaksanakan Pilkada langsung atau tak langsung menuai pro dan kontra. Salah satu alasan selain biaya mahal, terkait politik uang.
Ahli hukum tata negara, Denny Indrayana memandang, baik Pilkada langsung maupun tak langsung, keduanya berpotensi adanya politik uang.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Bagaimana Pilkada dilakukan? Pilkada dilakukan secara langsung oleh masyarakat melalui pemungutan suara. Setiap pemilih memberikan suaranya untuk memilih pasangan calon yang dianggap paling mampu dan sesuai dengan aspirasi mereka dalam memimpin daerah tersebut.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Bagaimana Pilkada serentak dijalankan? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
"Jadi itu yang harus kita tekankan. Baik Pilkada langsung, enggak langsung, itu potensi politik uang ada," katanya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (21/11).
Dia menuturkan, sekarang yang ditekankan bagaimana meminimalisir politik uang tersebut.
"ya kita serahkan ke pembuat undang-undang," jelas Denny.
Menurut dia, baik langsung maupun tak langsung, keduanya sama-sama konstitusional.
"Keduanya kan sebenarnya baik langsung dan enggak langsung itu konstitusional," pungkasnya.
Tito Nilai Pilkada Langsung Banyak Mudaratnya
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.
"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito.
Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.
"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6.com