Begini Dampak Revisi UU Pilkada Terhadap Ekonomi Indonesia
Memanasnya kondisi politik di Indonesia dinilai akan menyebabkan ketidakpastian ekonomi di tanah air.
Ribuan orang tengah melakukan aski demonstrasi di depan Gedung DPR menolak Revisi Undang-Undang Pilkada yang baru dibuat. Aksi unjuk rasa bertajuk Peringatan Darurat ini tak hanya dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai kampus saja.
Sejumlah komika seperti Bintang Emon, Arie Kriting, Mamat Al Khatiri, Abdul Arsyad, hingga Adjis Doa Ibu turut ikut ke jalan dan menyuarakan aksi penolakannya. Ada juga aktor Reza Rahadian hingga mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong juga ikut naik ke mobil komando memberikan orasi.
Menanggapi hal tersebut Pengamat Ekonomi Celios Nailul Huda menilai, memanasnya kondisi politik di Indonesia dinilai akan menyebabkan ketidakpastian ekonomi di tanah air. Kondisi ini akan membuat investor enggan menanamkan modalnya ke Indonesia.
"Soal ketidakstabilan politik membuat ketidakpastian ekonomi ke depan dan investor akan enggan masuk ke Indonesia dengan ketidakpastian ekonomi ini," kata Nailul Huda saat dihubungi di Jakarta, Kamis (22/8).
Ganggu Investasi Masuk Indonesia
Di sisi lain, biaya investasi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang mahal tampaknya masih menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia, yang membuat investor semakin enggan berinvestasi.
"Jika mereka ingin masuk ke industri dalam negeri, artinya modal untuk dekat istana harus besar. Makanya ICOR kita juga tinggi," ujarnya.
Lebih lanjut, Nailul juga menjelaskan dengan memanasnya kondisi politik Indonesia ini utamanya didorong DPR yang melakukan pembahasan revisi UU Pilkada yang diduga bermaksud menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Diduga revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR itu memiliki satu tujuan tertentu yakni kepentingan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"DPR dengan gampangnya mengubah UU dan keputusan MK menandakan DPR bergerak cepat apabila ada kepentingan. Ini menunjukkan jika tidak ada kepentingan maka akan digantung peraturan perundangannya," ujar Nailul.
Alhasil investor butuh modal besar untuk bisa membawa aspirasinya kepada pemerintah dan/atau DPR yang terkait dengan kepentingan mereka. Praktik ini membuat menjalankan bisnis akan sangat mahal, terutama jika kompetitor sudah pegang parlemen, dan mereka tidak ada kekuatan modal yang mencukupi.
"Persaingan jadi tidak sehat bagi bisnis," pungkasnya.