Deponering Samad dan BW jadi ajang balas dendam SDA ke KPK
Dia menilai tidak ada syarat kepentingan umum dalam deponering kasus AS dan BW.
Terpidana kasus korupsi Suryadharma Ali dan OC Kaligis menggugat deponering perkara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto (BW). Gugatan itu dilayangkan seakan menjadi ajang balas dendam lantaran keduanya dijerat KPK saat dipimpin oleh Samad dan BW.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang praperadilan yang diajukan dua terpidana korupsi Otto Cornelius (OC) Kaligis dan Suryadharma Ali (SDA). Gugatan pra peradilan melawan Jaksa Agung terkait deponering pimpinan KPK, Abraham Samad serta Bambang Widjojanto.
"Sebelumnya sudah dilakukan sidang pada pekan lalu, nah intinya dua orang itu OC Kaligis dan Suryadharma menuntut keadilan karena putusan Jaksa Agung," Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Made Sutrisna di kantornya, Kamis (17/3).
Kata dia, dua terpidana korupsi tersebut menggugat Jaksa Agung karena telah memberikan deponering kepada Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pihak pemohon menghadirkan seorang ahli hukum pidana yaitu Arbijoto dan seorang ahli hukum tata negara, Muhammad Rullyandi.
Menurut saksi ahli Muhammad Rulyandi, deponering tidak bersifat mutlak. Harus ada syarat yang dipenuhi untuk bisa menggunakan deponering dalam suatu perkara.
"Deponering itu tidak bersifat mutlak. Karena harus ada syarat yang dipenuhi," kata Rullyandi kepada para wartawan usai menyampaikan keterangan di depan hakim tunggal Sutiyono.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa ketika deponering itu turun, kasus AS dan BW sedang diproses hukum. Adanya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum membuktikan proses hukum sedang berjalan dalam kasus yang menjerat dua mantan pimpinan KPK itu. Namun dengan adanya deponering tersebut menunjukkan adanya ketidakpastian hukum hingga akhirnya menurunkan kewibawaan hukum di masyarakat.
"Kalau sudah jelas itu mengurangi kepastian hukum dan kewibawaan hukum karena segala bukti-bukti yang sudah ada. menurut saya sebagai pendapat ahli itu sebagai kontrol sesuai dengan Pasal 38 dan deponering itu bukan hak prerogatif dari alasan-alasan yang selama ini dijadikan landasan," tutur dia.
Menurutnya, Jaksa Agung memang sudah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga negara lain sebelum memberikan deponering. Tetapi syarat deponering yaitu demi kepentingan umum harus dijelaskan juga. Dia menilai tidak ada syarat kepentingan umum dalam deponering kasus AS dan BW.
"Tapi kan ini tidak. Tidak ada urgensi ketatanegaraan, tidak ada yang menyangkut kepentingan negara. Semua kepentingan politik," ujarnya.
Dalam kesaksiannya, dia mengatakan keputusan Jaksa agung tidak terlepas dari intervensi Presiden Jokowi. Katanya pihak eksekutif sempat menemui Jaksa Agung Prasetyo dan meminta kasus AS dan BW diselesaikan di luar pengadilan.
"Kenapa saya bilang ada intervensi dari eksekutif ke lembaga kehakiman karena beberapa waktu lalu ada statement presiden ke Jaksa Agung Prasetyo yang menyebutkan silakan selesaikan masalah ini di luar pengadilan," tutup dia.
Sementara itu, kuasa hukum dari OC Kaligis dan SDA, Ficky Fiher mengungkapkan, praperadilan tersebut untuk menguji deponering yang dilakukan Jaksa Agung.
"Deponering itu memang hak Jaksa Agung, tapi apakah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang? Harusnya ada rekomendasi serta koordinasi dengan lembaga terkait, terus dari DPR sendiri kan bilang lanjut ke persidangan, tapi kenapa dihentikan," kata Ficky usai persidangan.
Namyun, gugatan itu ditolak. Menurut hakim tunggal Sutiyono, objek praperadilan yang diajukan tidak berlegal standing.
"Hakim menyatakan permohonan praperadilan dari pemohon tidak dapat diterima dan biaya perkara sebesar nihil," kata hakim Sutiyono saat membacakan putusan.
Dalam penjelasannya, hakim Sutiyono menerangkan, tanggal pengajuan objek praperadilan terhadap Novel Baswedan pada 19 Februari. Padahal SKP2 yang dikeluarkan untuk Novel baswedan pada 23 Februari. Selain itu hakim menjelaskan, kasus Novel Baswedan bukan menjadi ranah Pengadilan Jakarta Selatan lantaran hal itu ditangani Kejaksaan Negeri Bengkulu.
"Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa perkara atas nama Novel Baswedan," ujar dia.
Sedangkan dalam kasus AS dan BW, pihak pemohon mengajukan SKP2 dalam sidang praperadilan. Padahal keputusan yang dikeluarkan Kejaksaan Agung untuk kasus AS dan BW yaitu deponering.
Tak terima putusan hakim, kuasa hukum OC Kaligis dkk, Desiana keputusan tersebut tidak sesuai, lantaran tidak memeriksa pokok materi yang diajukan. Melainkan hanya memeriksa eksepsinya.
"Tidak diperiksa pokok materinya, tapi diperiksa eksepsinya. Ke depan kami akan melakukan banding untuk keputusan ini," kata Desiana usai hakim membacakan keputusan.
Dia menjelaskan seharusnya hakim melihat pokok materi yang dimohonkan tentang SKP2 dan deponering. Dia berkilah kepentingan umum dalam deponering tidak jelas.
"Kepentingan umum mana yang dilanggar kan? Tidak ada. Seseorang yang menjabat sebagai pejabat KPK bukan berarti dia kebal hukum dong, seharusnya," tutur dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan seharusnya perkara ini bukan di deponering, begitu juga dengan Novel bukan di SKP2 karena alasan penuntutan tidak bisa lewat dari Pasal 140 ayat 2 KUHAP. Diatur jelas di sana penghentian penuntutan hanya diperbolehkan atas syarat-syarat di Pasal 140 itu jo 148.
"Selama ini tidak jelas SKP2 karena apa nih? SKP2 perkara Novel itu sudah dilimpahkan, malah kan oleh pengadilan sudah ada perkara sudah ada majelis seharusnya tidak di SKP2 lagi," terang dia.