Deretan Kejanggalan Kasus Guru Honorer Dituduh Aniaya Anak Polisi, Berujung Supriyani Dibui
Supriyani akan menghadapi persidangan pada Kamis (24/10) besok. Namun, sejak semalam penahanannya ditangguhkan.
Guru honorer Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito, Supriyani akhirnya mendapatkan penangguhan penahanan jelang menjalani sidang perdana pada Kamis (24/7) besok.
Kuasa hukum Supriyani dari LBH Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Andre Darmawan melihat banyak kejanggalan dari dakwaan JPU Kejari Konawe Selatan. Di antaranya bekas luka pada korban.
- Tertekan, Guru Honorer Supriyani Cabut Surat Perdamaian dengan Keluarga Polisi
- Tersandung Tuduhan Penganiayaan Anak Polisi, Siapa Sebenarnya Sosok Guru Supriyani?
- Eksepsi Guru Supriyani Ditolak, Sidang Dugaan Penganiayaan Siswa Anak Polisi Tetap Lanjut
- Didakwa Lakukan Kekerasan ke Siswa Anak Polisi, Guru Honorer Ajukan Eksepsi
"Dia mengatakan dipukul pakai sapu satu kali. Ini bukan kami yang bilang, tapi ini ada didakwaan jaksa," ujarnya kepada wartawan.
Hanya saja, saat dicocokan ternyata ada kejanggalan atas luka yang dialami korban. Andre mengungkapkan keterangan dari Siti Nuraiyah yang mengaku melihat luka tersebut bukan akibat dipukul.
"Dia katanya melihat langsung luka itu secara spontan. Dia mengatakan bahwa bukan anu (luka) tapi melepuh, bukan dipukul," sebutnya.
Kejanggalan lainnya, korban merupakan murid kelas I A. Sementara, Supriyani merupakan guru yang mengajar di kelas I B.
"Kalau dakwaaan jaksa mengatakan bahwa ini Ibu Supriyani ini masuk memukul jam 10.00 di ruangan Ibu Lilis. Ibu Lilis kan mengajar di kelas 1 A, sementara Ibu Supriyani ini 1 B," tuturnya.
Selain itu, berdasarkan keterangan Bu Guru Lilis, pada pukul 10.00 Wita seluruh kegiatan belajar mengajar di kelas I A sudah selesai. Ia juga memastikan seluruh siswa kelas I A sudah tidak ada di dalam kelas. Kondisi yang sama juga terjadi di kelasnya Supriyani. Murid-muridnya sudah pulang di jam tersebut.
"Seperti biasa kegiatan guru setiap jam 10.00 itu seperti Ibu Lilis dan Supriyani membersihkan ruangan dan mengatur meja. Jadi ini tidak sesuai dan tidak sinkron ceritanya," imbuhnya.
Dengan fakta tersebut, Andre menilai pemukulan dilakukan Supriyani terhadap korban bertentangan.
"Kalau dikatakan Ibu Supriyani ini masuk jam 10.00 Wita melakukan pemukulan, yang dipukul siapa. Ini kan bertentangan dengan keterangan dari wali kelasnya, sementara anak-anak (pada pukul 10.00 Wita) sudah tidak ada di dalam kelas," tuturnya.
Kejanggalan lainnya, saksi yang masih di bawah umur. Sehingga cerita yang disampaikan tidak bisa dianggap sebagai keterangan saksi.
"Makanya ini kita harus hati-hati, karena keterangan anak itu diberikan di bawah sumpah. Keterangan itu tidak bisa dianggap sebagai keterangan saksi, walaupun itu hanya sebagai bentuk informasi saja," tuturnya.
Andre menegaskan akan memaparkan kejanggalan dakwaan terhadap Supriyani saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo pada Kamis (24/10) besok.
"Makanya saya bilang, kita harus lihat alat bukti lain seperti hasil visumnya seperti apa, keterangannya saksi yang lain seperti apa, apakah mendukung daripada dakwaan JPU. Kami melihat ini banyak kejanggalan dan ini nanti di persidangan akan kita buktikan," tegasnya.
Terkait Restorative Justice, Andre mengaku hal itu seharusnya dilakukan sejak awal. Meski sempat ada mediasi, tetapi adanya permintaan uang Rp50 juta memberatkan Supriyani yang hanya seorang guru honorer dan bergaji Rp300 ribu per bulan.
"Damai kan seharusnya dari awal perkara. Ini seharusnya tidak perlu lanjut sampai sekarang dan heboh seperti ini karena harusnya bisa didamaikan di awal," tuturnya.
Sementara Supriyani mengaku bersyukur penangguhan penahannya disetujui. Ia menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dan mendukungnya menghadapi kasus dihadapi.
"Alhamdulillah senang, karena sudah banyak yang membantu sehingga bisa bebas ini," sebutnya.
Supriyani pun membantah telah melakukan penganiayaan terhadap anak Aipda Wibowo Hasyim. Ia pun menjelaskan terkait permintaan uang damai sebesar Rp50 juta.
"Itu tidak benar (menganiaya siswa). Yang bilang itu (permintaan uang damai Rp50 juta) bukan dari orang tua korban, tapi Pak (Kepala) desa," bebernya.
Supriyani juga mengaku tidak mengajar di kelas korban, sehingga tidak pernah bertemu dengan korban. Ia menyebut mengajar di kelas I B.
"Saya mengajar di kelas 1 B, sedangkan korban ada di kelas 1 A. Enggak pernah ketemu dan tidak pernah melakukan penganiayaan," kata dia.
Ia juga membantah mengakui telah melakukan pemukulan terhadap korban. Ia menyebut, datang kepada orang tua korban karena ingin meminta maaf selama mengajar.
"Dua kali disuruh mengaku. Pak Jefri (penyidik Polsek Baito) yang suruh mengaku," tuturnya.
"Iya (ditetapkan tersangka setelah dipaksa mengaku). Saya sebenarnya bukan mengaku kesalahan, tapi meminta maaf siapa tahu ada kekurangan selama mengajar di SDN 4 Baito," imbuhnya.
Sementara orang tua siswa, Aipda Wibowo Hasyim mengaku, keputusannya melanjutkan kasus penganiayaan terhadap anaknya karena tidak adanya kesepakatan damai. Padahal, kata Wibowo, sudah beberapa kali dilakukan mediasi.
"Sudah dilakukan upaya mediasi, akan tetapi yang bersangkutan awal itu menolak tidak mengakui. Sehingga kami bersepakat dengan istri untuk mencari keadilan," sebutnya.
Wibowo yang merupakan Kepala Unit Intelejen dan Keamanan (Intelkam) Polsek Baito menyebu melaporkan Supriyani dengan kasus penganiayaan.
"Pengakuan dia soal permintaan uang yang viral itu tidak benarh. Kami tidak pernah meminta itu," sebutnya.
Kepala SDN 4 Baito Sanaali membantah jika Supriyani telah melakukan penganiayaan. Bantahan tersebut juga sudah disampaikan saat memberikan klarifikasi saat di Polsek Baito.
"Kami saat itu langsung membantah terkait penganiayaan dilakukan Supriyani terhadap siswa," ucapnya.