Polri Buka Suara Kasus Guru Honorer Berakhir di Sidang Usai Dituduh Aniaya Anak Polisi & Diduga Diperas Rp50 Juta
Kasus ini bermula dari pengakuan siswa D soal temuan luka di tubuh anaknya.
Kepala Kepolisian Resor Konawe Selatan Ajun Komisaris Besar Febry Sam membeberkan kasus dugaan penganiayaan yang menjerat guru honorer Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito, Supriyani. Kasus ini viral di media sosial (medsos).
Febry menjelaskan polisi sudah melakukan proses dari penyelidikan hingga penyidikan terkait kasus ini. Pada akhirnya, Supriyani ditetapkan tersangka kasus penganiayaan terhadap muridnya inisial D (6) yang merupakan anak dari seorang personel Kepolisian Sektor Baito, Aipda Wibowo Hasyim.
"Pada dasarnya, kami dari Polres Konsel mengungkap kasus ini secara transparan,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (22/10).
Febry mengaku kasus Supriyani telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Konawe Selatan. Febry mengaku sejumlah upaya sudah dilakukan, termasuk mediasi yang berlangsung sebanyak lima kali.
"Upaya mediasi telah dilakukan sebanyak lima kali. Tapi tidak ada titik terang," tuturnya
Kronologi Dugaan Penganiayaan
Febry menjelaskan kronologi kejadian berawal pada Rabu (24/4) lalu. Saat itu, korban mendapatkan hukuman.
"Berdasarkan keterangan orang tua korban ada kesalahan yang dibuat oleh anaknya sehingga dihukum," kata Febry.
Dua hari berselang, ayah korban Aipda Wibowo Hasyim melihat luka di bagian paha saat memandikan korban. Merasa curiga, Wibowo mempertanyakan luka tersebut kepada istrinya.
"Sebelumnya, ibunya sudah menanyakan luka itu kepada korban dan korban mengaku jika luka itu akibat terjatuh di sawah," sebutnya.
Tak percaya dengan keterangan itu, Wibowo membujuk anaknya untuk berterus terang penyebab luka di pahanya. Terus didesak, korban akhirnya mengungkapkan luka tersebut karena dipukul oleh gurunya.
"Korban akhirnya jujur dan menyebut nama mamanya Alfa (ibu Supriyani) yang memukulnya. Kejadiannya di sekolah pada Rabu (24/4),” tuturnya.
Usai pengakuan tersebut, Wibowo bersama istrinya mendatangi sekolah anaknya. Di situ, Wibowo bermaksud untuk menemui Supryani untuk mediasi.
"Hanya saja, waktu itu Supriyani tidak mengakui telah memukul korban. Saat itu juga Supriyani meminta ornag tua korban untuk membuktikan penganiayaan itu," bebernya.
Karena tidak menemui titik temu, akhirnya orang tua korban memilih melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Baito. Saat itu, Wibowo melaporkan Supriyani dengan kasus penganiayaan.
“Saat proses penyelidikan, penyidik menyarankan untuk dilakukan mediasi antara pihak," kata dia.
Usai pelaporan di Polsek Baito, Febry mengungkapkan Supriyani sempat datang ke rumah Aipda Wibowo Hasyim untuk meminta maaf. Hanya saja, saat itu Aipda Wibowo belum menerima permintaan maaf karena faktor istrinya.
“Ibu Supriyani ini sudah datang minta maaf berkali-kali. Sama kepsek, guru-guru, kades, dan suaminya. Namun dia membuat cerita berbeda di luar. Makanya kasus ini berlanjut dan mediasi yang dilakukan gagal terus,” tuturnya.
Tak ada titik temu, akhirnya penyidik menaikkan kasus tersebut menjadi penyidikan. Keputusan tersebut setelah dilakukan gelar perkara pada 3 Juli 2024.
"Tanggal 15 Juli 2024, Supriyani diperiksa setelah ditetapkan tersangka. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka Ibu Supriyani tidak ditahan," tuturnya.
Kasus hukum yang menjerat Supriyani pun akhirnya berlanjut hingga pada Rabu (16/10), berkasnya diserahkan ke Kejari Konsel.
"Ibu Supriyani menjadi tahanan Kejari Konsel pada 16 Oktober 2024. Ibu Supriyani ditahan di Lapas Perempuan Kendari," tuturnya.
Sementara terkait, permintaan Rp50 juta oleh pihak Wibowo, Febry menyebut keluarga korban membantahnya. Meski demikian, Febry menyebut, pihak Supriyani sempat mendatangi keluarga korban dengan membawa amplop diduga berisi uang untuk damai.
"Pak Wibowo membantah soal dia meminta uang Rp50 juta. Pak Wibowo bilang suami guru itu yang membawa amplop, tapi ditolak," ucapnya.
Hasil Investigasi PGRI
Sebelumnya, Ketua PGRI Sultra Halim Momo mengatakan pihaknya sudah melakukan investigasi terkait kasus yang menimpa Supriyani. Baginya, kasus yang menjerat Supriyani patut menjadi perhatian.
"Tadi saya sudah lakukan investigasi langsung kepada Ibu Supriyani. Jadi terus terang ini kasus haru biru dan memprihatinkan," ujarnya melalui telepon, Senin (21/10).
Berdasarkan investigasi dilakukan PGRI Sultra, kata Halim, terungkap bahwa Supriyani tidak pernah bertemu dengan murid yang mengaku dianiaya. Halim menyebut, kejadian yang diduga penganiayaan dialami siswa tersebut pada hari Rabu.
"Dia (Supriyani) pernah mengganti guru wali kelas di bulan Januari, karena waktu itu wali kelasnya sakit. Jadi bagaimana Ibu Supriyani ini dia bisa melakukan kesalahan dengan anaknya Pak Wibowo, padahal ibu Supriyani ini tidak mengajar pada hari Rabu itu," bebernya.
Halim mengaku narasi terkait kasus yang menimpa Supriyadi dan viral di media sosial (medsos) adalah benar. Meski demikian, Halim membantah narasi jika Supriyani menjewer muridnya.
"Jadi benar yang viral itu, yang tidak benar itu bahwa dia menjewer. Kan dia di situ diceritakan menjewer," kata dia.
Halim juga menceritakan sempat adanya mediasi yang dilakukan oleh kepala desa. Saat mediasi tersebut, orang tua murid tersebut meminta uang Rp50 juta sebagai uang damai.
"Jadi ada unsur menurut saya boleh jadi ini ada unsur kriminalisasi, karena Ibu Supriyani tidak pernah melakukan. Kedua, ada unsur pemerasan dari oknum orang tuanya siswa yang bersangkutan yang seorang polisi," tegasnya.
Halim mengaku Supriyani tidak bisa memenuhi permintaan uang Rp50 juta tersebut. Alasannya, Supriyani hanya seorang guru, dan suaminya seorang petani.
"Dia tidak punya uang, dia mau ngambil di mana, karena dia kan seorang honorer tidak punya uang Rp50 juta. Sehingga diam-diam, tiba-tiba Ibu Supriyani di penjara," keluhnya.
Bahkan, kasus Supriyani akan disidangkan pada tanggal 24 Oktober 2024. Halim juga melihat ada kejanggalan kasus yang menimpa Supriyani.
"Saksi-saksi itu yang diambil keterangannya, bahkan saksi itu anak kecil. Masa anak kelas 1 SD bisa jadi saksi," tuturnya.
Selain itu, penyidik kepolisian yang memaksa Supriyani untuk mengakui. Akibatnya, hal itu dijadikan sebagai senjata untuk mentersangkakan Supriyani.
"Sehingga itu yang dijadikan oleh kepolisian menyebabkan Ibu Supriyani ditersangkakan karena mengakui kesalahannya," tegasnya.
Halim menegaskan kasus yang menimpa Supriyani sebagai bentuk kriminalisasi terhadap guru.
"Iya ini kriminalisasi apalagi dia tidak pernah melakukan itu. Dia tidak pernah bertemu dengan anak yang bersangkutan. Bagaimana dia mau ditersangkakan dan dipenjarakan, padahal dia tidak pernah melaksanakan (menganiaya muridnya)," tegasnya.
Halim mengaku akibat kasus ini, Supriyani tidak mengikuti ujian aparatur negeri sipil (ASN) dan harus meninggalkan anaknya. Bagi Halim, banyak pengorbanan yang telah diberikan Supriyani selama 1 tahun menjadi guru honorer.
"Seseorang yang tidak pernah melakukan itu tapi di kriminalisasi, dia dipenjarakan dan dia banyak berkorban karena anaknya masih kecil. Dia tidak bisa ikut tes pegawai, banyak hal yang dia korbankan padahal dia tidak pernah melakukan hal itu," kata Halim.
Halim mengaku kasus yang menimpa Supriyani sangat berbahaya. Sehingga, ia meminta perhatian kepada kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah untuk memperhatikan masalah ini.
"Ini sangat berbahaya, sehingga ini perlu menjadi perhatian pihak kepolisian, kejaksaan, pemerintah. Karena ini sangat berbahaya untuk pendidikan di Indonesia," ujarnya.
Halim mengaku PGRI akan mendampingi Supriyani dengan menyiapkan bantuan hukum secara penuh.
"Kami tetap mendampingi beliau dengan menyiapkan bantuan hukum dari PGRI sendiri maupun dari pihak lembaga hukum dari pusat. Karena benar-benar beliau tidak melakukan kesalahan itu," tuturnya.
Sementara terkait siswa yang mengaku dianiaya oleh Supriyani, Halim mengaku masih bersekolah di SDN 4 Baito. Meski demikian, para guru sudah bersepakat jika kasus yang menimpa Supriyani tidak diselesaikan secara profesional maka siswa tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya.
"Bukan kita tidak mau mendidik, tapi silakan bapaknya karena sudah mengkriminalisasi guru, silakan bapaknya yang sekolah tersendiri anaknya sampai doktor di rumahnya. Karena tidak ada sekolah yang mau menerima dia," geramnya.
Sementara suami Supriyani, Katiran mengaku sempat ada permintaan uang ganti rugi atas kasus tersebut sebesar Rp50 juta. Hanya saja, Katiran yang seorang petani dan istrinya sebaga guru honorer tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut.
"Di mana kami bisa dapatkan uang sebanyak itu. Saya hanya seorang petani dan istri hanya guru honorer," tuturnya kepada wartawan.
Ia pun yak menyangka kasus yang menimpa istrinya sehingga ditahan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) perempuan. Apalagi, kasus yang dituduhkan kepada istrinya tidak benar.
"Ada sejumlah kesaksian yang membantah tuduhan itu. Istrinya sendiri, saudara kembar korban, teman-teman sekolah korban, dan beberapa guru yang mengajar di sana, membantah telah menganiaya," keluhnya.
“Ada dua siswa yang membenarkan pemukulan. Namun berbeda keterangan. Satu mengaku dipukul dalam kelas, satunya terjadi di luar kelas. Kalau kepsek, wali kelas, dan guru-guru di sana tidak ada yang benarkan,” ucapnya.