Dianggap jahiliyah, mereka menolak hukuman kebiri
Mereka yang menolak juga yakin bahwa hukuman kebiri tidak akan membuat efek jera bagi pelaku kejahatan.
Pada 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo telah meneken Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Isinya, memberikan hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.
Kebiri kimia termasuk dalam tambahan pidana alternatif yang diatur Perppu tersebut, di samping pengumuman identitas pelaku dan pemasangan alat deteksi elektronik. Presiden mengatakan penambahan pasal itu akan memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kejahatan seksual.
Namun, ternyata banyak kalangan yang menolak hukuman kebiri. Mereka menganggap ini terlalu ekstrem. Mereka yang menolak juga yakin bahwa hukuman kebiri tidak akan membuat efek jera bagi pelaku kejahatan.
Siapa saja yang menolak dan apa alasannya? Berikut beritanya, Selasa (14/6):
-
Apa yang diatur oleh dasar hukum pemilu di Indonesia? Pemilihan umum (Pemilu) menjadi salah satu sarana dalam mewujudkan sistem demokrasi di Indonesia. Melalui proses pemilihan ini, rakyat Indonesia memiliki hak untuk menentukan wakil-wakil mereka yang akan memimpin negara dan membuat kebijakan.
-
Kapan Pemilu di Indonesia dilaksanakan? Di Indonesia, tahun 2024 adalah tahun politik.
-
Siapa yang menyatakan kekagumannya terhadap kemajuan peternakan di Indonesia? Sementara itu, Wael W. M Halawa salah satu peserta pelatihan menyampaikan kekagumannya dengan kemajuan dunia peternakan di Indonesia.
-
Bagaimana Kelurahan Sadar Hukum di DKI Jakarta diwujudkan? Melalui pelaksanaan pembinaan kelompok keluarga sadar hukum (Kadarkum), pengembangan kelurahan binaan, sampai dengan terbentuknya kelurahan sadar hukum,"
-
Kapan Pemilu di Indonesia diadakan? Pemilu sebentar lagi akan diselenggarakan. Pemilu akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang.
-
Apa keputusan pengadilan terkait asuh anak? Hari ini, pengadilan memutuskan bahwa Sarwendah berhak atas asuh ketiga anaknya.
MUI Lebak minta hukuman lebih dari 20 tahun dibanding kebiri
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak tidak setuju peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 dengan hukuman tambahan kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
"Kami menilai hukuman suntik kebiri melalui obat antiandrogen bagi pelaku kejahatan seksual tidak tepat," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Lebak KH Baijuri beberapa waktu lalu.
MUI Lebak lebih setuju penerapan hukuman berat di atas 20 tahun atau seumur hidup maupun hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual.
Penerapan hukuman suntik kebiri tersebut tidak bisa memutus mata rantai pelaku kejahatan seksual pada anak.
Karena itu, MUI Lebak tidak setuju penerapan hukuman suntik kebiri bagi pelaku kejahatan seks pada anak atau pemerkosa maupun paedofilia. "Kami mendukung hukuman berat hingga hukuman mati bagi kejahatan seksual pada anak sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku lainnya," katanya.
Menurut dia, alasan ketidaksetujuan itu karena kebutuhan biologis merupakan kepentingan dasar manusia. Selain itu penyuntikan kebiri merusak salah satu organ tubuh yang mengakibatkan tidak berfungsinya organ tersebut.
Semestinya hukuman yang tepat bagi pelaku kekerasan terhadap anak atau pemerkosa maupun pelaku paedofilia mendapat hukuman berat. Di samping itu juga mereka mendapat pembinaan secara berkelanjutan, termasuk pendekatan agama maupun kultural masyarakat.
Sebab, pelaku kekerasan seksual pada anak dilatarbelakangi dua penyebab. Antara lain pertama tidak tersalurkan hasrat syaraf libidonya karena tak memiliki istri atau pasangan wanita.
Setara Institute sebut hukuman kebiri hukuman ala jahiliyah
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan hukuman kebiri merupakan hukuman badan ala jahiliyah yang bertentangan dengan hak asasi manusia karena kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
"Karena itu, saya mendukung penolakan IDI atas hukuman kebiri, bukan hanya untuk pelaku anak di bawah umur tetapi juga untuk semua pelaku," kata Hendardi melalui pesan singkat di Jakarta, Senin.
Hendardi menilai hukuman kebiri akan menabrak instrumen hukum internasional, konstitusi dan undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
Menurut Hendardi, penolakan IDI terhadap hukuman kebiri didasarkan atas kemanusiaan dan sejalan dengan penolakan segala jenis hukuman badan yang tidak manusiawi yang juga ditentang oleh hukum hak asasi manusia.
"Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak akan menjadi persoalan serius Presiden Joko Widodo di forum internasional," tuturnya.
Hendardi mengatakan seharusnya Presiden lebih memprioritasan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dibandingkan mendengarkan masukan kelompok-kelompok yang gemar melakukan kampanye anti-HAM.
"Sebaiknya DPR menghentikan pembahasan Perppu tersebut," ujarnya.
IDI tolak jadi eksekutor hukuman kebiri
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan surat tertanggal 9 Juni 2016 yang meminta agar dokter tidak menjadi eksekutor dari Perppu 1 Tahun 2016 yang memuat tindakan kebiri. Penolakan tersebut didasarkan atas fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia dan juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kodekteran Indonesia (Kodeki).
IDI menyatakan bahwa atas dasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah, kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat serta potensi perilaku kekerasan seksual pelaku. IDI juga meminta supaya pemerintah mencari solusi lain selain penggunaan kebiri kimia yang sekali lagi dianggap tidak efektif dalam kasus kekerasan seksual.
Pihak IDI juga menyatakan bersedia untuk memaparkan pandangan ilmiah dan etikanya tersebut di hadapan Presiden Joko Widodo.
Hukuman kebiri tidak sesuai dengan prinsip antipenyiksaan
Lembaga swadaya masyarakat Human Rights Working Group (HRWG) menilai proses pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang tidak partisipatif dan mempertimbangkan segala aspeknya secara matang. HRWG pun menolak Perppu Kebiri.
"Perppu Nomor 1 Tahun 2016 ini merupakan gambaran tidak matangnya rencana dan kajian yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak terkait untuk memerangi kejahatan seksual. Solusi yang seharusnya betul-betul dipikirkan secara matang, justru dibuat dengan mengikuti histeria sesaat dan reaktif," kata Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz.
Menurut dia, upaya menghukum seseorang dengan kebiri merupakan hukuman yang termasuk dalam kategori penyiksaan karena bersifat kejam, merendahkan dan tidak manusiawi.
"Adanya penolakan tentang kebiri bukan tidak beralasan. Meskipun kejahatan seksual terhadap anak harus diberantas dan dihukum seberat-beratnya, namun hal itu harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi yang telah disepakati," ucap Hafiz.
HRWG sendiri menolak hukuman kebiri karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip antipenyiksaan. "Kejahatan seksual, terutama kepada anak, harus diberantas dan dihukum seberat-beratnya, namun upaya itu bukan berarti harus melabrak ketentuan hak asasi dan nilai kemanusiaan," kata Hafiz.
Hukuman kebiri tidak sesuai dengan prinsip antipenyiksaan
Lembaga swadaya masyarakat Human Rights Working Group (HRWG) menilai proses pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang tidak partisipatif dan mempertimbangkan segala aspeknya secara matang. HRWG pun menolak Perppu Kebiri.
"Perppu Nomor 1 Tahun 2016 ini merupakan gambaran tidak matangnya rencana dan kajian yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak terkait untuk memerangi kejahatan seksual. Solusi yang seharusnya betul-betul dipikirkan secara matang, justru dibuat dengan mengikuti histeria sesaat dan reaktif," kata Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz.
Menurut dia, upaya menghukum seseorang dengan kebiri merupakan hukuman yang termasuk dalam kategori penyiksaan karena bersifat kejam, merendahkan dan tidak manusiawi.
"Adanya penolakan tentang kebiri bukan tidak beralasan. Meskipun kejahatan seksual terhadap anak harus diberantas dan dihukum seberat-beratnya, namun hal itu harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi yang telah disepakati," ucap Hafiz.
HRWG sendiri menolak hukuman kebiri karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip antipenyiksaan. "Kejahatan seksual, terutama kepada anak, harus diberantas dan dihukum seberat-beratnya, namun upaya itu bukan berarti harus melabrak ketentuan hak asasi dan nilai kemanusiaan," kata Hafiz.