Direktur Keuangan Blak-blakan PT Timah Rugi Miliaran Usai Kerja Sama 5 Smelter, Salah Satunya Perusahaan Harvey Moeis
PT Timah pertama kali teken kerja sama dengan lima smelter swasta pada tahun 2018 hingga 2020.
PT Timah Tbk menyatakan mengalami kerugian setelah memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada pihak swasta untuk membikin smelter. Kerugian tersebut ditaksir mencapai Rp951 miliar.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Keuangan PT Timah Tbk, Vina Eliana saat dihadirkan jaksa sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara korupsi komoditas timah di Wilayah IUP PT Timah hingga menyebabkan negara rugi Rp300 triliun.
- Sidang Lanjutan Kasus Harvey Moeis, Saksi Jelaskan soal Kartu Tambang
- Sidang Harvey Moeis, Jaksa: Ada Grup WA 'New Smelter' untuk Memonitor Pengiriman Bijih Timah
- Lima Smelter Disita Kejagung Terkait Kasus Korupsi Tata Niaga Timah Tetap Beroperasi, Salah Satunya Milik Harvey Moeis
- Penyebab Tungku Smelter PT ITSS di Morowali Meledak hingga Tewaskan 13 Pekerja
Vina dihadirkan menjadi saksi untuk terdakwa crazy rich Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021, Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.
PT Timah pertama kali teken kerja sama dengan lima smelter swasta pada tahun 2018 hingga 2020.
Kelima pihak smelter itu yakni PT Refined Bangka Tin beserta perusahaan afiliasinya, CV Venus Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, PT Sariwiguna Binasentosa beserta perusahaan afiliasinya.
Kemudian PT Stanindo Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya dan PT Tinindo Internusa beserta perusahaan afiliasinya
Namun kerja sama itu justru membuat rugi, di mana PT Timah mengalami kerugian Rp611 miliar dan Rp340 miliar tahun 2019 dan 2020.
"Saya mulai di 2018 saja ya Pak, yang sudah ada datanya. Tahun 2018 PT Timah laba di Rp132 miliar, 2019 rugi Rp611 miliar, 2020 rugi Rp340 miliar, 2021 laba Rp1,3 triliun, 2022 di Rp1 triliun, dan 2023 mengalami kerugian Pak Rp400 miliar," kata Vina saat bersaksi di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (4/9).
Penyebab Kerugian
Vina mengatakan, kerugian tersebut disebabkan penurunan nilai jual beli bijih timah. Di satu sisi, produksinya dan persediaannya malah meningkat.
Kerugian lainnya, menurut Vina, disebabkan PT Timah memiliki utang operasional.
"Berdasarkan data yang kami miliki memang di tahun 2019 dan 2020 harga mengalami penurunan. Di sisi lain, kita juga memiliki beban bunga yang cukup tinggi Pak, di dua tahun itu," ujar Vina.
Kerja sama dengan pihak lima Smelter swasta juga dikatakan Vina, akhirnya baru berhenti pada Desember 2020. Barulah setelah itu PT Timah dapat meningkatkan pendapatannya lagi hingga triliunan.
"Di tahun 2021, PT Timah mencatatkan laba, Pak," ujar Vina.
"Berapa labanya, Bu?" tanya jaksa.
"Di Rp1,3 triliun," kata Vina.
Jumlah Terdakwa
Kasus itu antara lain menyeret Direktur Utama PT Timah periode 2016–2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah periode 2016–2020 Emil Ermindra, Direktur PT SIP MB Gunawan, dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim sebagai terdakwa.
Riza bersama Emil didakwa telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah, sedangkan MB Gunawan didakwa melakukan pembelian bijih timah dari pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp420 miliar.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 56 ke-1 KUHP.
Perbuatan para terdakwa dalam kasus tersebut diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun.