DPR: PT Pelindo II biarkan asing 'rampok' Indonesia
Aksi 'perampokan' dibiarkan oleh direksi PT. Pelindo II di bawah komando RJ Lino.
Pansus Pelindo II DPR semakin mendapatkan gambaran jelas bahwa pihak asing telah 'merampok' Indonesia melalui operasional Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT). Aksi 'perampokan' dibiarkan oleh direksi PT. Pelindo II di bawah komando RJ Lino.
Anggota Pansus Pelindo II, Daniel Johan mengatakan, keterangan Financial Research Institute (FRI) dan Deutsche Bank, yang dipanggil oleh Pansus pelindo dikaitkan oleh Pansus Pelindo II untuk menilai klaim RJ Lino bahwa JICT akan lebih menguntungkan bila dikelola asing, dalam hal ini Hutchinson Port Holding (HPH), perusahaan asal Hong Kong yang dimiliki Li Ka Shing. Pihak FRI secara tegas bahwa Indonesia akan lebih untung bila menjalankan sendiri JICT daripada dipegang oleh HPH.
Sebaliknya, lanjut Daniel, Deutsche Bank (DB) yang berbasis di Belanda, menyatakan bahwa Indonesia lebih untung bila JICT tetap diberikan penguasaannya kepada HPH. Seperti disampaikan DB kepada Pansus, bahwa bila kontrak pengelolaan JICT dengan HPH habis pada 2019 dan lalu diperpanjang, Indonesia hanya mendapat USD 200 juta melalui PT. Pelindo II.
Tapi kalau tidak diperpanjang, DB menilai Indonesia harus mengembalikan ke HPH sebesar USD 400 juta. Asumsi itu muncul karena dihitung bahwa nilai aset JICT pada 2019 adalah USD 800 juta. 51 persen saham JICR adalah milik HPH dan itu senilai USD 400 juta.
"Padahal, sebenarnya, di kontrak yang diteken 1999, jelas tertulis, bahwa saat putus kontrak, maka Indonesia hanya wajib mengembalikan USD 50-60 juta. Jadi bukan USD 400 juta dolar," kata Daniel, Rabu (18/11).
Lebih lanjut, Daniel mengatakan, kalaupun logika DB diikuti, tetap saja Indonesia merugi. Praktiknya, Pelindo II hanya mendapat fee di muka USD 200 juta. Artinya, aset hanya dinilai USD 400 juta dan 49 persen saham Indonesia hanya dinilai USD 200 juta.
"Kalau dianggap aset 400 juta dolar, kita kasih 49 persen, kita dpt 200 juta dolar, dari aset itu saja kita rugi. Dan bonusnya mereka mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kan uang hasil pengelolaan ke dia (HPH). Kita dobel ruginya," jelas dia.
Ditegaskan Daniel, sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara jika dia berpegang pada kontrak yang diteken dengan HPH di 1999. Dengan itu, Indonesia cuma membayar USD 50-60 juta.
"Ternyata kontrak itu DB mengklaim tidak tahu karena datanya tak diberikan oleh pihak Manajemen Pelindo II," kata politikus PKB itu.