Eks Panglima Jihad Maluku anggap kelompok Santoso sudah menyimpang
Jumu menyarankan Santoso dan kelompoknya memperdalam ilmu agama.
Mantan Panglima Operasi Pusat Komando Jihad Maluku (PKJM), Jumu Tuani, meminta kepada kelompok Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso, serta anak buahnya supaya segera menyerah. Dia menganggap tindakan Santoso yang membantai kaum muslimin bukan jihad.
"Santoso dan kawan-kawan sebaiknya segera menyerah. Yang mereka lakukan bukan jihad. Perilakunya itu bukan mujahid tapi mukhorib. Aksi-aksi seperti ini, memberontak dan membantai kaum muslimin, itu sudah haram hukumnya," kata Jumu Tuani di Malang, Selasa (26/4).
Selama ini, Santoso melakukan kekerasan (fa'i) buat mendukung pendanaan perjuangan. Alasan itu menurut Jumu sudah sesat, karena membantai kaum muslim dan umat lain yang sama sekali tidak memusuhi mereka.
"Dana hasil merampok mereka klaim sebagai fa'i. Motor pelat merah dicuri, motor orang ke masjid dicuri, tidak peduli agamanya apa. Mereka halalkan. Harta orang kafir secara membabi buta dirampas," ucap Jumu.
Padahal, lanjut Jumu, situasi Indonesia sama sekali tidak dalam kondisi peperangan seperti dimaksud dalam Alquran. Bahkan menurut dia, ketika ada kaum muslim sedang salat, atau orang tidak bersenjata, tetap dibantai Santoso.
Jumu menyatakan, kelompok Santoso selama ini berasumsi Indonesia sebagai negara kafir, sehingga harus diperangi. Sayangnya, sikap bermusuhan itu juga ditujukan kepada orang-orang tidak sepaham dengannya.
"Kelompok Poso memang yang paling aktif melakukan fa'i. Mereka adalah kelompok NII yang sekarang sudah berbaiat kepada ISIS. Mereka benar-benar menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan," imbuh Jumu.
Jumu juga meminta Santoso dan kawan-kawan memperdalam ilmu agama, supaya mengetahui makna muqothilan dan ghairu muqhotillah. Karena menurut dia, secara tampak kasat mata tindakan dilakukan Santoso sudah di luar ketentuan Islam.
"Muqothillah adalah orang kafir yang boleh diperangi, dan ghoiru muqotillah adalah orang kafir yang tidak boleh diperangi walaupun di medan perang sekalipun," lanjut Jumu.
Santoso, kata Jumu, membunuh orang Hindu di Poso dengan dipancung. Padahal, mereka bukan orang-orang yang memerangi Santoso. Mereka hanya bercocok tanam di hutan.
"Islam tidak memperkenalkan yang demikian. Rasul mengajarkan toleransi dan kedamaian. Rasul pernah menggadaikan baju besi dengan 30 wassak gandum. Artinya boleh hidup berdampingan, bahkan harus menjaga," ujar Jumu.
Kalau pun tidak menyerah, Jumu meyakini Santoso dan pengikutnya akan tertangkap. Langkah polisi mengepung dan melokalisir akan membuat mereka kesulitan bahan makanan. Jumu menyatakan, Santoso dan kelompoknya tidak mempunyai kemampuan bertahan hidup (survival) di hutan. Sebab, mereka tidak pernah dididik supaya bisa bertahan hidup di hutan.
"Mereka bisa mati kelaparan di hutan. Karena tidak tahu makanan yang bisa dimakan. Mereka hanya mengandalkan pasukan Santoso yang lain mengirimkan makanan ke gunung," tambah Jumu.
Secara jumlah, Jumu mengatakan, pasukan Santoso tidak lebih dari 27 orang, yang belakangan juga tertembak satu demi satu. Sementara secara ideologis, mereka juga terpecah.
"Di antara mereka meragukan tentang jihad yang sedang dijalankan. Apakah jihad syar'i atau bukan. Dengan Santoso membawa istrinya ke hutan, mereka mempertanyakan itu jihad syar'i atau bukan," tutup Jumu.