Fitra: DPR harus segera batalkan dan menarik RUU Pengampunan Pajak
"Sehingga RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia."
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ngotot untuk mengesahkan aturan pengampunan pajak atau RUU Tax Amnesty. Jokowi berdalih, Tax Amnesty digunakan untuk membangun infrastruktur. Yang mana pembangunan infrastruktur membutuhkan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 5.000 triliun dan tak dapat dilakukan kalau hanya mengandalkan APBN.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menolak aturan pengampunan pajak atau RUU Tax Amnesty. Permasalahan minimnya penerimaan pajak adalah masalah utama, perbaikan sistem pemungutan menjadi prioritas dan bukan sebaliknya justru memberikan pengampunan.
"Pertama, dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak salah tafsir dalam pasal 23 A, hal tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 pasal 23 dan 23A tentang pengelolaan APBN dan Pemungutan Pajak. Dimana, pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa, bukan mengampuni," kata Sekjen FITRA Yenny Sucipto di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (6/3).
Dia menegaskan, skala prioritas revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) revisi Nomor 16 Tahun 2009 perlu didahulukan dari RUU pengampunan Pajak. Secara substansi, RUU Pengampunan Pajak juga mendegradasi UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan sistem pemungutan pajak.
Menurut Yenny, proses RUU Pengampunan pajak ini terkesan dipaksakan karena belum ada naskah akademiknya. Sehingga potensi melanggar aturan sebelumnya akan sangat besar.
Selanjutnya, kata Yenny, RUU ini bertentangan dengan UU Keuangan Negara No l7 Tahun 2003 pasal Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
"Sistem Pengampunan Pajak selalu gagal tahun 1964 dan 1984 karena saat ini tidak sejalan dengan sistem dan mekanisme tata cara pemungutan pajak. Sehingga kebijakan tersebut saat itu hanya dimanfaatkan orang tertentu tanpa berdampak signifikan terhadap pendapatan negara. RUU pengampunan pajak ini pun sesungguhnya bertentangan dengan KUP dan diprediksi akan kembali gagal," jelasnya.
Yenny berpandangan, RUU Pengampunan Pajak berpotensi menjadi fasilitas karpet merah bagi konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi dan financial, dan pencucian uang. Dimana dalam RUU tersebut dicantumkan bahwa, asal seorang atau badan mengajukan pengampunan, maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal usul harta.
"Tidak disaring, sehingga RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia. Pengampunan pajak ini akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan antara elit clan jelata karena sistem ini tidak adil. Hal tersebut tercermin dari pengampunan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan, dan sanksi dengan berupa uang," terang Yenny.
"Hal ini bertolak belakang dengan sistem hukum bahwa semua warga negara sama di depan hukum. Dan semua warga negara wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan. Ha] ini akan terasa tidak adil yaitu masyarakat akan merasa membayar pajak sesuai dengan batasnya, namun justru orang kaya memdapatkan perlakuan khusus dari pemerintah. Jelas bahwa RUU ini menguntungkan elit dan semakin memiskinkan jelata," tambahnya.
Fitra berpendapat, RUU Tax Amnesty ini tidak akan efektif mengukur jumlah harta perseorangan dan badan. Dalam RUU ini, pengampunan akan didasarkan pada persentase jumlah harta secara keseluruhan untuk merumuskan berapa besar jumlah uang tebusan. Sistem ini dianggap naif karena masalah rahasia perbankan yang sistem dirjen pajak pun belum bisa masuk dan bebas tanpa bantuan penegak hukum.
"Presiden jangan main-main dengan para pengemplang pajak membuat privilege kebijakan atas nama dana pembangunan. Bahwa DPR harus segera membatalkan dan menarik RUU Pengampunan Pajak," tandasnya.