Hikayat banjir Jakarta dari era Jenderal Coen sampai Jokowi
Pada 1918, misalnya, banjir juga pernah melumpuhkan Batavia.
Jakarta banjir lagi. Hujan mengguyur ibu kota selama dua hari, dari Sabtu hingga Minggu, kemarin menyebabkan debit air Sungai Ciliwung dan beberapa kali kecil lainnya meluber tak terbendung. Air merendam sejumlah pemukiman dengan ketinggian beragam, mulai 60 centimeter hingga 4 meter lebih.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, setidaknya sebanyak 2.466 orang mengungsi, dan 4 di antaranya meninggal. Para pengungsi itu berasal dari 175 rukun warga di 33 kelurahan. Sementara data Polda Metro Jaya menyebut jumlah pengungsi lebih besar lagi, mencapai 10.523.
Bencana banjir Jakarta pada Januari 2014, ini tentu tak separah tahun sebelumnya, 2013 lalu. Waktu itu, BPBD menyatakan banjir merendam 54 kelurahan, dengan jumlah resmi korban tewas akibat banjir mencapai 20 orang dan sebanyak 33.502 orang terpaksa mengungsi.
Bila merunut sejarah, banjir Jakarta ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak Jan Pieterszoon Coen pada awal abad 17 silam mendirikan Batavia dengan konsep kota air (waterfront city). Coen merancang Kota Pelabuhan Sunda Kelapa dengan kanal-kanal air seperti Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda.
Dalam catatan sejarah banjir, sejak dulu Batavia sudah kesulitan menangani musibah ini. Misalnya catatan banjir pada 1621, 1654, 1873, 1918 hingga 1909, banjir sudah menggenangi permukiman warga karena limpahan air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi.
Pada 1918, misalnya, banjir juga pernah melumpuhkan Batavia. Sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air. Dua lokomotif cadangan dikerahkan untuk membantu trem-trem yang mogok dalam perjalanan. Banjir pada tahun itu merupakan yang terparah dalam dua dekade terakhir.
Ironisnya, banjir tetap mengepung setelah Belanda hengkang dari Jakarta, misalnya pada periode 1979, 1996, 1999, 2002, 2007 hingga kini. Artinya, sejak era Coen, hingga periode kepemimpinan gubernur-gubernur Jakarta, termasuk era Jokowi saat ini, banjir belum juga bisa diatasi.
Banjir Jakarta juga pernah tercatat sebagai tragedi bencana nasional. Misalnya pada 2002 dan 2007 lalu. Catatan pemerintah provinsi, pada 2002 banjir menewaskan dua orang dan menyebabkan 40.000 orang mengungsi. Sementara 2007, sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit, dan jumlah pengungsi mencapai 320.000 orang.
-
Di mana banjir terjadi di Jakarta? Data itu dihimpun hingga Jumat 15 Maret 2024 pada pukul 04:00 WIB. "Kenaikan status Bendung Katulampa dan Pos Pantau Depok menjadi Siaga 3 (Waspada) dari sore hingga malam hari serta menyebabkan genangan di wilayah DKI Jakarta," kata Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta, Isnawa Adji dalam keterangan tertulis, Jumat (15/3).
-
Siapa yang menangani banjir di Jakarta? Dia menjelaskan, BPBD DKI Jakarta mengerahkan personel untuk memonitor kondisi genangan di setiap wilayah dan mengkoordinasikan unsur Dinas SDA, Dinas Bina Marga, Dinas Gulkarmat untuk melakukan penyedotan genangan dan memastikan tali-tali air berfungsi dengan baik bersama dengan para lurah dan camat setempat. "Genangan ditargetkan untuk surut dalam waktu cepat," ujar dia.
-
Kapan banjir pertama kali terjadi di Jakarta? Pada masa VOC sendiri telah dilakukan berbagai cara untuk menanggulangi banjir di Batavia (kini Jakarta). Gubernur Jenderal silih berganti mencoba berbagai upaya.
-
Di mana banjir Jakarta pada tahun 1960 terjadi? Mengutip dari buku Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 karya Edi Setyawati dkk mengatakan, pada awal tahun 1960 terjadi banjir di Jakarta, setelah mengalami musim hujan yang hebat sehingga 7 kelurahan sangat menderita, terutama daerah Grogol dan sekitarnya.
-
Mengapa cerita anekdot tentang banjir tahun 2015 di Jakarta dianggap lucu? Apalah daya si jurnalis tersebut, mau tidak mau ia harus tetap melaporkan berita sesuai pemikirannya.
-
Apa yang menyebabkan banjir di Jakarta tahun 1960? Dikatakan pula salah satu penyebabnya karena lahan kosong yang semakin sedikit karena digunakan untuk perumahan, seiring dengan bertambahnya lahan yang dibangun, maka volume air hujan yang harus ditampung juga meningkat.
Restu Gunawan, dalam bukunya berjudul: Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa ke Masa, menulis pengalaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda ketika membenahi sistem pengendali banjir di Batavia. Selain membangun beberapa infrastruktur baru, mereka juga membangun Kali Grogol, dan Pintu Air Manggarai lengkap dengan Saluran Banjir Kanal.
Topik Pilihan: Jokowi ahok | DKI Jakarta
Sayang, meski sistem pengendali banjir sudah dibenahi, siklus banjir Jakarta, yang dikenal dengan siklus 'lima tahunan' tetap terjadi. Bahkan setelah Herman van Breen, seorang arsitek Belanda selesai membangun Banjir Kanal Barat (BKB) untuk mengakali banjir.
Menurut Herman, bila hanya mengandalkan BKB dan Pintu Air Manggarai, maka sebetulnya yang terjadi hanya pengalihan wilayah banjir ke wilayah lebih rendah. Bila sebelumnya limpahan air menggenangi Weltevreden (permukiman orang Eropa) dan kawasan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air justru mengalir ke tempat lebih rendah, misalnya Manggarai dan Jatinegara.
Prediksi Herman itu ternyata benar. Banjir hebat di Manggarai dan Jatinegara pertama kali ditulis majalah Bintang Hindia (De Maleisce Revue) pada 1923, edisi 17 Februari, Tahun II, Nomor 7.
Sebetulnya Herman van Breen tidak hanya menggagas sistem kanal, tetapi juga menyodorkan perlunya sistem polder. Kawasan rawa di sepanjang pantai utara Jakarta mesti dikelilingi tanggul, kemudian airnya dipompa keluar melalui parit-parit sampai kering. Namun cara ini sepertinya juga gagal.
Hingga kini, sudah banyak cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir Jakarta ini, baik era Gubernur Batavia Jan Pieterszoon Coen, maupun era gubernur-gubernur Jakarta setelahnya, misalnya pembangunan kanal, pengerukan sungai, normalisasi waduk, dan perbaikan drainase. Namun upaya itu belum berhasil.
Kepala BPBD DKI Jakarta Syamsul Arfan Akilie, kepada merdeka.com pernah mengatakan, banjir tahunan di Jakarta berawal dari konflik gubernur Batavia dan VOC Bogor pada 1700-an. Waktu itu VOC ingin mengganti pohon pinus menjadi pohon teh. "Pada akhirnya usulan VOC itu disetujui oleh ratu Juliana dan sekitar 1800-an mulailah banjir."
Apapun itu, karena banjir masalah kronis, lumrah saja slogan Batavia kala itu adalah "Dispereert niet" yang berarti (jangan putus asa), termasuk menghadapi banjir yang akan terus menyertai warga kota ini.
Baca juga:
Banjir juga pusingkan pangeran Raja Purnawarman dan Belanda
Klaim-klaim Jakarta sukses atasi banjir 2014
Empat bisnis rugi gara-gara banjir Jakarta
Ketika Jokowi kembali 'mengakali' langit
Nachrowi sebut Jokowi 'on the right track' tangani banjir