Imparsial: Draf revisi UU Terorisme rentan pelanggaran HAM
Revisi UU salah satunya memberikan ruang kembali pada militer dalam penanganan terorisme.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menyatakan perubahan rancangan UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinilai sangat rentan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Kami menilai revisi UU No 15 Tahun 2003 ini timbulkan persoalan HAM. Draf RUU Terorisme ini lebih banyak mengatur tentang delik formil ketimbang delik materil, sehingga sangat rawan terhadap penyalahgunaan yang dapat berimplikasi terjadinya pelanggaran HAM," kata Al Araf dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat(4/3).
Dia mengatakan hal-hal yang seharusnya direvisi dalam UU No 15 Tahun 2003 tentang terorisme adalah pasal 6, 9, 14, 20, 30, 26, dan 46.
Sebagai contoh Dalam pasal 30 (1) UU No 15 Tahun 2003 tentang terorisme, menyatakan untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.
"Saya mengkritik salah satunya Pasal 30 (1), pasal ini sudah mengancam hak-hak individual melalui tindakan penyadapan telepon, pengawasan buku bank dan sebagainya, yang semata-mata berdasarkan laporan intelijen. Inilah menurut kami banyak kesalahan," ucap dia.
Dalam hal menyusun kebijakan anti terorisme ini, menurut ia negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yaitu menempatkan HAM dari setiap warga negara.
"Pemerintah harusnya mengubah pasal-pasal yang tidak menimbulkan permasalahan HAM. Bahkan justru faktanya sekarang revisi UU perubahannya memberikan ruang kembali militer dalam penanganan terorisme ini," jelasnya.
Mengingat kejahatan terorisme digolongkan sebagai tindak pidana, dia menegaskan upaya melakukan revisi UU tetap harus berada di dalam ranah koridor penegakan hukum.
"Jadi institusi di luar penegakan hukum seperti militer, dan Badan Intelijen Nasional (BIN), tidak terlibat dalam penegakan hukum penanganan terorisme. TNI ini bukan aparat penegak hukum. Maka dari itu aparat penegakan hukumlah yang berkewajiban memberantas terorisme," tutupnya.