Ini Hasil Laboratorium Terkait Kandungan BPA pada Galon Guna Ulang
Wiyu menerangkan, dalam galon PC, paparan BPA yang masuk ke dalam tubuh, dikeluarkan sekitar 2 hingga 4 jam sekali melalui urine atau zat sisa.
Polemik galon polikarbonat (PC) mengandung Bisphenol A (BPA) masih menjadi polemik.
Pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmad Zainal Abidin meminta agar masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir mengonsumsi air dari galon isi ulang.
"Air minum dalam galon guna ulang berbahan PC aman untuk dikonsumsi," kata Ahmad Zainal Abidin beberapa waktu lalu.
Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB itu menjelaskan bahwa hasil penelitian menunjukkan kalau tidak ada satu sampel pun dari galon guna ulang yang diteliti itu mengandung BPA di atas ketentuan maksimum sehingga bisa membahayakan kesehatan manusia.
Hal ini dia sampaikan menyusul aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang meminta produsen memberikan label potensi mengandung BPA pada galon kemasan PC. Zainal mengatakan bahwa tidak hanya BPA, namun semua zat-zat prekursor seperti ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG) yang digunakan untuk membuat kemasan PET atau galon sekali pakai seperti memiliki bahaya serupa.
"Karenanya, kemasan-kemasan itu perlu diawasi secara berkala oleh BPOM," katanya.
Pakar teknologi plastik, Wiyu Wahono juga mengatakan bahwa kemasan PC masih sangat aman digunakan masyarakat. Dia menegaskan, meski sudah dipakai puluhan tahun para konsumen galon guna ulang tidak pernah mengalami gangguan kesehatan apapun.
Pakar yang sudah mempelajari dunia plastik lebih dari 20 tahun ini melanjutkan, Galon PC dipilih sebagai kemasan air karena memiliki kekuatan dan lebih ramah lingkungan. Wiyu mengatakan, paparan BPA dalam galon guna ulang juga terus menciut saat dipergunakan kembali.
Wiyu menerangkan, dalam galon PC, paparan BPA yang masuk ke dalam tubuh, dikeluarkan sekitar 2 hingga 4 jam sekali melalui urine atau zat sisa. Dosen teknologi plastik di salah satu kampus di Jerman ini melanjutkan, sehingga paparan BPA ke dalam tubuh tidak akan terjadi akumulasi.
"Kalau akumulasi itu artinya menumpuk terus enggak keluar dan ini tidak terjadi. Kalo stibium (antimon, bahan kimia dalam kemasan PET) ini saya tidak tahu tapi kalau BPA ini yang tidak terjadi akumulasi," katanya.
Dia mengungkapkan, Eropa tidak melarang kemasan PC kecuali yang mengandung BPA melebihi ambang batas aman. Artinya, sambung dia, selama masih di bawah tolerable daily intake (TDI) alias ambang batas aman masih boleh dipergunakan.
"Kalau yang mereka sebut di dunia banyak dilarang, yang dilarang adalah untuk botol bayi. Itu baru betul dilarang sudah lama," katanya.
Pakar Teknologi Lingkungan ITB Prof. Enri Damanhuri menilai kemasan galon PC bisa menjadi solusi penyediaan air minum yang ramah lingkungan di Indonesia. Ini mengingat galon memang dibuat untuk bisa digunakan secara berulang dan praktis tanpa menimbulkan potensi timbulnya persoalan sampah plastik.
"Kita semua sepakat untuk mengurangi pencemaran sampah plastik di lingkungan, tidak lagi menggunakan single-use plastic," katanya.
Dosen dan peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatma juga menilai bahwa galon PC lebih ramah lingkungan dibanding galon sekali pakai. Menurutnya, galon PC tidak menghasilkan sampah karena kemasan digunakan kembali sekaligus mengurangi energi yang digunakan untuk mendaur ulang.
"Jadi dari aspek lingkungan, kemasan galon PC lebih unggul dibandingkan galon PET. Kemasan galon PC memiliki guna ulang yang lebih panjang dibandingkan galon dari PET," katanya.
Seperti diketahui, BPOM telah mengeluarkan Peraturan Nomor 6 Tahun 2024 tentang pelabelan kemasan BPA pada galon PC. Peraturan yang disinyalir akan menguntungkan pihak tertentu itu dikhawatirkan akan mendorong penggunaan kemasan sekali pakai yang berujung pada masalah timbunan sampah.
Hal tersebut bertentangan dengan semangat masyarakat dan produsen yang bertanggung jawab untuk mengurangi jumlah timbunan sampah. Produsen berkewajiban mengelola sampah yang berasal dari hasil produk mereka karena dunia tengah menghadapi status darurat sampah.
Pemerintah melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 juga telah membuat roadmap agar target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 persen di 2029 dapat tercapai. Dengan melaksanakan Permen maka perusahaan dapat memberikan kontribusi sekaligus menghemat emisi karbon dan menangani dampak polusi limbah plastik.