Janur Kuning, film pencitraan berbungkus sejarah
Film Janur Kuning dibuat tahun 1979, dan memakan biaya sekitar Rp 350 juta. Jumlah yang sangat besar pada masanya.
Untuk ukuran film perang Indonesia, Film Janur Kuning merupakan salah satu film legendaris. Bahkan 30 tahun setelah film ini dibuat, belum ada yang bisa mengalahkan penggambaran suasana perang di film tersebut. Film Janur Kuning melibatkan ribuan figuran, panser, tank dan pesawat terbang.
Film Janur Kuning dibuat tahun 1979, dan memakan biaya sekitar Rp 350 juta. Jumlah yang sangat besar pada masanya. Biaya terbesar digunakan untuk membiayai pembuatan ratusan baju seragam dan ribuan baju untuk figuran. Hingga kini sulit menemukan film perang Indonesia yang melibatkan pemeran sebesar itu.
Film yang disutradai Alam Rengga Rasiwan Surawidjaja ini dibuka dengan adegan iring-iringan prajurit TNI yang menandu Panglima Besar Soedirman turun naik bukit. Setelah susah payah, akhirnya Panglima Besar tersebut mau kembali ke Yogyakarta. Soedirman sempat ragu akan tindakan Belanda yang berkali-kali melanggar perjanjian dengan Republik Indonesia.
Namun seorang perwira muda meyakinkan Soedirman untuk mau kembali. Sosok pemuda ganteng dengan pembawaan tenang nan berwibawa itu adalah Letkol Soeharto, Komandan Brigade X sekaligus Komandan Wehrkreise III.
Adegan selanjutnya, Jenderal Soedirman memeriksa barisan pasukan. Saat itu pula ingatan Letkol Soeharto melayang. Secara flash back adegan mundur saat Agresi Militer Belanda II berlangsung. Pesawat tempur Belanda meraung-raung di atas langit Yogyakarta membombardir lapangan udara Maguwo.
Adegan-adegan berikutnya, film yang ini menceritakan soal peran Soeharto bergerilya dan memimpin serangan umum 1 Maret.
Secara detil film ini cukup baik. Kostum pemain dan gaya bicara para pemainnya natural. Tidak kelihatan baru dan selalu rapi tersetrika seperti dalam Film Trilogi Merah Putih. Padahal trilogi itu baru diproduksi tahun 2010, atau 30 tahun kemudian.
Banyak fakta sejarah di dalamnya juga tersusun cukup baik. Penggambaran Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1949, jalannya Serangan Umum 1 Maret, hingga penyerahan kedaulatan di Yogyakarta.
Namun yang terasa mengganggu adalah terlalu dominannya peran Soeharto sebagai tokoh sentral film ini. Sosok Soeharto yang diperankan Kaharuddin Syah, mengisi hampir seluruh film. Dalam sebuah adegan, Soeharto berjalan tujuh hari tujuh malam untuk mengkoordinir pasukannya. Di sini pula terlihat Soeharto menggagas Serangan Umum 1 Maret. Di satu adegan, warga juga tampak bersuka ria dengan kedatangan Soeharto ke sebuah desa.
"Film itu tidak obyektif. Peran Soeharto terlalu ditonjolkan. Film itu hanya berisi bagaimana sosok Soeharto yang begitu teguh. Berjuang sekuat tenaga, dan sebagainya. Sosok lain dikecilkan dalam film ini," ujar sejarawan Asvi Warman Adam kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Asvi berharap ada film lain yang dibuat untuk mengoreksi film ini. Dia berharap film bertema sejarah bisa bebas dari kepentingan politik.
"Peran Sultan Hamengkubuwono IX hampir tidak terlihat dalam film ini. Padahal saat itu Sultan punya empat fungsi. Sebagai Gubernur, Sultan Yogya, Menteri Pertahanan dan diplomat yang dipercaya melakukan perundingan. Jadi bukan Soeharto," beber Asvi.
Sejarawan LIPI itu menjelaskan setelah Soeharto lengser, buku-buku yang mengkritisi peran Soeharto dalam peristiwa serangan umum 1 Maret sudah cukup banyak. Dia berharap sejarah bisa diluruskan. "Kalau buku sudah banyak, tetapi sayangnya kalau film belum ada," kata Asvi.