JPU juga minta kiswah SDA dari pengusaha Saudi disita untuk negara
kain Kiswah tersebut imbalan karena telah membantu meloloskan rumah-rumah yang ditawarkan sebagai pemondokan haji.
Jaksa KPK tidak hanya menuntut dengan hukuman 11 tahun, denda serta pencabutan hak politik saja. JPU juga meminta agar kiswah (selubung permadani penutup Kabah) yang diperoleh Suryadharma Ali dari pengusaha Arab Saudi, Mukhlisin dan Cholid Abdul Latief sebagai imbalan karena telah membantu meloloskan rumah-rumah yang ditawarkan, disita untuk negara.
"Satu lembar kain kiswah berwarna hitam berukuran 80 x 59 cm bertuliskan lafaz/kaligrafi Arab berwarna kuning emas dengan kain pelapis belakang berwarna hijau diminta dirampas untuk negara," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Mochammad Wiraksajaya dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (23/12).
Jaksa menuntut meminta hakim menjatuhkan pidana terhadap Suryadharma Ali selama 11 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan ditambah dengan pidana uang pengganti Rp 2,23 miliar subsidair 4 tahun kurungan. Suryadharma juga masih diminta agar hak untuk menduduki dalam jabatan publik selama 5 tahun dicabut terhitung sejak selesai menjalani masa pemidanaannya.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Kain kiswah itu didapat Suryadharma karena menunjuk sejumlah majmuah (konsorsium) penyedia perumahan di Jeddah dan Madinah sesuai dengan keinginannya sendiri menggunakan plafon dengan harga tertinggi sehingga menyebabkan kerugian negara hingga 15,498 juta riyal.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai bahwa Suryadharma tidak punya akhlak dan niat untuk memperbaiki kelakuannya.
"Panjangnya durasi persidangan ini disebabkan juga karena terdakwa selalu memberikan keterangan di luar apa yang ditanyakan bahwa beberapa keterangan terdakwa bertentangan dengan fakta-fakta umum (nortoir feiten), di antaranya keterangan terdakwa yang menyatakan belum mengenal Rendhika D. Harsono ketika menghadiri wisuda Kartika Yudhisti di Inggris," katanya.
Dia melanjutkan, "Penuntut umum memandang wajar terhadap hal itu karena merupakan bagian upaya terdakwa dalam pembelaan diri. Namun, hal itu juga menambah penilaian kami untuk menilai akhlak, niat batin dan perbuatan terdakwa secara lebih komprehensif," ungkap jaksa.
Menurut jaksa, perintah berhaji lahir dari perintah Allah SWT dalam Alquran surah Al Imran 97.
Oleh karena itu, penyelenggara ibadah haji seyogyanya sesuai dengan dasar hukum perintah haji tersebut, termasuk dalam menentukan batas usia minimum calon haji yang diprioritaskan dengan mempergunakan sisa kuota haji nasional, apalagi mengenai batas usia anggota jemaah haji yang dapat menggunakan sisa kuota haji nasional telah diatur, yaitu 60 tahun ke atas, bukan 70 tahun ke atas 87 tahun ke atas.
Dalam dakwaan, Suryadharma disebut menyalahgunakan sisa kuota haji periode 2010-2012 sehingga memberangkatkan 1.771 anggota jemaah haji dan memperkaya jemaah tersebut karena tetap berangkat haji meskipun kurang bayar hingga Rp 12,328 miliar yang terdiri atas 161 anggota jemaah haji pada tahun 2010 senilai Rp 732,575 juta; 639 anggota jemaah haji pada tahun 2011 sejumlah Rp 4,173 miliar; dan 971 anggota jemaah haji sejumlah Rp 7,422 miliar.
Sisa kuota itu untuk orang-orang tertentu dengan cara menaikkan batas minimum usia anggota jemaah haji yang berhak mempergunakan sisa kuota nasional, yaitu dari yang berusia di atas 60 tahun menjadi di atas 87 tahun dengan maksud memberangkatkan calon haji yang diusulkan anggota DPR RI sehingga sebagian sisa kuota haji nasional tidak dapat dipergunakan sepenuhnya oleh calon haji yang masih dalam daftar antrean.
"Pembatasan minimum 60 tahun punya 'legal reasoning' mengingat ibadah haji merupakan ibadah fisik. Namun, sayangnya ketentuan tersebut disimpangi dengan diselimuti interes pribadi, di antaranya untuk 'maintenance of constituent' keluarga dan kolega terdakwa," ungkap jaksa.
Penyimpangan tersebut, menurut jaksa, selain bertentangan dengan peraturan perundangan, juga bertentangan dengan asas keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
"Dalam hal ini tentu harus dipertanyakan apakah adil jika seorang calon haji tidak dapat menggunakan sisa kuota nasional karena tidak mendapat katebelece dari kolega terdakwa meski dia telah berusia 60 tahun, sedang di sisi lain terdapat 1.244 orang dapat menggunakannya meski usianya jauh di bawah 60 tahun hanya karena yang bersangkutan mendapat katebelece dari kolega terdakwa," jelas jaksa.
Keikhlasan dan ketaatan jemaah haji dalam mengantre dipergunakan sebagai alat atau tameng (spritual approacment) untuk menyembunyikan kejahatan yang dilakukan oleh penyelenggara haji.
"Oleh karena itu, meski mendapat perumahan yang tidak layak, tidak aman atau dialihkan hotelnya, jemaah haji tetap ikhlas dan sabar karena sedang menjalani haji. Dengan keikhlasan dan ketaatan jemaah haji itu, tidak relevan jika kesuksesan diukur dari keluhan jemaah haji terhadap profesionalisme Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi," tegas jaksa.
Suryadharma juga dinilai menunjuk PPIH selama 2010--2013 sekaligus pendamping amirulhaj (pemimpin rombongan haji) yang tidak kompeten sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp13,3 miliar.
Politikus PPP itu juga memerintahkan untuk memasukkan orang-orang dekat terdakwa, termasuk istrinya, Wardatul Asriya, anak, menantu, ajudan, pegawai pribadi, sopir terdakwa, sopir istri terdakwa, pendukung istrinya dalam pemilihan anggota DPR 2014, agar beribadah haji secara gratis sebagai PPIH.
Dia juga menunjuk tujuh orang sebagai pendamping amirulhaj yang juga mendapat gaji seluruhnya adalah Rp 345,27 juta dengan Rp 56,378 juta diperoleh istri terdakwa, Wardatul Asriah.
Selanjutnya Suryadharma juga menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) hingga Rp 1,821 miliar untuk kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan asas dan tujuan penggunaan DOM seperti untuk pengobatan anak, pengurusan visa, tiket pesawat, pelayanan bandara, transportasi dan akomodasi Suryadharma, keluarga dan ajudan ke Australia dan Singapura hingga membayar pajak pribadi tahun 2011, langganan TV kabel, internet, perpanjangan STNK Mercedes Benz, serta pengurusan paspor cucu.
"Meski terdakwa akan tidur atau berlibur tidak menerima keputusan presiden tentang pemberhentian dirinya sebagai Menteri Agama, hal itu sama sekali tidak berarti terdakwa dapat menggunakan uang negara untuk membiayai kegiatan tidur dan berliburnya beserta keluarga. Tidak perlu pendidikan tinggi atau gelar kehormatan tinggi untuk memahami hal itu. Namun, cukup berdasarkan kepatutan sesuai dengan hati nurani, apakah patut uang rakyat dipergunakan untuk membiayai tidur dan berliburnya seorang menteri dan keluarganya? Apakah patut uang rakya yang disetorkan dalam bentuk Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dipergunakan untuk membiayai keberangkatan istri menteri ke Arab Saudi meski dengan dalam pendamping amirulhaj?" tegas jaksa KPK.
Perbuatan itu dinilai sebagai bentuk asli dari tindak pidana korupsi yang berbarengan dengan perbuatan bersifat kolutif dan nepotisme yang diiringi dengan kepentingan tertentu untuk kolega maupun kelompoknya yang melibatkan keluarga maupun orang-orang yang punya hubungan tertentu dengan Suryadharma, baik kepartaian maupun institusional, sehingga selain bertentangan dengan peraturan, perbuatan terdakwa juga mengkhianati kepercayaan masyarakat, khususnya jemaah haji dan calon haji.