Kadinkes Enrekang jadi tersangka kasus korupsi proyek RS Pratama
Polisi menetapkan tiga tersangka dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 1 miliar tersebut. ketiganya adalah Kadinkes Enrekang Marwan Ahmad Ganoko sebagai kuasa pengguna anggaran, Direktur PT Haka utama Andi M Kilat Karaka sebagai pelaksana dan Sandy Dwi Nugraha sebagai kuasa direksi PT Haka Utama.
Penyidik Polda Sulsel dari Direktorat Kriminal Khusus menetapkan tiga tersangka kasus korupsi pembangunan RS Pratama, Kabupaten Enrekang. Proyek tahun 2015 tersebut diduga merugikan negara senilai Rp 1 miliar lebih, dari total anggaran proyek Rp 4.738.000.000 bersumber APBD. ketiganya ditetapkan tersangka setelah penyidik lakukan gelar perkara.
Satu dari tiga tersangka adalah kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang Marwan Ahmad Ganoko, sekaligus sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Lalu dua tersangka lainnya adalah Direktur PT Haka utama Andi M Kilat Karaka sebagai pihak pelaksana, kemudian Sandy Dwi Nugraha, kuasa direksi PT Haka Utama.
"Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, para tersangka ini menjalani pemeriksaan berkali-kali sebagai saksi. Kemudian dilakukan gelar perkara dan kesimpulan dari gelar perkara itu bahwa mereka layak ditetapkan sebagai tersangka," tutur Kasubdit III Ditreskrimsus Polda Sulsel AKBP Leonardo saat dikonfirmasi, Selasa (4/7).
Polisi tidak menahan ketiga tersangka. Hingga kini kasusnya masih terus didalami dan akan ditindaklanjuti. Ketiganya akan dipanggil kembali untuk diperiksa dengan status tersangka.
Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Polisi Dicky Sondani menjelaskan, proyek pembangunan RS Pratama dikerjakan PT Haka Utama tahun 2015. Andi M Kilat Karaka selaku direktur, memberikan kuasa direksi kepada Sandy Dwi Nugraha untuk mengerjakan seluruh pekerjaan dengan fee kurang lebih Rp 80 juta.
Dalam perjalanan proyek ini, Sandy melakukan pergantian personel inti serta peralatan yang ditawarkan PT Haka Utama tanpa sepengetahuan dan persetujuan PPK, PPTK maupun Konsultan Pengawas. Ada beberapa alat yang tidak digunakan sesuai analisa penggunaan alat seperti Whell Loader, Dump Truck dan Stamper namun alat tersebut tetap dibayarkan. Dalam pengerjaannya kemudian mengalami keterlambatan sehingga mendapat penambahan waktu pekerjaan selama 56 hari dan mendapat denda Rp 255.740.800.
"ekerjaan proyek ini dibiayai oleh APBD tepatnya dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sudah dibayarkan 100 persen namun nyatanya ditemukan kekurangan volume pekerjaan sebesar 13,368 persen, sehingga ditemukan kerugian negara sebesar Rp 1.077.878.252, 65 berdasarkan hasil perhitungan kerugian negara oleh ahli BPKP Sulawesi Selatan," jelas Kombes Polisi Dicky Sondani.
Pasal yang dilanggar yakni pasal 2 ayat (1) subs pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUHPidana.