Kasus hubungan seks sedarah di NTB menonjol
kasus tersebut dipicu persoalan ekonomi keluarga. Seperti orangtua dan anak gadisnya tidur di kamar yang sama.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan, kasus hubungan seks sedarah (incest) yang terjadi di Pulau Lombok selama 2012, cukup menonjol.
"Cukup menonjol kasus 'incest' itu, ada lima atau enam kasus di 2012, dan itu baru yang ditangani LPA, belum termasuk yang ditangani lembaga advokasi lainnya," kata Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi LPA NTB Joko Jumadi, di Mataram, Senin, usai persidangan lanjutan kasus pencabulan terhadap enam orang murid SD itu di Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
LPA NTB memberi pendampingan terhadap enam orang murid Sekolah Dasar (SD) salah satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Kota Mataram, NTB, yang menjadi korban pencabulan oknum guru berinisial DS.
Pendampingan diberikan semenjak kasus itu dilaporkan ke polisi, hingga disidangkan di pengadilan, untuk menguatkan mental para korban pencabulan itu, sekaligus mengontrol proses hukum kasus tersebut.
Kasus pencabulan itu terjadi di lingkup sekolah dan sudah berlangsung lama, namun baru orangtua dan sanak keluarga korban baru mengadukan hal itu ke Polsek Mataram hingga dilimpahkan ke Polres Mataram, pada 11 September 2012.
Jumlah korban dilaporkan mencapai belasan orang, namun baru enam orang korban yang dilaporkan orangtua atau sanak keluarganya ke polisi, hingga masalah tersebut disidangkan di pengadilan.
Joko mengatakan, kasus pencabulan terhadap murid SD dan kasus "incest" itu merupakan bagian dari 28 kasus pencabulan terhadap anak yang didampingi LPA NTB, dari total 60 kasus yang melibatkan anak, sepanjang 2012.
Sebanyak 15 kasus lainnya melibatkan anak sebagai pelaku pencurian, sisa merupakan kasus perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.
Pendampingan terhadap anak itu tidak mengesampingkan asas legalitas hukum atas perbuatan anak tersebut, misalnya anak berhadapan dengan hukum itu terlibat masalah berat seperti pembunuhan, dan tindak pidana lainnya, maka tentunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum.
Kelompok anak-anak yang menjadi sasaran pendampingan dan pembinaan itu yakni berusia maksimal 18 tahun sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Khusus kasus "incest", lanjut Joko, umumnya dipicu oleh persoalan ekonomi keluarga tersebut, seperti orangtua dan anak gadisnya tidur dalam kamar yang sama, karena rumah itu hanya ada satu kamar.
Selain itu, ibunya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diluar negeri, kemudian bapak tidur sekamar dengan anak gadisnya.
"Seperti itu faktor ekonomi yang memicu kasus 'incest', dan kami berupaya memberi pendampingan sebaik-baiknya," ujarnya.
Joko mengakui, dibanding 2011, kasus yang melibatkan anak di 2012 cenderung meningkat, meskipun jenis kasusnya relatif sama.
Pada 2011, LPA NTB aktif memberi pendampingan pada 11 kasus pemerkosaan, 27 kasus pencabulan, tujuh kasus ABH, satu kasus pekerja anak, dua kasus penelantaran, enam kasus KDRT dan satu kasus gizi buruk.
Hasil kajian aktivis LPA NTB menyebutkan, penggunaan teknologi informasi seperti jejaring "facebook" dan telepon selular (HP) turut memberi andil terjadinya kasus pencabulan dan pemerkosaan yang menimpa anak dan dilakukan oleh kelompok usia anak.
"Pengakuan sejumlah anak korban dan pelaku pencabulan yang kami wawancarai, perbuatan itu terjadi setelah berkenalan di 'facebook' yang berujung kemesraan di luar batas kewajaran. Ada juga yang nonton video porno bersama-sama di HP hingga terjadi pencabulan," ujarnya.
Aktivis LPA NTB itu menyarankan orangtua atau wali asuh anak agar memberi perhatian yang cukup terhadap anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang tidak terpuji akibat pergaulan bebas.