Kasus Sengkon Karta, Antasari dan gonjang-ganjing sistem hukum
Kasus Sengkon Karta ini merupakan sejarah titik balik lahirnya Peninjauan Kembali (PK) dalam sistem hukum di Tanah Air.
Mahkamah Konstitusi kembali mengubah sistem hukum di Indonesia. Putusan yang mengabulkan judical review pasal 268 ayat 3 KUHAP tentang Peninjauan Kembali (PK) bagi terpidana bisa lebih dari satu kali menjadi gonjang-ganjing baru dari sistem hukum di Indonesia.
Ada yang mendukung putusan ini namun tidak sedikit yang mengkritik. Bahkan mantan Ketua MK Mahfud MD menyebut bahwa putusan ini membuat dunia hukum di Indonesia kacau balau karena tidak ada kepastian hukum.
"Putusan MK itu dapat mengacaukan dunia hukum karena beberapa hal, pertama, dengan pembukaan pintu bagi PK di atas PK itu kepastian hukum menjadi hilang karena orang yang sudah dihukum masih bisa dianggap belum bersalah," kata Mahfud beberapa waktu lalu.
Putusan MK ini pun kembali membuat publik teringat dengan kasus Sengkon dan Karta. Kasus Sengkon Karta ini merupakan sejarah titik balik lahirnya Peninjauan Kembali (PK) dalam sistem hukum di Tanah Air.
Kasus ini bermula dari sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi pada tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menangkap Sengkon dan Karta. Keduanya lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus perampokan dan pembunuhan sadis itu.
Sengkon dan Karta dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Namun karena merasa tak melakukan tuduhan yang dimaksud, Sengkon dan Karta menolak menandatangani berita acara pemeriksaan.
Keduanya lalu disiksa oleh penyidik. Lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah dan meneken BAP.
Hakim Djurnetty Soetrisno pun lebih mempercayai cerita polisi daripada bantahan Sengkon dan Karta di pengadilan. Di bulan Oktober 1977, Sengkon akhirnya divonis penjara selama 12 tahun, sedangkan Karta divonis lebih ringan yakni 7 tahun. Putusan itu lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
Namun kebenaran memang selalu pihak kepada mereka yang benar. Dalam dinginnya penjara, Sengkon dan Karta bertemu dengan Genul yang masih terhitung keponakan Sengkon. Genul sendiri sudah lebih dulu masuk penjara Cipinang lantaran kasus pencurian.
Di dalam penjara itulah Genul akhirnya membuka rahasia dan mengakui bahwa dirinyalah yang merampok dan membunuh Sulaiman dan Siti. Pengakuan ini pun kemudian menjadi bukti baru. Di bulan ada Oktober 1980, Gunel akhirnya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
Namun bobroknya sistem hukum membuat Sengkon dan Karta tetap mendekam di penjara meski pembunuh aslinya sudah divonis. Karena tidak mengajukan banding, vonis kepada Sengkon dan Karta dianggap telah berkekuatan hukum tetap.
Beruntung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur Peninjauan Kembali. Inilah untuk pertama kalinya PK diakui dalam sistem peradilan di Indonesia.
Namun meski sudah bebas, nasib keduanya juga masih terasa pahit. Keluarga Karta kocar-kacir sejak dirinya dibui dengan tuduhan pembunuhan dan perampokan. Rumah dan tanahnya seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, juga ludes untuk membiayai perkaranya.
Sengkon juga mengalami nasib yang tak jauh beda. Kondisi kesehatannya terus menurun setelah keluar dari penjara karena mengalami TBC. Sebidang tanah yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan.
Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.
Sengkon dan Karta juga sempat mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977.
Tuhan rupanya berkendak lain. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal tak lama dari Karta karena sakit yang dia derita. Hanya kepada Tuhan keduanya bisa mengadu tentang ketidakadilan yang menimpanya.
Berangkat dari kasus Sengkon dan Karta inilah kemudian muncul PK. Namun dalam aturan pasal 268 ayat 3 KUHAP, PK hanya boleh diajukan satu kali. Hal ini lah yang kemudian membuat mantan Ketua KPK Antasari Azhar mengajukan judicial review atas pasal tersebut.
MK lalu mengabulkan gugatan Antasari. Dalam putusannya Kamis pekan lalu, MK berpendapat bahwa negara tidak boleh membatasi hak konstitusional warga untuk mendapat keadilan. Pengaturan bahwa PK hanya boleh diajukan satu kali dianggap MK bertentangan dengan konstitusi.
Putusan MK ini pun kini menjadi babak baru dalam gonjang-ganjing sistem hukum di Indonesia. Ada yang menyebut bahwa putusan ini mengacaukan sistem hukum karena mendobrak kepastian hukum. Dengan PK boleh berkali-kali, maka aspek legalitas menjadi hilang terhadap suatu putusan hukum yang sudah tetap atau inkracht.
Di sisi lain, putusan ini tetap dipandang sebagai terobosan hukum untuk mengakomodir para pencari keadilan yang tetap tidak puas dengan putusan PK yang dinilai 'sakit'. Namun perlu ada syarat untuk membatasi agar tidak semua perkara bisa diajukan PK berkali-kali. Syarat inilah yang menjadi PR bagi DPR dalam revisi RUU KUHAP.
Benarkah dengan PK bisa diajukan berkali-bali, keadilan bisa didapat di peradilan negara ini?