Kebijakan pejabat negara tak berdaya dikangkangi duit korporasi
Kebijakan yang dibuat pejabat negara selalu menguntungkan korporasi. Sebab rakyat tak punya pengaruh.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap dua orang di sebuah pusat perbelanjaan Jakarta, Kamis (31/3) lalu. Ketua Komisi D DPRD DKI M Sanusi ditangkap saat transaksi suap yang diberikan PT Agung Podomoro Land.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan kasus ini berkaitan dengan pembahasan Raperda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan raperda tentang tata ruang strategis Jakarta Utara. Diketahui, saat ini Pemprov DKI tengah menggarap proyek reklamasi Partai Jakarta dengan PT Agung Podomoro Land sebagai pengembang utamanya.
Koordinator Indonesian Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, menilai kasus korupsi yang berkaitan dengan kebijakan pejabat negara selalu melibatkan korporasi. Sebab, pejabat negara mempunyai kepentingan dengan korporasi.
"Semua korupsi melibatkan korporasi, korporasi ingin menguntungkan mereka (pejabat negara) caranya ya suap, saya kira itu sesuatu alami terbangun sistem rentan ini," kata Adnan Topan saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (1/4) kemarin.
Menurutnya, kebijakan yang dibuat pejabat negara selalu menguntungkan korporasi. Sebab rakyat tak punya pengaruh dalam pemerintah.
"Ya karena arena susunan kebijakan kepentingan siapa yang keuntungan. Kalau sekarang rakyat tersisih mereka tidak punya kekuatan pemerintah, sehingga mereka (pejabat negara) pro korporasi mereka punya akses kebijakan publik menguntungkan mereka (korporasi)," kata dia.
Lebih lanjut, dirinya mengapresiasi langkah KPK dalam operasi tangkap tangan dugaan suap proyek reklamasi tersebut. Dia yakin KPK akan bisa membongkar kasus tersebut sampai pejabat Pemprov DKI dan DPRD DKI. "Kita tak bisa duga biarkan KPK bekerja yang akan lebih baik, tunggu saja perkembangan proses," kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode Syarif mengatakan, kasus ini bisa dikategorikan sebagai kasus korupsi besar. Di mana sebuah perusahaan mencoba mempengaruhi pembuat kebijakan untuk kepentingan sempit.
"Ini kasus yang bisa dikategorikan grand corruption. Karena dari awal kami berlima ingin menyasar korupsi besar yang melibatkan swasta," kata Laode saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (1/4).
Laode mengatakan, kasus ini semakin mempertegas jika korporasi kerap mempengaruhi pembuat aturan baik di eksekutif maupun legislatif.
"Dan yang paling penting lagi, ini contoh paripurna di mana korporasi pengaruhi kebijakan publik. Bisa dibayangkan, kalau semua kebijakan publik dibikin bukan dasar kepentingan rakyat, tapi hanya mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korporasi tertentu," tegas dia.
Laode berharap, kasus ini tidak terjadi lagi baik di tingkat pusat maupun daerah. Apalagi, reklamasi yang terjadi saat ini tengah menjadi polemik di masyarakat baik Jakarta maupun Bali.
"Kami berharap hal semacam ini tidak terjadi lagi. Di Indonesia perlu juga kami jelaskan proyek tentang reklamasi, sudah banyak diributkan, sejak dulu diprotes karena dianggap bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," tegas dia.
Menurut dia, akibat suap yang dilakukan korporasi membuat UU menjadi tidak sinkron dari pusat ke daerah.
"Kebijakan ini tidak sinkron dengan UU di atasnya. KPK sangat menganggap kasus ini adalah kasus sangat penting, karena ini contoh paripurna bagian korporasi pengaruhi pejabat publik untuk kepentingan yang sempit," jelas dia.