Keluarga korban penculikan '98 cari dukungan ke Eropa dan PBB
"Selama 16 tahun agar kasus-kasus penghilangan paksa tahun 1998 segera diselesaikan oleh pemerintah Indonesia."
Keluarga korban penculikan yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mencoba mencari dukungan negara-negara Eropa, termasuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss. Upaya ini dilakukan lantaran kasus-kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis tahun 1998 tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia.
"Kita sudah menunggu sejak lama, yakni selama 16 tahun agar kasus-kasus penghilangan paksa tahun 1998 segera diselesaikan oleh pemerintah Indonesia," kata Ketua IKOHI, Mugiyanto, dalam siaran persnya, Senin (30/06).
Menurut dia, tak hanya PBB yang akan didatangi oleh IKOHI, melainkan negara-negara Eropa, seperti Belanda, Belgia, Perancis dan Jerman.
"Kita akan berangkat pada Senin malam ini ke Belanda. Kita akan berangkat bersama dengan keluarga korban, seperti Fitri Nganthi Wani anak dari korban aktivis Widji Thukul," kata Mugiyanto.
Mugiyanto mengatakan, kedatangannya ke negara-negara Eropa untuk mencari dukungan ke masyarakat Internasional dan PBB agar memberikan desakan kepada pemerintah Indonesia agar segera menyelesaikan kasus penghilangan paksa aktivis.
"Kami melaporkan permasalahan kasus ini ke dunia internasional, namun yang menyelesaikan kasus ini tetap pemerintah Indonesia. Kita datang ke negara Eropa untuk mencari dukungan," ujarnya.
Ia mengaku sudah mengkoordinasikan kedatangannya itu kepada sejumlah parlemen di negara Eropa. Namun, beberapa yang sudah konfirmasi untuk menerima kedatangan IKOHI, sementara lainnya masih menunggu.
Mugiyanto menambahkan, selama 16 tahun terakhir, dari masa pemerintahan BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan HAM tak kunjungan terungkap, padahal tugas presiden sederhana, yakni hanya mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Proses pengadilan, menurut dia, penting karena penghukuman memberi pesan ke publik bahwa kejahatan yang mereka lakukan tak boleh lagi terjadi di kemudian hari.
"Penghilangan paksa sebagai kejahatan yang berkesinambungan. Apalagi korbannya belum juga ditemukan," lanjutnya.
Menurut dia, konsolidasi korban pelanggaran HAM yang digelar pada 23 Juni hingga 26 Juni 2014 lalu bertujuan untuk merumuskan sikap dan resolusi korban terhadap Pemilu Presiden 2014.
Selain itu, untuk terus mengingatkan kepada pelaku penghilangan orang secara paksa terhadap para aktivis pro-demokrasi pada 1997-1998 akan dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC).
"Usaha ini sebenarnya sudah dilakukan tak lama setelah kejadian. Namun, karena Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tak bisa berbuat banyak," tutur Mugiyanto.
Ia menjelaskan, ada tiga agenda IKOHI pada konsolidasi nasional. Selain akan memperjuangkan ke forum internasional, mereka juga akan bersikap pada pemilihan presiden 2014 ini. Ikohi juga akan merumuskan kembali sikap dalam upaya menuntaskan pelanggaran HAM.
"Namun bukan hanya terkait dengan penculikan 1998, tetapi semua pelanggaran HAM yang belum terungkap," kata Mugiyanto yang merupakan korban penculikan Tim Mawar Kopassus.