Kemana suara aktivis antikorupsi saat pencopotan Budi Waseso?
ICW menilai pencopotan Budi Waseso dipengaruhi partai politik.
Kabareskrim Komjen Budi Waseso dimutasi menjadi Kepala BNN menggantikan Komjen Anang Iskandar. Sedangkan Anang menggantikan Budi Waseso sebagai Kabareskrim.
Budi Waseso dicopot disebut-sebut membuat gaduh pemerintahan dan dituding memperlambat laju ekonomi. Padahal, di bawah kepemimpinan Budi Waseso, Bareskrim sedang getol memberantas korupsi. Lalu kemana kah suara aktivis antikorupsi saat Budi Waseso dicopot?
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo menilai pencopotan Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso (Buwas) sebagai permainan elit politik yang mempunyai kepentingan tertentu.
"Pencopotan Buwas begitu terlihat dipolitisasi oleh banyak partai politik seperti PDIP. Terlihat mereka meradang dan ikut campur yang seharusnya jadi urusan eksekutif. Nanti akan jelas ada yang bermain dengan adanya isu ini," kata Adnan saat dikonfirmasi Merdeka.com, Jakarta, Kamis (3/9).
Adnan menyatakan adanya permainan politik berdasarkan kinerja Bareskrim sebelum dipimpin Buwas. Menurut dia, partai politik lebih banyak diam untuk mengomentari lembaga penegak hukum ini.
"Ketika kerja Bareskrim yang lama partai tidak teriak-teriak seperti sekarang. Kalau gitu tanya langsung sama PDIP yang ikut campur," terangnya.
Atas hal itu, untuk memperjelas siapa yang bermain dalam pencopotan Budi Waseso, dia menyarankan agar kasus korupsi yang sedang diselidiki oleh jenderal bintang tiga tersebut diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kalau masalah pencopotan Buwas menjadi isu besar, maka serahkan saja semua kasus korupsi ke KPK agar jelas dan tak ada unsur politisasi. Dengan diurus KPK juga lebih dipercaya berdasarkan banyak survei masyarakat. Nanti akan jelas siapa yang bermain dalam kasus tersebut," terangnya.
Bagi dia, dengan diserahkannya kasus yang sebelumnya diselediki Bareskrim Mabes Polri bukan sebagai hal untuk memonopoli berbagai kasus korupsi, namun untuk menemukan kejelasan dan menghindari unsur politisasi.
"Diserahkan ke KPK bukan berarti memonopoli kasus. Karena KPK dalam setahun hanya mengurusi 12 kasus sedangkan polisi bisa sampai 100 lebih. Bagaimana polisi bisa lebih dibanding KPK, bisa disimpulkan dan di lihat angkanya,"katanya.
Namun, Adnan enggan berkomentarnya banyak dengan kinerja Bareskrim di bawah mantan Kepala Kepolisian Gorontalo, Sulawesi Utara itu. Ia justru menyerahkan evaluasi kinerja Bareskrim kepada Presiden Joko Widodo.
"Untuk kerja Bareskrim saya belum bisa komentar karena datanya sedang disusun. Kalau soal kinerja kita nggak tahu, itu kewenangan presiden bagaimana cara mengevaluasi jajarannya, itu yang seharusnya dia jawab," pungkasnya.