Kenangan Tjhwa Hiang Nio Tampil Dua Jam di Depan Soekarno
Shirley semasa remaja merupakan pemain utama kelompok wayang orang Ang Hien Hoo. Meski dikenal sebagai kesenian tradisional Jawa, para pemain Ang Hien Hoo hampir keseluruhan para peranakan Thionghoa di Malang. Shirley mengaku pernah tampil di depan Soekarno.
Shirley Kristiani Widjihandayani (80) berpose ngapurancang diapit oleh ayah dan ibunya, Hardjoadiwinoto (Tjhwa Hoo Liong) dan Watiningrum (Dora Liauw). Pemilik nama Thionghoa Tjhwa Hiang Nio itu masih lengkap mengenakan kostum Arjuno, tokoh yang diperaninya kala itu.
Foto hitam putih itu diambil di salah satu sudut Istana Negara Jakarta usai tampil di depan Presiden RI Pertama, Soekarno. Shirley memerani tokoh Arjuno dalam cerita Wayang Orang Srikandi Mustokoweni.
-
Apa yang viral di Babelan Bekasi? Viral Video Pungli di Babelan Bekasi Palaki Sopir Truk Tiap Lima Meter, Ini Faktanya Beredar video pungli di Babelan Bekasi. Seorang sopir truk yang melintas di kawasan Jalan Raya Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat merekam banyaknya aktivitas pungli baru-baru ini.
-
Kolak apa yang viral di Mangga Besar? Baru-baru ini ramai di media sosial war kolak di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat. Sebagaimana terlihat dalam video yang tayang di akun Instagram @noonarosa, warga sudah antre sejak pukul 14:00 WIB sebelum kedainya buka.
-
Kenapa Hanum Mega viral belakangan ini? Baru-baru ini nama Hanum Mega tengah menjadi sorotan hingga trending di Twitter lantaran berhasil membongkar bukti perselingkuhan suaminya.
-
Apa yang viral di Bangkalan Madura? Viral video memperlihatkan seekor anjing laut yang tidak sewajarnya dikarenakan berkepala sapi yang berada di Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur.
-
Apa yang sedang viral di Makassar? Viral Masjid Dijual di Makassar, Ini Penjelasan Camat dan Imam Masjid Fatimah Umar di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar viral karena hendak dijual.
-
Mengapa kejadian ini viral? Tak lama, unggahan tersebut seketika mencuri perhatian hingga viral di sosial media.
"Seingat saya itu ceritanya Srikandi Mustokoweni. Mereka kok mau ya melihat kita dua jam. Ceritanya dibuat singkat-singkat, yang melihat itu menteri-menteri dan bos-bos," kenang Shirley tersenyum.
Shirley semasa remaja merupakan pemain utama kelompok wayang orang Ang Hien Hoo. Meski dikenal sebagai kesenian tradisional Jawa, para pemain Ang Hien Hoo hampir keseluruhan para peranakan Thionghoa di Malang.
Tahun 1960-an, Shirley dan kawan-kawan diundang oleh Presiden Soekarno untuk tampil dua malam berturut-turut. Ia bersama (alm) Ratna Djuwita (Nelly Ie), Ratnawati (Melly Oei) dan para rombongan 'ngamen' di Istana Negara Jakarta.
Bagi Sherly yang saat itu masih belasan tahun, peristiwa itu tidak terlupakan hingga sekarang. Kenangan itu pun hanya sebagian terdokumentasi lewat beberapa lembar foto hitam putih yang sudah mulai pudar.
"Semua pemain disalami. Ditepuk-tepuk pundaknya. Pak Karno kan ramah, diwejangi, disuruh melestarikan budaya, karena wayang ini filsafatnya tinggi. Ya enggak bisa ngomong-ngomong lama, kan Presiden banyak urusannya sama bos-bos. Banyak menteri-menteri," urainya.
Ang Hien Hoo manggung di depan Presiden dalam rangka penggalangan dana amal bagi korban kecelakaan kereta api di Trowek, Jawa Barat. Kenangan itu masih membekas kuat di benak, meski telah terjadi puluhan tahun lalu.
Sekitar 30 Orang pemeran dalam cerita itu diboyong dengan kereta api dari Malang ke Jakarta. Turut juga dalam rombongan itu para pengrawit dan orang tua dari para pemain yang sebagian masih anak-anak.
"Disewakan gerbong sendiri, satu gerbong kereta api, dari stasiun Malangi ke Jakarta. Waktu itu, ke Jakarta kayak masih sulit gitu ya, jauh gitu rasanya," kisahnya.
Selain manggung di Jakarta, Ang Hien Hoo telah berkeliling kota besar di Jawa dalam rentang sekitar hampir 20 tahun sejak didirikan. Tangkar alias Liem Ting Tjwan, seorang pengusaha rokok di Malang menjadi pencetusnya pada tahun 1955.
Setiap manggung memboyong pemain, pengrawit dan berbagai peralatan panggung dan kostum. Mereka biasa menggunakan bus atau kereta api ditambah truk untuk pengangkut dekorasi.
Pertunjukan disajikan di panggung-panggung dan gedung kesenian, seperti Surabaya, Solo, Magelang, Yogyakarta. Jakarta, Sidoarjo, Bandung, Semarang dan lain-lain. Setiap pertunjukan selalu menyimpan kenangan yang membekas hingga saat ini.
"Pernah juga diundang oleh Mangkunegaran, Solo untuk ikut lomba di Sriwedari. Pesertanya kelompok wayang orang seluruh pulau Jawa. Gusti Mangkunegaran menjadi jurinya," katanya.
Ang Hien Hoo dalam lomba itu berhasil menyabet Juara 2 setelah bersaing dengan Juara 1 dari Wayang Orang kelompok anak-anak menteri kabinet kala itu. Sherly sendiri saat itu memerankan tokoh Resi Supadio.
"Itu masih zamannya Pak Karno, tapi sudah akhir," tegasnya.
Sherly yang sudah dikaruniai empat anak perempuan dan lima cucu ini mengaku sudah lupa dengan judul pementasan sekitar 50 tahun lalu itu.
Kisah lain yang juga masih dikenang Sherly ketika memerankan tokoh Dewi Anggraeni dalam judul Palguna Palgunadi di Semarang. Peran itu sering dimainkan tetapi dirasakan yang paling berat karena harus bergulung-gulung 'dianiaya' di atas panggung.
"Waduh itu paling soro, digebuki. Kan ceritanya itu kesetiaan, roman kesetiaan sama suaminya. Anggraeni dipukuli dianggap enggak setia, sampai glutung-gluntung," kisahnya.
Kisahnya Dewi Anggraeni ditinggal oleh Palgunadi, suaminya. Tetapi diuber-uber oleh Palguno sampai ke khayangan. Palgunadi pun tidak terima menyangka Dewi Anggraeni tidak setia dan selingkuh.
"Itu dulu, saat masih muda, sekarang suruh berdiri dan jalan saja tidak bisa. Kalau dikenang, kapan bisa kembali lagi, kan enggak bisa ya," ungkapnya.
Setiap pertunjukan, Sherly dituntut memahami karakter tokoh yang peraninya. Banyak tokoh yang menjadi langganan aktingnya selain Dewi Anggraeni, yakni Arjuno, Kresno dan Rama.
Selain itu, Sherly juga dituntut mampu maes (make up) karakter-karakter yang dimainkan tersebut. Karena selama manggung dituntut mandiri dalam merias diri, mengingat keterbatasan jumlah personel.
"Kalau make up wajahnya tetap, yang berubah-ubah. Itu kuluknya (mahkota) beda-beda. Kalau Serimpi gini, Srikandi pendek, Arjuno mlungker, Resi Supadio mahkotanya tinggi. Kalau Srikandi dan Janoko pakai panah," urainya.
Karena pemain rata-rata masih usia sekolah, Ang Hien Hoo hanya manggung saat datang liburan. Pertunjukkan paling banyak digelar pada malam Minggu, sehingga Senin bisa kembali ke sekolah.
Karena itu, keluarga Sherly yang tidak memiliki latar belakang seniman mendukung penuh setiap pementasan. Bahkan mereka selalu ikut mendampingi berkeliling dari panggung ke panggung.
"Tidak ganggu sekolah. Naik kelas terus kok cuma sondok (agak) ngantuk di kelas," ungkapnya.
Terkait sekolah, Sherly mengaku mempunyai cerita unik saat pentas dua malam berturut-turut di Sidoarjo. Kala itu pementasan digelar Sabtu dan Minggu, padahal, Senin harus ulangan mata pelajaran Sejarah.
"Jadi Minggu masih main, Seninnya ulangan. Waduh gimana, bingung. Jadi jam 4 pagi saya sudah pulang dari Sidoarjo. Minta sama pengurus diantarkan jam 4 pagi dari Sidoarjo ke Malang, dulu masih naik truk," kisahnya.
Tidak sampai di situ saja, Sherly tidak sempat membersihkan make up di wajahnya secara sempurna. Coretan pensil alis tidak hilang saat dibersihkan, karena itu sempat ditertawakan oleh gurunya.
"Itu sampai di sekolah masih kepet, celak-celaknya itu masih nempel, guru saya itu tertawa," ungkapnya.
Sherly pun berhasil menyelesaikan pendidikannya Jurusan Sastra Inggris, IKIP Malang (sekarang UM) Tahun 1965. Ia sempat menjadi guru di SMP Santa Maria Malang sampai 1965.
Sherly eksis di Ang Hien Hoo sejak remaja, saat masih pelajar di Sekolah Katolik Panderman Malang sampai usia 25 tahun. Pernikahannya pada 1971 membuatnya sibuk mengurus anak-anak, kendati memang sudah mulai mati suri.
Semasa awal pemerintahan Presiden Soeharto masih sempat manggung, sebelum kemudian tidak manggung lagi hingga sekarang ini. Faktor regenerasi dan gempuran budaya barat saat itu menjadi penyebab utamanya.
"Kita enggak berhubungan dengan politik. Di masa Soeharto sempat manggung tapi enggak lama, tahun 70 sudah berhenti," kata perempuan kelahiran Malang, 28 Agustus 1943.
Sherly mengaku beruntung hidup dalam lingkungan keluarga yang mencintai kesenian wayang orang. Tapi disayangkan kesenian panggung warisan leluhur itu nyaris tidak lagi dapat ditemukan di Malang.
"Kita cinta Indonesia ya, cinta kebudayaan Indonesia. Yang muda-muda sudah modern, enggak mau meneruskan," katanya.
Sherly juga mengaku sudah kesulitan menemukan pertunjukkan kesenian wayang orang. Panggung-panggung pertunjukkan sudah tidak menyajikan kesenian Jawa, begitu juga siaran televisi. "Sekarang yang dianut sing ora-ora. Wis beda zaman," pungkasnya.
(mdk/cob)